Pergi

83 5 5
                                    

31 Oktober 2015

Move k?

Secarik kertas itu aku ambil dari dalam laci bersamaan dengan sebuah block note.
Ku buka halaman demi halamannya di depan layar monitor yang sedari tadi kursornya mengerjap ngerjap.

Srek. Srek. Srek.

#writingnote #3 #WhatIf?

Sebuah mind map dan beberapa keterangan mengikuti di bawahnya.

" Okeeey, kita mulai." Bisikku.
Kretek!.  Aku meluruskan jari jariku dan mulai mengetik. Menulis di akhir bulan memang menyenangkan, percayalah. Saat saat seperti ini biasanya aku suka me - playback kejadian sebulan kebelakang.

" M o v e." Ejaku, membaca secarik kertas itu.
" Pindah ya? Hmm..."

Tuk, tuk, tuk...

Setengah jam akhirnya aku menyelesaikan setengah part, lalu berpikir. Apa alasanku membuat tokoh Bayu muncul di part pertama sebagai cameo? Penokohannya aku dasari dari penalaranku pada seorang G. Sampai titik ini aku tiba tiba merasa pantas jadi seorang psikolog atau psikiater. *digampar reader.

Kembali ke kata pindah. Apapun arti dari itu, yang jelas itu tulisanku tapi kurasa aku lupa maksudku apa. Ya itu aku, pelupa.

Ahhh, yaa aku ingat. Ini mengingatkanku pada percakapan dengan Merry soal hati dan wattpad *terlalu random sih. Intinya, move on, jangan nungguin yang gak pasti. Yaa, harus terus jalan kalau ga mau yaa mesti pindah.

Space putih itu belum kuisi banyak, bisa dibilang malah masih kosong. Entahlah rasanya mumet, bingung mau nulis apaan lagi. Akhirnya kuraih smartphoneku. Biasanya membaca history chat akan membuatku terinspirasi -biasanya.

Mungkin aku harus bercerita pada diriku sendiri dulu sebelum bercerita pada pembaca. Kumatikan komputer dan berbaring di atas ranjang sambil masih menggenggam smartphone.

Aku mau cerita yang riil, menyentuh dan tidak boleh hambar. Sebentar lagi liburan kenaikan, mungkin aku akan dapat inspirasi saat liburan, tapi tidaakkk, aku mau menulis sekarang.

Sebulan ini menarik pikirku. Lebih berwarna kurasa, ini karena G -mungkin.

Oke gak papa kita bahas G. Yaa, orang ini adalah cowo setinggi kurang lebih 170cm kurasa, matanya minimalis * rasanya sipit terkesan rasis*, rambutnya pendek cuma yang bagian depan sengaja dipanjangin terus di tarik ke belakang kalau lari suka ngembang ngembang gitu. Buat ukuran cowo yang sering main di luar dia cenderung bisa dibilang putih banget. Jadi yaa, anggap saja wajahnya oriental. Dan dia anak geng. Sebulan ini kita lumayan deket. Lumayan, camkan itu. Dan aku lumayan nyaman juga. Ingat, aku seorang siswi yang belajar psikologi nyaman yang aku maksud berbeda dengan nyaman yang kau pikir, kami tidak sedekat itu aku ulangi.

Yaa, soal dekat ya. Hmmm, harus aku bahas kah? Baik kalau begitu akan aku ceritakan intinya walau hanya intinya kurasa ini akan jadi lumayan panjang.

Dari pertama kita chatting setelah jamnya ketinggalan itu, dia lumayan sering ngajak ngobrol. Rasanya aku dari tadi terus nulis kata lumayan. Jujur sebenernya aku agak bingung sama orang orang yang berpresepsi kalau dia orang yang buruk. Nyatanya yang aku lihat hanyalah seorang dengan personality disorder, dari penilaian ku sebulan ini dia cenderung orang yang rapuh dan butuh perhatian.  Lebih dari itu dia layaknya cowo yang lain terobsesi akan hal hal seperti itu.

Dia awalnya memintaku untuk berhati hati dengannya, mungkin dia maksud adalah dunianya, yaa yaa, kurasa dia harus berhati hati dengan duniaku. Dunia ku jauh berbeda dengan dunianya tapi yang mencoba masuk ke dalamnya tak akan bisa keluar dengan mudah dan yang sudah masuk tidak semua mampu bertahan. Aku jauh dari pergaulan bebas, narkoba atau bahkan dunia malam, tapi aku bisa membuat orang orang keluar dari sana dan G aku akan membawamu keluar dari duniamu. Karena ini misiku hahaha dan gagal.

Kebanyakan orang berpikir aku menyukainya, kalian salah besar, aku lebih suka menyebutnya 'dia pasienku aku psikiaternya'.

Hubungan kami cukup baik, yaa sebagai teman. Orang berpikir kami 'dekat' karena yaa tiap istirahat kau tahu, ia selalu menghampiriku dan menyapaku tak jarang ikut duduk dan mengobrol. Sekali waktu ia bahkan pernah memainkan sebuah lagu untukku, ya Photograph kalau aku tidak salah ia membawa gitarnya. Atau obrolan singkat sebelum masuk kelas bersama Mei. Atau chatting dengan topik random sampai larut malam. Sejauh itu aku pikir yaa dia butuh teman. Dan aku tak keberatan. Satu waktu ia mengajakku ke sebuah toko film di depan sekolah tapi aku tolak karena kebetulan harus pergi ke suatu tempat. 

Belakangan aku dengar desas desus ia mau pindah, dan aku tidak keberatan.

" Ahh." Aku membetulkan posisi tidur.

" Ayooo nulis!" Seruku dalam hati lalu bangkit dan menyalakan komputer.





IntervalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang