Bab Sebelas

354 20 4
                                    

"Ngapain bawa-bawa bazooka? Senjata paling berat?" tanya Pak Fachri, si guru narsis, menunjukkan senjata besar kepada Inna. "Di sekolah tidak boleh bawa senjata. Masa kamu belum paham?"

"Pahamlah, Pak," sahut Inna duduk tegak karena diinterogasi.

"Kalau kamu paham, buat apa ada ini? Mau hancurin sekolah? Mau hancurkan nama martabat Bapak?"

Keluar dari topik, Inna mengernyit. "Pak, martabat apa? Maksudnya martabat sekolah bukan pakai nama Bapak. Capek, deh," cerocos Inna membuat Pak Fachri terbata-bata. Salah tingkah.

"I-itu ... anu, Bapak tidak bermaksud." Pak Fachri tampak berubah biasa. Tidak sengaja mencantumkan namanya. "'Kan Bapak wali kelas kamu. Kenapa kamu belum sadar?" Inna cengengesan dengan ekspresi ngeri. "Itu mukamu kayak lihat setan. Memangnya Bapak setan?"

"Sensi amat, sih." Inna frustrasi melihat Pak Fachri terkesan memuji dirinya sendiri. "Pak, ini kondisinya niat membuang bazooka plastik atau menghukum saya? Sudah lewat sejam, Bapak menahan saya di sini."

Bazooka diletakkan depan Inna, mengalihkan. "Apa isi dalamnya? Kamu kasih apa ke Patra dan Geena sampai badan mereka berdua penuh darah merah?"

"Oh, itu saya kasih saus sambal sama saus tomat." Inna tampak datar saat berterus terang. "Tidak ada alat yang cocok untuk bazooka plastik saya, Pak. Karena terlalu berat, makanya saya masukkan saus-saus ke dalam bazooka. Sebenarnya mau kasih petè atau terasi biar bau badannya menyengat. Begitu."

Pak Fachri termangu, tak percaya. Anak perempuan memiliki budi pekerti lewat ekspresinya tak terbaca, ternyata punya ide kejutan. Tetapi, Pak Fachri tak menyangka benda sebesar ini mengapa bisa ada di Inna. Meneliti ransel hanya seukuran cocok buat memasukkan buku. Dan tak ada tempat lain yang bagus untuk benda sebesar itu. Walaupun berasal dari plastik.

Berdeham menenangkan rasa penasarannya, Pak Fachri memijat pelipisnya. "Saya tidak tahu mau bilang apa. Bapak tidak punya tebakan benar paling pantas. Bapak pikir-pikir dulu. Sementara kamu duduk terus di situ. Jangan ke mana-mana," perintah Pak Fachri bikin Inna melongo dengan muka menyebalkan.

Inna duduk dengan sangat jengkel. Sejam diinterogasi, apa perlu sejam lagi menunggu? Pak Fachri merupakan tipe paling suka lama membiarkan orang lain menunggu.

***

Widya menggeleng tak menduga, dua orang anak muda di hadapannya terbaring. Seluruh pakaian dikenakannya penuh warna merah. Ada bau sambal di sela-sela pakaiannya membuat Widya menebak pasti itu saus. Bersamaan saus tomat.

"Lengket."

Menyentuh saus terkena seragam putih bersih Patra dan Geena, mengusapnya. Dan mendekatkan saus itu ke hidung, membuat Widya mengembuskan napas panjang.

"Campuran lem kayu," tebak Widya. "Saus sambal dan tomat juga lem kayu. Kreatif sekali kamu, Inn. Kukira kamu kasih anak ini terasi atau bau-bauan yang seminggu nggak akan hilang."

"Sadisnya," tegur laki-laki berdiri dekat ranjang Patra. "Kenapa kamu tega dan sadis begini?"

Widya memutar bola mata kesal. "Setelah kudengar ceritamu tentang cowok aneh ini dan cewek nggak tahu malu, aku dukung Inna buat bantai dua orang nggak tahu etika!" geram Widya.

Dika ingin mengatakan selanjutnya, tetapi Widya mengangkat tangan. "Biarkan aku bicara sampai selesai. Aku baru paham bahwa Patra Wiryawan jarang mengumbar kemesraan apalagi menunjukkan. Baik di luar dan dalam publik. Dan sekarang, peristiwa tadi bikin aku mulai dukung Inna sehingga aku melampiaskan kemarahanku untuk dua orang ini!"

Dika dan David tak mampu berbicara. Sebagai seorang anak laki-laki paham soal anak perempuan bila marah itu menyeramkan. Jika kamu mau hidup, lebih baik tidak usah ngomong apa-apa.

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang