Navy - 12

15 3 0
                                    

Hari berikutnya, keluarga Frederro menyantap sarapan dalam keheningan, masih merasakan kesedihan anak pertama mereka yang telah tiada. Bunyi sendok dengan piring yang beradu membuat Blue menatap kedua orang tua angkatnya dalam diam. "Aku mau tambah kentangnya lagi."

Tangan kanannya menjulur untuk mengambil makanan, namun kedua orang tuanya curiga ketika melihat goresan merah di lengan bawahnya. "Apa itu, Blue?"

Blue yang kebingungan dan baru sadar sweatshirtnya tengah disingkap pun hanya bisa berkata bukan apa-apa. Akhirnya orang tuanya memilih diam dan bergegas untuk ke kantor mereka karena urusan pekerjaan yang mendadak.

Ini yang Blue kurang suka dari tinggal di keluarga Frederro, mereka selalu sibuk dengan pekerjaan sampai rasa-rasanya sama saja diadopsi juga, tahu begini Blue lebih baik tinggal di panti selamanya. "Blue, kami pergi dulu."

***

Keheningan menyelimutinya yang tengah mondar-mandir tidak jelas di kamarnya. Ia berpikir untuk pergi ke taman dan makan es krim lalu pergi ke toko pakaian tetapi semua itu sama sekali tidak membantunya menghilangkan kejenuhan.

Gadis itu menatap tiga paperbag warna abu-abu yang baru saja ia letakkan di atas ranjangnya. Ia membuka yang pertama dan menatap  sepasang boots hitam sebetisnya. Kemudian yang kedua terdapat berbagai aksesoris warna hitam di dalamnya. Dan yang ketiga, begitu membuatnya menyesal mengapa dirinya bisa membeli sweter turtle neck ungu muda itu. Menurutnya itu agak norak dan entah apa yang membuatnya membuang uang untuk barang yang ia tidak suka itu.

Entah kenapa akhir-akhir ini Blue menjadi emosional.  Setiap malam ia menggores kulitnya sampai-sampai hampir setengah lengan kanannya penuh dengan goresan merah bekas darahnya mengalir. Sering sekali Mrs. Frederro bertanya tentang hal itu namun Blue selalu diam dan malah pergi begitu saja.

Tidak sopan memang, namun itulah dirinya sekarang: tertutup, mudah marah dan melakukan hal sesuka hatinya sekalipun tidak baik.

Seperti waktu itu dirinya pernah membanting sebuah vas saat memikirkan tentang Sam yang sudah tiada. Setelahnya ia menangis di pojok kamarnya sambil menjambaki rambutnya dan menusuk-nusuk lengan kanannya.

"Aku tidak mau." Jawab Blue saat Ayahnya baru saja selesai menyampaikan sesuatu padanya.

"Tapi kau harus, Blue. Kau tahu kami tidak bisa membiarkanmu sendiri di rumah terus-menerus." Tambah Ayahnya.

"Tapi untuk apa aku ke sana, Dad?" Tanyanya, hampir menyentak.

Ayah dan Ibunya saling bertatapan sebelum berbicara. "Kami pikir kau bisa tinggal dan kuliah di sana sekaligus untuk mencari pengalaman dan teman baru, Blue."

"Mencari pengalaman?!" Blue berdiri dan menggebrak meja makan, membuat kedua orang tuanya tersentak. Tiba-tiba gadis itu tertawa terbahak, walau tak ada humor sedikit pun. "Untuk apa mencari pengalaman jauh-jauh ke sana kalau Samantha sudah menjadi korbannya, Dad?! Dan mencari teman, lagipula mengapa aku harus mencari teman-teman baru di sana ketika semua teman Samantha sama sekali tidak ada yang datang ke tempat terakhirnya! Itu yang kalian sebut teman?!"

Orang tuanya diam menatap Blue dengan tidak percaya, tidak menyangka anak hasil adopsinya berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Bahkan Ibunya sudah berkaca-kaca. "Cukup, Blue! Kau kurang ajar sekali! Mengapa kau masih membahas Samantha dan kejadian itu?! Kau bilang kau ingin membiarkan kakakmu tenang di rumah barunya?! Mengapa kau jadi menyalahkannya sekarang?"

"I was not blaming her, Mom! Los Angeles is fuckin' bad and wild. And the point is I don't wanna go there. Never. And. Ever."

"Shut up, you orphan!"

Navy (Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang