Bab Enam

398 23 22
                                    

Kejadian kemarin seolah-olah bencana tsunami datang ke daerah sekolah mereka. Begitu histeris dan panik bercampur keterbekuan selama beberapa menit hingga lupa waktu buat pulang. Kejadian begitu mengerikan bila diingat beberapa kali jika menjadikan diri sebagai pelaku.

Sesungguhnya bagi Inna baru merasakan ketegangan serupa, membuat Inna terus menerus menghela napas. Tak menyangka baru kali ini Inna merasakan arti bernama ketegangan dan kesuraman disertai waswas dan kebingungan.

Dan buat Inna, mengenakan sepatu kets berwarna hitam, kaus kaki warna putih mencapai betis bisa diketahui tak bisa dilihat karena diselimuti rok panjang abu-abu sampai dengkul, kemeja putih sangat rapi dan jilbab putih setengah digulung melilit pundak. Polesan tak kalah sederhananya. Cukup dibayangkan betapa manis seorang Inna Farahzah. Bukan karena mata terbilang mirip Elang, tapi bulu lentik alisnya yang lebat.

Cuma kulitnya sawo matang. Jadi, spekulasinya tak sempurna-sempurna amat pernah dibahas di mana cewek cantik berkulit putih susu.

Kini, yang disebutkan di atas sedang berdiri di perkarangan rumah. Sepasang kaki terus merapat, tak mau beranjak. Meski pintu terbuka buat menyambut sang pemilik rumah.

"Lho, Inna?" Salah satu anggota keluarga terbengong-bengong mendapati Inna salah tingkah, dan jaraknya hanya sekitar enam meter. "Ngapain kamu di situ? Ayo, masuk," tawarnya.

Inna menggeleng, "tidak, Kak Dini," ujarnya sopan. "Saya mau ketemu Patra sekalian bareng ke sekolah."

Mimik wajah Dini, Kakak kandung Patra, muram turut bersedih. "Patra lebih duluan pergi. Baru setengah jam lalu. Entah dia melakukan apa hingga cepat-cepat berangkat tanpa menunggu Papa."

Melihat ekspresi Dini, Inna kecewa pada tindakan Patra. Tak seperti biasanya. Raut muka Inna menunduk, menghela napas frustrasi. Bahkan umpatan bersarang di hati terlontar meski tak terutarakan.

"Mau Kakak antar ke sekolah? Bareng Mas Ian saja," saran Dini kembali masuk ke rumah. Berselang semenit, Dini mendorong tubuh lelaku bertinggi besar sambil menggigit roti--bisa diketahui Abang ipar Patra ini baru sarapan pagi. "Mas Ian bisa antar Inna ke sekolah?"

"Tidak usah repot-repot, Kak!" tolak Inna tak enak hati.

Berasa tak mendengar penolakan, Dini justru mengguncang-guncang badan Ian hingga mendelik seakan mengancam. Ian terbilang cukup awas, demi menyenangkan hati isteri, mau bagaimana lagi.

"Tapi, nggak baik satu laki-laki dan satu perempuan berada di satu tempat. 'Kan, Mama mau ke pasar, aku antar sekalian, ya?"

Dini tak menolak saran itu, mengangguk antusias. Inna mengembuskan napas lega. Untung tidak kena sembur Emaknya nanti waktu sepulang sekolah. Bila melihat Inna satu mobil dengan Abang iparnya Patra, bisa berabe dan ujungnya, Inna tak bakalan ikut bareng Patra, lagi.

"Aku siap-siap dulu."

Dini melihat suaminya masuk rumah, mengalihkan pandangan ke arah Inna yang tersenyum gugup. Takut Inna kelamaan menunggu, Dini membawa Inna masuk untuk sarapan bersama.

***

Inna turun dari mobil dikendarai Ian dan penumpangnya masih Ibu Patra, Geesha. Mereka melambaikan tangan permisi, disahut Inna dengan balasan ucapan terima kasih. Setelah kepergian kendaraan tersebut, Inna seperti mendapatkan serangan jantung mendadak. Ah, bukan. Firasat tidak enak.

Ketika melangkah menuju lapangan luas selesai melewati pagar di mana satpam biasanya bertugas tak urung Inna lupa pada kegelisahan satpam itu. Kening Inna berkerut saat membalik melihat satpam. Barulah Inna kembali tertuju ke depan.

Matanya sontak membeliak lebar. Mulut otomatis terbuka. Kulit sawo matang putih parah. Bisa diyakini sebentar lagi rahang Inna jatuh menimpa tanah.

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang