Run to miracle

1K 84 2
                                    

"Ebina telah di serang oleh kanker otak, kanker itu sudah menyebar ke seluruh saraf tubuhnya. Daya taha tubuhnya menjadi semakin melemah dan juga tenggorokannya terkena radang yang parah. I tidak dapat bertahan lebih lama lagi jika tidak dengan segera di operasi. Walau sudah operasi, Kemungkinannya untuk hidup sangat kecil, Walaupun ia berhasil bertahan, suaranya akan hilang dan bisu. Ia tidak akan bisa berbicara lagi"

"Itu bohong! Ebina baik baik saja! ia akan terus hidup dan menjadi penyanyi! Kau tidak berhak mengatur hidup orang lain!"

Aku mengerata kepada dokter yang berada di depanku ini. Aku tidak percaya. Aku tidak akan percaya dengan omong kosong yang keluar dari Dokter ini!

"Saya mengerti perasaan anda, tapi itu kebenarannya, Ebina hanya mempunyai 10% kemungkinan untuk hidup"

Aku hanya mematung mendengar penjelasan yang sulit untukku dengar ini. Aku meneteskan air mataku dan terduduk di kursi di sebelah kasur di mana Ebina sedang tertidur di sana.

"Kita bisa menangani kankernya, dengan cara operasi. Tapi untuk keberhasilan suaranya itu tidak memungkinkan."

"Aku akan membayar biayaya operasinya! Semahal apapun aku akan bayar untuk kehidupan saudaraku!"

Tanpa ragu aku mengatakan hal yang harus aku lakukan. Operasi untuk keselamatan Ebina.

"Tapi biayaya nya sangat mahal, dan ia harus di kirim ke Jerman untuk operasi otaknya. Setelah operasi pun kemungkinannya untuk bertahan hidup hanya sedikit"

....

Aku menangis menggenggam tangan Ebina yang masih tertidur lemah di kasur pasien ini.

Bagaimanapun ia satu satunya keluarga yang aku miliki di dunia ini. Ia saudaraku, ia saudara kembarku, ia temanku, kami telah melewati luka hidup bersama selama ini. Aku tidak mungkin diam saja melihat Ebina seperti ini.
Aku harus segera mencari dana untuk ia operasi, sekecil apapun kemungkinannya untuk hidup.. Aku tidak perduli!

Aku tidak mau Ebina meninggalkanku!

"Apa? menginap satu malam disini saja tidak boleh kalau tidak membayar?!"
Aku mulai gerah dengan prrkataan suster yang menggangu di ruangan ini, trrus menagih biayaya infus dan obat penawar untuk Ebina tadi.

"Maaf nona, tapi di rumah sakit ini kau harus membayar untuk biayaya opname dan obat obatannya"

Aku muak dengan suster ini. Mana mungkin aku membawa pulang Ebina dengan keadaan seperti ini?!

"Tidak apa apa Ebiko.."

Aku menoleh pada Ebina yang terbangun lemas dari tidurnya
Ebina melepas infusnya dengan tangannya sendiri.

"Apa yang kau lakukan bodoh?!"
Aku menghampirinya dengan wajah kesal karna perbuatan konyolnya

"Ayo pulang"

Suara parau Ebina sangat serak, aku tidak tega melihatnya seperti ini. Dengan berat hati aku harus membawa pulang Ebina, karna memang aku tidak punya uang untuk membayar biayaya opnamenya.

Tuhan aku tidak sanggup melihat wajah Ebina yang sangat pucat ini.

Aku berjalan menopang badan Ebina yang sudah sempoyongan berjlan. Malam hari dingin seperti ini, musibah ini, aku tak sanggup menahan air mataku meratapi nasip kami Tuhan..

Ke esokan harinya, aku berangkat pagi pagi tanpa membangunkan Ebina. Aku telah menyiapkan makanan sederhana di samping kasur Ebina, berharap saat ia bangun ia langsung makan.

Ya, sekarang aku bekerja apapun yang bisa aku kerjakan, demi separuh uang yang kelak ku tabung untuk pengobatan Ebina.

Aku membantu berkebun di kebun milik tetanggaku, siang hari yang terik aku memetik jagung jagung di kebun itu. Aku tidak peduli sepanas apapun hari ini aku akan tetap bekerja untuk mendapatkan uang!

Sorenya sekitar jam 3, aku masih punya waktu luang 1 jam sebelum berjaga di toko, tempat dimana aku selaku bekerja. 1 jam luangku itu aku isi dengan mencuci piring piring dan alat masak di kios dekat tempat berkebunku tadi, kios itu menjual daging sapi dan restoran sapi panggang yang lumayan ramai di kalangan desa kecil seperti ini.

Setelah selesai dengan cucianku, aku mendapat upah dari pemilik kios itu, dan mengambil upah bekas bekrrjaku berkebun tadi. Tanpa basa basi aku segera pergi ke toko untuk berjaga sebagai kasir.

Malam pun tiba, kini waktunya aku pulang dengan beratnya punggungku ini, lelah yang kurasakan tidaj berarti lagi demi kesehatan Ebina.

Sampai dirumah aku melihat Ebina yang sedang memakan jatah makan malam yang sudah aku bungkus dan siapkan di sebelah kasurnya.

"Kau dari mana saja?"
Suaranya yang parau membuatku tidaj tega melihat matanya.

"Tentu saja bekerja, aku akan bosan jika di rumah terus!"
Aku menyusipkan senyumku kepadanya, aku tidak mau ia melihat kesedihanku.

"Jadi kau tidak mau menemaniku saat aku sakit ya"
Ebina tertunduk

"Apa maksudmu? itu tidak mungkin! kau akan segera sembuh Ebina. Percaya padaku."
Aku menggemgamnya erat dan ia memelukku

Aku tidak boleh menangis!

Never MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang