Navy - 7

13 3 0
                                    

Blue's POV

Keadaan restoran di tempat hotel aku menginap sangatlah ramai malam ini. Pohon natal yang berukuran sedang diletakkan di setiap sudut dengan hiasan lampu kelap-kelip, menambah kesyahduan acara spesial natal yang diadakan pihak hotel semakin terasa. Aku duduk sendiri di sebuah kursi dengan meja bundar kecil, menyaksikan sang penyanyi yang sedang menyanyikan lagu-lagu pilihan.

"Nona, boleh aku duduk di sini?"

Seorang pria berumur kisaran tiga puluh enam tahun meminta izin untuk duduk di kursi yang ada di seberangku. Aku mengangguk, meraih gelas berisi red wine setelahnya. "Sendiri saja?" tanyanya, mengulas sedikit seringai di sudut kanan bibirnya. Apa maunya? Lagi-lagi aku hanya mengangguk, entah sepertinya pria di sebrangku ini terlihat membuatku takut.

Ia terkekeh ketika aku sedang menyaksikan kembali penampilan di depan. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya tetapi dari sudut mataku, kudapati ia tengah memandangiku dengan tatapan menjijikan. Aku mendehem, bermaksud untuk memberinya isyarat kalau sikapnya tadi sangatlah tidak sopan dan membuatku tidak nyaman, tentu saja.

Aku kembali melayangkan pandanganku pada sebuah band yang vokalisnya gadis sekitar tujuh belas tahun di depan. Lagu yang dinyanyikannya terdengar datar, tapi, ada liriknya yang kurada persis sepertiku.

"Sometimes I start to wonder was it just a lie?

If what we had was real, how could you be fine?

Cause I'm not fine at all,"

Benar? Kurasa aku merasa demikian.

"I wish that I could wake up with amnesia

And forget about this stupid little things."

Ketika aku menghayati liriknya, tak lain dan tak bukan seseorang yang muncul di kepalaku hanya Luke. Luke... Omong-omong, memangnya siapa pencipta lagunya? "Ugh, Tuan, kalau boleh aku tanya,--" belum sempat aku menyelesaikan, ia menaruh telunjuknya di bibirku. Cih, apa maksudnya?!

Dengan cepat kutepis tangannya dengan kasar dan memelototinya dengan penuh kemarahan. "Kau boleh menanyaiku apa saja, manis." Kalau begini, tadi kuurungkan saja niatku untuk bertanya padanya.

"Lagu siapa barusan? Jika kau tahu, beritahu aku siapa penyanyi aslinya."

Aku mulai penasaran.

Pria itu menyengir, kelihatan bodoh dengan rambut klimisnya yang baru kusadari. "Well, namaku Arthur Graddess. You can call me honey or daddy?" Ia tertawa di akhir katanya, yang mana sama sekali tidak ada kelucuan di dalamnya.

"Aku tidak butuh basa-basimu, Tuan. Cepat beritahu aku siapa sesungguhnya pemilik lagu tadi." geramku.

"Ternyata kau cukup agresif, ya. Oke, kalau kau mau begitu. Jadi, um, sebenarnya tadi itu lagu yang sedang digemari para remaja yang mana bukan seleraku. Aku kurang begitu tahu seluk-beluk gaya hidup para remaja Australia sekarang, tetapi kurasa ini lagu milik band asal kota ini. Ya, dari Sydney juga. Jadi, mau ikut aku ke kamar?"

Hah? Apa hubungannya? Ternyata benar dugaanku, ia adalah pria hidung belang. Dengan ketergesaan yang kusembunyikan, aku melangkah melewatinya untuk keluar dari restoran ini. Beruntung aku belum melangkah karena sebuah kaki--yang mana milik pria hidung belang tadi, menghalang jalanku dengan tangan kanannya yang berada di depan perutku, menahanku untuk tidak terus berjalan.

Aku terperanjak, membelalakan mataku akan tingkahnya. Berani-beraninya dia. "Berapa nomor kamarmu?" Ia meraih sesuatu dalam saku jasnya, secarik kertas dan sebuah bolpoin.

Menghembuskan nafas kasar, aku menampar pipi kirinya yang mana bunyinya langsung terdengar seisi ruangan yang sepi. Semua orang menatapku, memandangiku dengan pandangan ingin tahu mereka. Benar, mereka sama sekali tidak menaruh kepedulian, tetapi hanya rasa ingin tahu yang mana sama sekali tidak membantu. "Dengar, Tuan, I'm not that kind of woman you used to be one night stand. I know you're such a rich bastard who can buys any women you want, but I will never be. Now taste how much pain in that red hand-print!"

Dengan itu aku menjauh meninggalkan pria gila itu dengan tangannya yang masih memegangi pipi kirinya yang memerah, tidak mempedulikan semua orang yang berbisik-bisik membicarakanku dengan aneh. Aku bergegas menuju ke kamar hotelku dengan heels yang mengetuk-ngetuk di sepanjang koridor. Aku takut sekarang.

Aku menjatuhkan diriku di kasur sebelum menarik bantal untuk kupeluk. Aku menggigit kain yang membungkus bantal tersebut, menahan diriku untuk menangis mengingat semuanya. Aku takut jika tak ada seseorang yang melindungiku. Aku takut jika Luke tak ada di sisiku. Aku takut akan kenyataan kalau Luke sudah tiada di dunia ini. Luke...

Aku melirik gelang penguin pemberian Luke dan semakin lama rasa sakit itu kembali muncul, memperbesar lubang yang menganga pada lukaku. Maaf aku selalu mengingatmu, Luke. Aku hanya tidak bisa. Tidak bisa untuk tidak terus mengingat dan merindukanmu. Aku selalu mengingat dirimu. Selalu terbayang dirimu yang seolah masih ada dan bercanda bersamaku. Kau sepertinya seseorang yang selalu senang membuatku terus teringat dirimu, Luke. Ya, agar kau bisa menyombongkan kepercayaan dirimu itu dan menertawakanku dari atas sana. Aku tahu kau tengah menikmati kepedihan yang kualami, Luke. Aku tahu kau memperhatikanku di bawah sini.

Satu hal yang benar-benar sulit masuk di akalku tiba-tiba saja terlintas. Kurasa aku bisa melepas gelang penguin itu agar aku tidak selalu teringat dia lagi. Ya! Itu adalah jalan terbaik. Perlahan kulepaskan pengaitnya meski rasanya berat untuk melepas ikon kesayangannya dari diriku.

Empat belas tahun benda ini selalu melingkar di lenganku. Ke manapun aku, benda ini selalu kubawa. Sama seperti ketika Luke pertama kali memberikannya padaku saat aku berusia lima tahun, ia selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi dan tentu saja kami selalu bersama-sama. Kecuali pada waktu itu, waktu di mana keluarga Frederro membawaku bersama mereka. Merupakan masa tersulit bagiku ketika aku harus pergi meninggalkannya yang selalu menemaniku selama tujuh tahunku. Aku berharap kala itu Mrs & Mr. Frederro membatalkan rencananya untuk mengadopsiku dan memilih anak lain untuk diasuhnya. Tetapi mungkin Tuhan telah merancang kisahku, dan aku yakin semua ini tidak berarti sia-sia.

Membuka kotak hadiah natal yang tadinya hendak kuberikan pada Luke, aku menatap ke dalamnya sebelum meletakkan dengan hati-hati gelang tersebut bersama kaus kaki penguin yang kubeli bersama Samantha waktu itu. Baiklah, Luke, kau harus membiarkanku menjalankan kehidupan baruku tanpamu. Biarkan aku menjalani dan mencoba mengikhlaskan sisa-sisa hidupku tanpamu. Tanpamu yang selalu mewarnai hari-hariku seperti dulu.

How are you gonna undo all of my pain, Luke?

How could you laugh in Heaven while I'm crying here?

How did you always make the edge of my lips bright for a smile?

And how did you always give me the s0arkling-hoped in my eyes?

Suddenly I wonder how did God can make us meet without our plans?

TO BE CONTINUED!

Fix alay x jan tinggalin nih ff berlaba-laba dulu ya hanya karena mz Luek yang is dead😂 lol but hey there's something that hasn't been caught! Semuanya belum keungkap kan? So jan leave dulu ya, kalo vote sama comment sih gue welcome with lapang dada(?)

Love,

Adele Styles x

Navy (Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang