Bab Dua Belas

202 18 2
                                    

Patra termangu di ruang tunggu sambil diapit dua sahabat selalu menemaninya. Ekspresi Patra seolah-olah baru datang dari tempat tak ada namanya.

Seragam penuh terasi dan bom atom, terganti dengan pakaian baru. Untung ada yang mau memberikan pakaian itu walaupun harus dikembalikan tepat waktu.

Inna melototi Patra yang duduk tanpa ada rasa bersalah. Rahang Inna-sepertinya-mengeras. Kedua tangan mengepal di atas kain abu-abu. Bibirnya terkatup horizontal. Tipis. Hanya suara derap langkah pengunjung Rumah Sakit dan keributan di ujung sana.

Mata Patra bergerak sana sini. Respons dimiliki Patra sungguh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Dia, laki-laki, kehilangan jati diri, arah dan tujuan. Kepribadian masih terkungkung, namun sisanya beda.

"Manusia depanmu ngapain pelototi kamu?"

Suara berat terbilang aneh muncul di pikiran Patra. Refleks, kepala Patra dimiringkan. Efeknya kena di Inna. Bahkan Inna menggaruk pelipis, berpikir. Seperti bertanya, anak itu kenapa?

"Jangan kamu terpengaruh sama manusia depanmu. Pura-pura alim, nyatanya siap meremasmu," ucap suara itu lagi.

"Siapa manusianya?" Kening Patra berkerut. "Cuma Inna yang ada di depanku."

"Dasar bodoh!" umpat suara itu lagi. "Tentu saja yang kumaksud itu Inna! Memangnya siapa lagi berada di depanmu, hah?! Tembok?!"

Patra mengangguk-angguk. Inna dibuat kebingungan. Menarik badannya untuk bersandar. Emosi tadi hilang karena Patra seperti bergerak sendiri.

"Lalu? Selanjutnya apa?" Patra bertanya-tanya.

Suara itu menghela napas panjang. "Kamuuuu! Aku cuma masuki badan kamu, tapi kamu responsnya hanya segitu? Kamu tidak lihat bahwa aku yang menggerakkan kamu selama ini! Jangan berlagak bego!"

"Harumnya bau obat! Enak sekali kalau dibawa pulang!" Patra mengalihkan perkataan suara dalam kepalanya. Kepalanya sakit meski suara itu geram atas perlakuan Patra seenaknya memotong pembicaraan mereka.

"Dasar kamu, Patra!" Dika sejak tadi terdiam, mengacak-acak rambut hitamnya. "Ibumu terbaring sakit, tapi kamu malah minta obat!" Patra terlihat mengangguk antusias, namun datar. "Kayaknya otakmu mesti diperiksa ke dokter, deh."

"Habisnya kamu nggak berdiri, sih. Jadinya 'kan, aku terus cium aroma wangi semerbak ini." Patra berkilah. Dika menganga. David yang sedang mengetik sesuatu di hp, tak mengikuti alur. Inna sepertinya lelah.

"Gyaaa!" Dika berteriak.

Ada sosok bertubuh idealis, tergopoh-gopoh mendekati mereka. "Tolong ya, dek. Suara itu dikecilkan. Nanti ganggu pasien-pasien lain," tegur suster berpakaian serba putih dan hijau.

Dika merasa malu, menunduk. "Ma-maafkan saya, suster."

"Jika adek-adek sekalian mau bicara, tolong keluar. Supaya nggak ganggu. Ada taman belakang Rumah Sakit," tawar suster tersebut menamakan Mirna sesuai papan di dada kirinya.

"Terima kasih, suster."

Suster bernama Mirna memicingkan mata, melihat Patra duduk sembari menghirup udara sebebas mungkin. Dari cara berpakaian, orangnya sangat muda. Mengapa ikut dalam sekumpulan orang suka teriak?

"Adek dokter muda, ya?" Mirna berkata langsung membuat Dika dan Inna terjungkal dari kursi. "Atau anak koas? Seharusnya anak koas berkumpul di ruangan dokter Rahman. Tapi-"

Mirna mengerjap beberapa kali, kehilangan figur Patra yang memakai kemeja dokter dengan menutupi baju pasien sangat familier. Mirna mengira Patra adalah seorang koas yang ikut menjalankan operasi. Tetapi, anehnya anak itu menghilang saat Mirna sedang berpikir melalui langit-langit lorong.

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang