Pensi

37 5 0
                                    

19 Maret 2016
8.43 AM

Peluh membasahi wajahku, kaos hitam bertuliskan OSIS 2016/2017 miliku sudah banjir keringat di bagian belakang.
" Jadi gimana, kang? Ini sembilan-sembilannya langsung diprint aja?" Tanyaku.
" Iya." Jawab lelaki 30 tahunan yang sedang duduk di sofa ruang kesiswaan sambil mengelap sebuah piala berbentuk kujang dengan warna emas, kami memanggilnya Pidi.
Aku menekan tombol Enter dan seketika printer di depanku mengeluarkan suara mirip rengekan yang agak keras, meja dari kayu bekas ini sedikit berderit ketika printer tua milik sekolahku mulai menggambar.
Beberapa kali aku melirik malas ke arah jam dinding, detik demi detik berlalu. Ia seakan tertawa atas diriku yang sudah mandi keringat pagi pagi sekali.

Pukul 06.56 aku selesai briefing tim panitia dan mulai membereskan barangku, menaruhnya di ruang kelas 9K, ruang khusus panitia, letaknya berhadapan dengan ruang kesiswaan dan osis. Setelah itu aku berkumpul dengan tim dokumentasi, dan memulai briefing per seksi.

Karena semalam habis bergadang mengerjakan disain pamflet secara spartan, yaa ini akibat aku terlalu asik mengerjakan backdrop panggung. Aku hampir kelupaan untuk mencetak sertifikat lomba angklung yang di adakan seminggu lalu.
Pukul 07.13 aku memutuskan untuk berjalan kaki ke Riau, mencari tempat fotokopi. Karena belum buka aku dengan seorang temanku berjalan ke Cimanuk lalu kembali ke sekolah.
Masih belum menyerah aku kembali berjalan kaki ke Cihapit. Lagi lagi belum ada yang buka. Sampai akhirnya seorang guru bahasa Indonesia menawarkan bantuan.
Dan begitulah ceritanya aku mandi keringat pagi ini.

" Kang ini udah semuanya yaa." Seruku.
" Taro aja di ruang OSIS satuin sama piala yang lain." Balasnya.
" Oke." Aku menyingkapkan tirai di sisi kiri ruangan, celah ini menghubungkan ruang OSIS dan kesiswaan. Kurapikan piala piala itu, berbeda dengan yang Pidi bawa, piala ini hanya terbuat dari plastik.

" Kaaa, akang ke lapang dulu yaa, nyari bu kepala."
" Oke kang."
Pintu ruang OSIS berderit pelan lalu terdenger suara berdebum keras.
" Hey, uwa." Seru suara serak di belakanganku, Gio.
" Eh Uwa, ngapain? Qasidahan?" Tanyaku.
" Marawis neng." Jawab cowo berkacamata, namanya Taufik.
" Duluan yaa."
" Iyaaa." Keenam orang yang kini duduk di lantai itu mengiyakan.
Aku kembali ke ruang kesiswaan, meraih kameraku dan botol air yang isinya tinggal sepertiga.

Halaman sekolahku tidak terlalu besar, tapi aku bersyukur punya halaman depan. Setidaknya walau tidak besar masih bisa berguna. Sebagian besar lapangan ditutupi tenda berwarna biru tua. Kalau kita menghadap ke muka sekolah seakan akan utara, maka di barat berdiri panggung dengan peralatan lengkap. Sebenarnya di belakang panggung adalah koperasi, tapi karena hari ini ada bazar akhirnya koperasi tutup dan di ubah jadi backstage.
Di frontstage Farhan sibuk memasang kamera dan tripodnya, ketua koordinator bagian dokumentasi. Di sebelahnya Mira dan Abhi sedang bercengkrama, keduanya adik kelasku yang hari ini ikut mengambil gambar.

Hari ini akan jadi hari yang panjang, semakin siang pengunjung semakin banyak. Lama kelamaan udara mulai berubah panas, bajuku kembali basah dengan keringat dan akhirnya aku memutuskan untuk berteduh di stan kelasku.

" Hai Ka!" Sapa Kiki yang sibuk melayani pembeli dengan senyum khasnya.
" Hei, gimana banyak yang beli?"
Ia mengangguk kencang.
" Eh ini tester?" Aku menunjuk ke arah sebungkus sushi yang dibalut tepung krispi yang sedari tadi aku makan.
" I-iyaa, tapi jangan di makan semua."
" Yaah telat." Aku mengacungkan potongan terakhir.
" Yaah Azka mah."
" Hehehe. Daah. Eh, Fik, ini enak loh." Seruku pada Taufik yang kebetulan lewat.

Menjelang sore area bazar mulai sulit di seberangi. Akhirnya aku berdiam di balik barikade. Seseorang memanggilku dari belakang, aku berbalik dan sedikit berjinjit mengintip dari balik barikade.
" Hosh hosh hosh."
" Napas dulu neng." Komentarku.
" Gawat." Katanya.
" Apaan? Ketuplak meninggal? Ga mungkin dia lagi tampil di panggung." Tanyaku dengan wajah pura pura histeris.
" Bukan, ini lebih gawat lagi." Serunya.
" Gaje ih."
" Ada G, G dateng sama pacarnya."
" Apa???"
" Gue ke bazar yaa."
" G kenapa?"
" Dadah."

Aku memperhatikan sekeliling panggung, lalu dengan cepat aku menemukan sosok G yang sedang melihat ke arahku. Cepat cepat aku memalingkan wajah darinya, berusaha senormal mungkin tidak melihat ke arahnya.

" Azka, sini." Panggil Hana, koordinator panitia. Ia berdiri di sisi kanan panggung.
" Kenapa?"
" Nanti kalau aku ke ke panggung fotoin dari atas ya."
" Oke."
" Pay Seven yaa."
" Siap."

" Yaa, terimakasih buat penampilan dari Autumn View." Seru MC dari atas panggung.
Setelah beberapa penampilan setelahnya, akhirnya band yang dimaksud Hanapun tampil, dan G ternyata vokalisnya.
For Voldemort's nose sake, someone cover my position please.

'Act normal, yes i'm normal, very normal, oh crap, i can't stop sweating.'

Ia tersenyum sekilas padaku, lalu fokus pada penampilannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ia tersenyum sekilas padaku, lalu fokus pada penampilannya. Kukira mulai hari ini semuanya akan berubah perlahan. Aku berusaha seolah menghindarinya. Dan kurasa ia seolah tak peduli.
Di depan panggung seorang gadis berambut pendek sebahu tersenyum manis ke arahnya.

Malam minggu terburuk dalam hidupku. Ini lebih buruk daripada kehabisan pulsa saat menelepon teman lama.

Menjelang puncak acara aku mondar mandir di dekat backstage. Mengambil stockshots buat after movie. Di sana aku kembali bertemu mereka, berdua.
For young Snape's ugly eyebrows sake, can't just i avoid any couple for a minute?

" Azka." Panggilnya, ah rupanya dia masih ingat namaku. Kukira ia sudah memasukannya ke dalam bagian cewe-tidak-terkenal-yang-nanti-aku-lupakan-namanya atau mungkin cewe-cupu-yang-namanya-aneh.
" Ya?" Aku memaksakan sebuah senyum.
" Fotoin kita berdua dong." Pintanya sambil menunjuk si gadis manis di sampingnya.
" O-oke, ayo ayo." Lagi lagi sebuah senyum palsu aku pasang. Bagaimana tidak mereka berdua menggunakan pakaian yang senada dengan raut bahagia di wajah, tidak itu sangat mesra. Aku sebenarnya jengkel. Dan...

Ini pantas dinobatkan sebagai malam minggu paling menyebalkan seumur hidupku.
Tapi setidaknya aku masih hidup dan bisa menulis ini.


April 4th 2016, 10.13PM

IntervalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang