Navy - 1

57 9 0
                                    

Pada esok harinya mereka masih bisa tertawa dan bermain bersama seperti biasa. Namun keceriaan mereka luntur begitu saja saat Anna memberitahu bahwa ada sebuah keluarga yang ingin mengadopsi Blue sebagai anak angkat mereka.

Hal ini membuat wajah Luke tertekuk. Dia berpikir dia pasti akan merasakan kesepiannya kembali lagi jika Blue sudah tidak bersamanya lagi. Sejak kecil, Luke dan Blue memang sudah berteman.

Pada saat itu Liz Hemmings--ibu Luke--yang menemukan bayi Blue berada di depan pintu rumahnya. Kebetulan sekali keluarganya memiliki sebuah panti asuhan yang sudah lama diwarisi ke tangan keluarga Hemmings sekarang. Di malam itu, Liz langsung menempatkan Blue di panti milik keluarganya tersebut.

Sebuah surat tercarik di dalam selimut yang membungkus Blue sewaktu bayi. Berbunyi,

"Dear, siapapun yang akan merawat bayi ini...

Aku mohon bantuanmu untuk mengasuhnya dengan sepenuh hati dan kasih sayang karena aku tidak mampu untuk membesarkannya. Aku adalah seorang bidan yang membantu melahirkan Ibu dari anak ini. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya sesaat setelah memberitahuku kalau nama bayi perempuannya adalah Blue Everest. Awalnya aku tidak tahu ke mana aku membawa bayi ini karena aku tidak bisa mengurusnya. Ayah Blue sudah meninggal saat usia kandungan Ibunya lima bulan. Jadi kumohon rawat bayi ini dengan cinta dan kasih sayang. Terima kasih banyak.'

Di waktu yang sama Liz juga memiliki seorang anak laki-laki yang baru berumur satu tahun, Luke. Semua orang yang membaca surat tersebut merasa simpati yang mendalam pada bayi malang yang tak berdosa itu. Bayi yang bernama Blue itu telah dibesarkan dengan penuh kehangatan dan kasih sayang serta teman-teman yang menyayanginya.

"Hai," sapa seorang bocah laki-laki berambut pirang tersebut pada gadis kecil yang sedang berjongkok.

Gadis yang berambut sama dengan bocah tersebut menoleh dan ornamen matanya menatap warna yang sama di dalam mata bocah laki-laki itu, Luke. Kesamaan memang terfigur jelas di keduanya."Kau siapa?" Kepolosan terdengar jelas dalam suaranya.

"Oh, maaf, namaku Luke. Dan kau?" Luke menggaruk tengkuknya dengan kecanggungan yang membentang.

Sebuah senyum mengembang setelah beberapa detik terdiam. "Hai, aku Blue." jawabnya dan langsung kembali lagi dengan kesibukkannya yang tadi.

"Kau sedang apa?" Luke ikut berjongkok di samping gadis berumur tiga tahun itu.

"Hm, entahlah hanya menghias nama yang sudah kutulis di tanah ini dengan bunga."

Masih sambil menggoreskan jarinya di atas tanah, gadis itu menaburkan bunga-bunga di atasnya. "Apa yang sedang kau tulis? Blue loves Mom and Dad?"

Gadis itu mengangguk sambil memandangi karyanya dengan tersenyum-senyum. "Ya. Aku heran mengapa sampai sekarang aku belum bertemu Mom dan Dadku." kata Blue polos.

Mengetahui kesedihan gadis kecil tersebut, dengan inisiatif, Luke langsung mengusap punggung Blue dengan lembut. "Blue... Aku yakin Mom dan Dadmu juga mencintaimu karena kau anak yang baik dan juga manis."

"Kata Anna, Mom dan Dadku sudah berbahagia melihatku dari surga di atas sana." jawabnya sambil mendongak menatap langit yang secerah namanya, biru.

Hari demi hari terisi dengan tawa mereka, bahkan sampai Blue berumur tujuh tahun, ia masih bersama dengan Luke yang sudah berusia delapan tahun. Keceriaan mereka seolah-olah lenyap saat Anna mempertemukan Blue dengan keluarga yang akan mengasuhnya. Luke terus saja murung dan belum berbicara pada Blue.

Di dalam hatinya ia seakan ingin berteriak kalau ia tidak ingin kehilangan teman lamanya yang sudah mengisi hari-harinya selama empat tahun belakangan ini. Tapi apa daya, Luke hanya bisa berharap kalau gadis kecil yang disayanginya itu tidak akan melupakannya.

Tatapan kesedihan dari Blue pada Luke membuatnya dengan cepat memeluk tubuh mungil sahabat gadisnya itu. "Jangan lupakan aku, ya. Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa makan dan berolahraga. Kau harus sehat dan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan penyayang, Blue." Isak Luke dengan tangisannya di pundak Blue.

Blue sendiri hanya mengangguk-angguk dan tersenyum kecil. Sebenarnya ia bisa saja menangis melebihi Luke, tetapi dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di hadapan Luke karena bocah lelaki itu benci melihat gadis kesayangannya menangis. Tapi pada akhirnya Blue meneteskan air mata di bahu Luke dan terisak sedih. Segera Luke melepaskan pelukan mereka, "Hey, jangan menangis. Aku tidak suka, Blue."

Dengan ibu jarinya, Luke menghapus butir demi butir air yang mengalir dari mata Blue dan sedikit terkekeh diikuti Blue. "Kau bodoh, Luke. Bodoh. Kau melarangku untuk menangis. Kau sendiri menangis, lihat?" Blue tertawa sementara Luke tersenyum malu.

"Aku memang bodoh. Tapi, Blue, berjanjilah satu hal padaku. Kau harus tumbuh menjadi gadis yang kuat dan pemberani. Jangan menangis lagi, ya?" Luke mengusap kepala Blue. "Promise?" Diacungkannya jari kelingking Luke.

"Promise." Blue balas menautkan jari kelingking kecilnya pada jari Luke.

Senyuman yang terukir di bibir mereka berdua membentang menghapus kesedihan yang terjadi beberapa menit yang lalu. "Kau jelek kalau menangis, tahu." Ledek Luke dengan gelak tawa. "Jangan hilangkan benda ini, ya?" Luke mengusap sebuah gelang berbandul penguin yang melingkar di lengan Blue.

"Aku tahu. Aku menyayangimu, Luke. Jangan pernah lupakan aku, ya? Dan oh, aku akan menjaga benda ini baik-baik." Sebuah kilat harapan terpancar di mata Blue.

"Aku lebih menyayangimu, Blue. Tidak pernah. Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu. Kau juga, oke?" Luke menaikkan kedua alisnya dan kembali memeluk Blue lagi untuk yang terakhir kalinya, mungkin.

Rasanya Luke tidak ingin melepas Blue yang sudah menjadi teman hidupnya selama empat tahun begitu saja. Tapi itu tidak akan bisa, mau tidak mau bocah pirang itu harus melepas Blue dan membiarkan gadis kecil itu berbahagia dengan keluarga barunya. "Sampai jumpa, Luke." ucap Blue setelah pelukan mereka selesai.

Luke tersenyum lemah. "Sampai jumpa lagi, Blue."

Mrs dan Mr. Frederro pun mempersilahkan Blue masuk ke dalam mobil mereka untuk menuju rumah. Setelah pintu mobil tertutup, Luke hanya bisa melambai dan tersenyum untuk menutupi hatinya yang berkecamuk dan tidak ingin ada perpisahan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, setiap pertemuan pasti berujung perpisahan.

Blue tersenyum di balik kaca mobil dan diam-diam dia berpikir, akankah mereka saling mengenal jika sudah besar nanti? Atau salah satu dari mereka dekat namun tidak menyadari? Intinya Blue menyerahkan semuanya pada Tuhan bahwa semua akan berjalan lancar dan ia berharap suatu saat mereka bertemu dalam momen yang indah.

"Blue, maafkan kami sehingga kau harus berpisah dengan sahabatmu." kata Mrs. Frederro duduk di sebelah suaminya yang menyetir.

Sebisa mungkin Blue menutupi kesedihannya di hadapan Ibu barunya itu. "Ya, tidak apa-apa, err, Mom."

Wanita yang baru saja dipanggil Mom oleh Blue itu hanya tersenyum. Mobil mereka berbelok masuk ke kawasan sebuah perumahan elit. Blue yang dari kecil sudah hidup sederhana kini menganga melihat deretan rumah mewah yang berjejer di kanan dan kirinya. "Blue, kau pasti lelah, ayo kami antar ke kamarmu." kata Mr. Frederro setibanya mereka di dalam rumah mewah milik keluarga Frederro itu.

Mengangguk, Blue mengikuti Mr. Frederro menuju kamarnya. "Well, Blue, ini hanya kamar sementaramu." tutur Ayah angkat Blue.

"Sementara? Memangnya kenapa, Dad?"

"Karena kita akan berangkat ke Amerika besok."

TO BE CONTINUED!

Vomment(s) if you want more for the second Chapter! Thanks({})

All the love,

Author teralay di dunia-__-✌

Navy (Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang