Navy - 11

25 4 0
                                    

(A/n kalo bisa sambil denger Outer Space/Carry On ya! Soalnya gua ngetiknya sambil denger itu wkwk)

Author's POV

Semua orang berdatangan. Mereka memakai pakaian serba hitam. Tak ada yang lebih mengiris hatinya daripada melirik sejenak ke sebuah peti yang di dalamnya ada dia. Bulir-bulir bening terus berjatuhan sehingga membuat sedikit genangan di atas rerumputan yang akan menjadi tempat tinggal terakhirnya.

Ia tak kuasa, tangisannya semakin deras. Matanya mengerut, tidak bisa menahan air itu untuk tidak keluar. Namun, siapa yang tahu, Tuhan telah menulis semua di bukuNya. Ditolehkan kepalanya ke arah kedua orangtuanya yang sedang berdiri di dekat pendeta yang sedang membacakan doa.

Ia maju, berjalan melintasi orang-orang banyak untuk berjongkok di depan peti. Semua mata tertuju padanya. Namun tangannya malah terangkat untuk mengusap kepala peti itu setelah menatap orang tuanya yang masih sesenggukan. "If I was an island, in search of castaway, maybe I'll find you. Be calm in there, Sam. May your heart, your soul and your self be in somewhere peaceful. We love you, Samantha."

Diam-diam ia berbisik di depan peti tersebut, berharap seseorang di dalamnya akan tersenyum menanggapinya. Tapi siapa yang mau tahu, gadis berusia dua puluh satu itu sudah terbaring kaku di dalam peti.

Gadis bergaun hitam itu berdiri dan lagi-lagi matanya mengeluarkan air mata dengan derasnya. Ia tak mendengarkan atau bahkan mengikuti pendeta yang sedang berdoa. Ia malah terus-terusan menatap peti saudarinya itu sambil menggenggam sebuah tangan. Tangan yang dirasanya begitu nyata. Ia tidak ingin tahu tangan milik siapa yang ia genggam saat ini. Namun kenyataannya tangan itu sangat lembut melebihi serpihan awan yang berarak membentuk kapas.

Dilihatnya sebuah bayangan putih melintasi peti di hadapannya setelah tangannya tak merasakan sebuah tangan yang menggenggamnya lagi. Satu kata yang didengarnya dari bayangan itu adalah, "Blue..."

Blue tidak berpikir itu Samantha. Karena memang bukan. Ia mengira bayangan itu adalah seseorang yang sangat penting di kehidupannya jauh sebelum ia bertemu orang-orang yang sekarang. Dan ia ingat satu orang. Seseorang yang berjuang untuk kehidupannya.

"Mom..."

***

Blue berjalan masuk menuju kamarnya. Ia merasa sangat tertekan. Begitu banyak orang yang dicintainya pergi dan meninggalkannya satu-persatu. Mungkin aku yang selanjutnya meninggalkan mereka. Ujarnya dalam hati.

Ia baru saja kehilangan sahabat kecilnya, Luke. Sekarang, ia sudah ditimpa keterpurukan lagi. Ya, kakak(angkat)nya, Samantha, menghembuskan nafas terakhirnya tepat saat orang tuanya datang ke rumah sakit di Los Angeles itu.

Pada akhirnya, orang tuanya membawa Sam kembali ke New York untuk dimakamkan. Kekasih dan sahabat Sam di sana sama sekali tidak ada yang datang untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mereka terlalu terpukul akan keanyataan Samantha yang sudah pergi dan tidak ada lagi di dunia.

Tapi Blue, ia masih merasa jiwa kakaknya berada bersamanya, mengusapi kepalanya yang sedang menangis memeluk bantal. "Aku baik. Aku baik-baik saja, Sam. Pergilah jika kau lebih menemukan ketenangan di sana. Jangan pedulikan aku yang mulai menahan kepergianmu karena aku sangatlah egois. Pergilah..."

Tak ada siapa-siapa. Hanya kepada angin kosonglah Blue berbicara. Hari ini adalah hari kedua di tahun baru, tetapi yang Blue dapatkan bukanlah kesenangan, melainkan kehancuran dirinya terhadap orang-orang yang meninggalkannya.

Blue tidak pernah tahu siapa kedua orang tua kandungnya atau bahkan sekedar melihat wajahnya saja ia belum pernah. Seutas bayangan di pemakaman tadi tidaklah cukup bagi Blue untuk mengingat. Dirasanya ia membutuhkan seseorang untuk mencurahkan isi hatinya.

Namun seperti Dew Fortuna yang sedang berpihak kepadanya, tiba-tiba saja sebuah suara muncuk dari ambang pintu. "Aku tahu perasaanmu, Sayang."

Wanita itu menghapus air matanya dan berjalan untuk duduk di pinggir kasur putri angkatnya itu. "Kau mengenalnya saat ia berusia sembilan, di saat itulah kalian dengan cepat akrab. Aku tidak pernah mengira kalau sebegitu antusiasnya Samantha ketika mengetahui kau menjadi adiknya. Dia gadis baik. Sudahkah kuberitahumu kalau ia sangat takut dengan suara yang keras?"

Blue membenarkan posisi duduknya, berbalik menatap buliran air yang keluar dari Ibu angkatnya. "Saat buronan itu menembakan senapannya ke arah Samantha, kuasumsikan ia menimbun ketakutannya diam-diam, dan selama kediaman itulah peluru tersebut mencoba meradangi seluruh tubuhnya. Aku tidak pernah membayangkan dia akan berakhir seperti itu."

Memalingkan wajahnya, wanita itu kian mengeluarkan air mata yang deras, membuat Blue tidak tahan untuk ikut menangis dan memeluk Ibunya itu. "Mom... Aku sangat menyayangi Sam. Dia terlalu baik untukku. Mengapa semua orang yang kusayang satu-persatu pergi dari kehidupanku, Mom? Jawab aku. Hiks-hiks."

Wanita yang dipanggil Mom itu hanya bisa menggigit bibirnya sambil menggeleng, menahan jeritannya untuk keluar, jeritan kepergian seorang Ibu. Namun mendadadk wanit itu berdiri, melepaskan pelukan Blue dan beranjak keluar dari kamarnya. "Mom!"

Tak ada jawaban, maka gadis itu melanjutkan tangisannya dengan sekuat tenaga. Ia menjerit. Menjambaki rambutnya dengan kuat. Dipikirnya agar ia bisa merasakan kesakitan yang sama dengan kakaknya. Namun sia-sia rasanya semua hambar, tidak sebanding dengan apa yang kakaknya dapatkan.

Jadi dirinya berpikir. Dan satu ide gila tiba-tiba saja terlintas di kepalanya. Namun ia merasa sekarang bukan saat yang tepat untuk melakukan itu.

Hingga matahari mulai digantikan oleh sang rembulan, Blue mengalihkan matanya yang tak lepas dari jam di dinding itu. Kaki jenjangnya yang hanya memakai celana pendek menuruni ranjangnya dan berjalan menuju dapur.

Mengambil segelas air dingin, ia menenggaknya sampai tak bersisa. Sekarang pukul setengah dua belas malam, Mom dan Dad pasti sudah tidur, pikirnya. Ia berjalan menuju sebuah pantry dengan buah-buahan di atasnya. Di sebelahnya, ada sebuah benda kecil yang sangat dibutuhkannya. Ia mengambil benda itu dan mengendap-endap untuk kembali ke kamarnya.

Setelah mengunci pintu kamarnya, ia cepat-cepat menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan setiap lekuk kesedihan di wajahnya. Buruk sekali. Batinnya mencela.

Hampir lupa dengan tujuannya, ia mengangkat benda yang tadi diambilnya di tangan kanan. Ditatapnya perlahan-lahan kilatan di benda kecil itu sebelum bersentuhan dengan lengan atasnya.

Dingin. Rasa dingin langsung menyetrum tubuhnya ketika bagian tajamnya hampir menembus kulitnya.  Dengan keyakinan yang penuh dan segala yang telah dipikirkannya untuk menghapus rasa nyeri di hatinya, maka ia menggores lengannya dan dalam sekali itu juga dirinya menjerit keras. Sampai dirinya tidak sadar kalau jeritannya membangunkan kedua orang tuanya.

Tapi gadis itu tak peduli, rasa sakit di hatinya kini tergantikan dengan rasa nyeri di lengannya yang kini mengucurkan banyak darah. Tubuhnya bergetar, matanya berair, suara tangisannya mengisi kekosongan di kamar mandinya itu.

Diletakkannya benda yang ternyata pisau buah itu di atas wastafel. Dirinya berlalu untuk naik ke atas ranjang dan tenggelam di alam mimpi. Ia lelah sekali. Kesakitan itu sedikit pudar seiring terpejamnya mata biru indah miliknya tersebut.

Tanpa sepengetahuannya, darah di tangannya menetes ke ranjangnya sehingga ada bercak merah di atasnya yang berbekas.

***

Oii oii baru update lagi hehe sorry for my late late late update haha. Busy with rl. Sekarang sibuk asf gue ama rl hehe #hestekAdelsokngartis hahahA

Okd itu di mulmed ada foto gue eh maksudnya foto Lily Collins as Samantha Frederro oke? Ikr Lily Collins is way older than Ash but I think they perfectly match -__- oke jan bully yo✌✌ yah gue suka Lily karena dia cantique dan q hanya butiran debu di ketek mekel bisa apa-_-

Y suda. Bubyeee😢😢😚😚😘😙😙😗😗😜

Navy (Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang