Jemariku tenggelam dalam gelombang rambut hitammu
Pajang nan lembut kau sisir ke belakang
Tubuhku melekat dan bertumpu di bahumu
Kokoh nan lebar kau balut dengan jaket kelabu seperti langit mendung
Mataku hanyut dalam tatap hangatmu
Manik cokelat kokoa, menenangkan juga canduJemarimu bertaut pada cangkir teh, jemariku bertaut pada cangkir susu
Berdua sama sama mencari hangat di dalam tumpukan ketidak adaan panas
Hening menerbangkan jutaan partikel abstrak di antara kita
Dalam hening partikel padat cangkir yang kau genggam berpisah
Tanganmu bergetar, cairan merah itu menetes keluarAir mukamu berubah ubah
Kugenggam lembut jemarimu
Manik almondmu kutatap dalam
Goresan di tangannya tak jauh berbeda dengan yang ia tinggalkan di hatiku
Cukup dalam, juga sakit
Dalam hening kita saling bertatap, membuang semua distraksi yang ada di luar sana
Gemuruh hujan dan petir menyambar bertalu di luar sana
Diam diam cerek airku bersiul riang di atas perapian
Kami diam, diam ini bagai kemistri
Aku tak pernah marah padamu, sekalipun kau pecahkan cangkir tehku
Aku tak pernah marah padamu, sekalipun kau gores hatiku
Aku tak pernah marah padamu, sekalipun kau tinggalkan aku
Aku tak pernah marah padamu, sekalipun kau rengkuh orang lain
Tapi aku marah padamu, ketika kau menyakiti dirimu sendiri
Tatap juga diammu bagai berelegi di hari senja yang hujan
Hatiku yang congkak bagai enggan untuk mengaku
Bagai malu untuk mengucap rasa
Hatimu yang larut dalam kecewa bagai enggan untuk menerima
Bagai tak peduli padaku yang memang sudah terlambat
Hanya dua kata untuk kita hari ini "Lekaslah sembuh,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Interval
PoetryKita ada karena jarak. Itu ada antara aku dan kau. Interval itu selang, berada di tengah tengah. Jauh atau dekat, sejengkal atau ribuan mil, jarak tetaplah jarak. Perasaan ini tetap milikku dan untukmu, tapi bagaimana kalau berubah? Bagaimana kalau...