Bab Satu

2.6K 68 23
                                    

Gigi Inna gemeletuk dikarenakan napasnya beradu saat memecahkan kalimat-kalimat membuat otaknya makin panas. Seraya berucap basmalah, Inna terus-terusan memantapkan diri bahwa pikiran tentang jawaban dicarinya adalah benar. Sehingga Inna menulisnya secara asal-asalan tanpa meminta contekan di sebelahnya.

Kegelisahan Inna tak lepas dari saat itu juga. Inna mesti berulang kali meneliti jawaban baru ditulisnya agar tidak salah kaprah dan salah persepsi. Karena bagi anak remaja sekarang, menjawab pertanyaan sering bermasalah sampai dimarahi guru.

"Waktu telah habis. Kumpulkan segera!"

Guru meminta semua lembar kertas para siswanya untuk mengumpul di meja miliknya. Inna bangkit, lalu mengucapkan basmalah dan kemudian melangkahkan kaki dengan mantap dan niat.

"Kamu sudah selesai, Inna?" Gadis itu mengangguk sambil mengatup bibir. "Sepertinya matamu ada bekas lelehan air mata. Hati-hati kalau belum cuci muka, Inna," ejek gurunya, Pak Fachri, sengaja.

Inna menggerutu lalu mengambil tisu di saku kemeja sekolahnya, mengelap ujung matanya pasti terkena lelehan air mata akibat dari nonton film Bollywood tengah malam tadi.

Haruka, mata sipit dengan muka ala Jepang, terkekeh geli di sampingnya saat menyerahkan lembaran ulangannya. "Ya Tuhan, Inna, sejak kapan terpengaruh kejahilan Pak Fachri. Dari tadi aku nggak lihat ada kotoran di ujung matamu."

Kena jebakan jahil guru satu itu, Inna melotot tajam ke arah Pak Fachri masih berusia dua puluhan di atas rata-rata. Memang dari dulu selalu suka iseng dan tukang jahil.

"Tidak baik menatap guru seperti itu, Inna. Awas, nanti naksir sama saya," kedip ganjen dari sang guru PKN. Yang lain pada terbahak.

"Astaghfirullah, Bapak!" Inna mengusap dada. "Bapak, saya masih SMA. Masih butuh bimbingan, belajar dan ilmu. Jadi, jangan kira saya melamar Bapak, ya."

Pak Fachri terbilang manusia tak peduli penilaian manusia, tak terpengaruh kalimat berupa penolakan dari Inna. "Padahal Bapak sengaja datang ke rumahmu kemarin untuk melamarmu."

"Jangan bercanda, ya, Bapak Fachri terhebat," puji Inna tak bersungguh-sunguh, cukup dalam hati. "Saya 'kan, siswa les Bapak bukan calon isteri Bapak. Tidak mungkin, dong, saya menyetujui lamaran Bapak." Terpikir sesuatu, Inna menyeringai menyeramkan. "Bagaimana keadaan Ibu Vinka kalau saya bilang, Bapak melamar saya, ya?"

Terjerembap perbuatan sendiri, Pak Fachri jatuh dari kursi. Semua terkaget dan menahan tawa. Kerlingan dan ejekkan senyuman aneh Inna membuat Pak Fachri menelan saliva ke tenggorokan kering. Kekalahan telak untuk guru PKN dan dimenangkan Inna Farahzah Hamid.

"Baik, kamu menang, anak manis," senyum pasrah dari Pak Fachri. Kembali lagi ke mata sinis nan kejam. "Tapi, kita lihat bagaimana nilaimu di mata pelajaran saya."

Inna membatu dan terpaku juga kontan melotot, menggerakkan kepala untuk melirik Pak Fachri. Mata sendu sekian melotot Inna tak digubris Pak Fachri sedang menyusun kertas ulangan itu. Untung Haruka menuntun Inna ke mejanya daripada kena bentak kemenangan dari guru PKN terkenal jahil tersebut.

Pasrah dan prihatin atas semuanya.

Subhanallah, batin Inna sedang berbicara.

***

Beda kelas dengan kelas Inna. Patra sedang mengalami masa-masa tabu. Lihat saja, kini Patra melamun sambil membayangkan kemarin-kemarin tentang masalah dihadapinya. Desah napas telanjur terlontar, tak tahu ada benda menerjang ke arahnya dan menjadikan dirinya tiba-tiba menunduk, menyebabkan benda tersebut menelan korban di belakang Patra hingga memekik kesakitan.

"Duuuh, sakiiit!"

Patra mengangkat kepala dan menoleh ke belakang bersamaan para penghuni kelas. Dika, teman sekelas di bagian belakang Patra, sedang mengusap dahinya kena benda semacam kapur tulis. Dahinya memerah, sedangkan benda itu mendarat jatuh di atas meja Dika.

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang