Bab Empat Belas

138 10 3
                                    

Hari Senin pagi yang cerah. Sebagai bentuk menjalani upacara nanti, siswa-siswa memilih berangkat pagi-pagi. Bukan karena dihukum telat, tetapi insting mengatakan begitu. Eh, apa hubungannya?

Senin pagi demi mempersiapkan upacara, sekelompok anak-anak bergegas masuk kelas. Ada sebagian bekerja untuk menghapal pelajaran-pelajaran buat ulangan. Tetapi, bagi siswa berwajah Chinese, wajah ditekuk saking kecapekan.

Dika di sebelahnya, terus-terus mengembuskan napas panjang. Dan perempuan berjilbab putih di belakang keduanya, hanya memasang wajah datar seperti biasa. Veesha, tak bisa disembunyikan siapa dirinya, bingung dengan caruk-maruk tiga orang temannya.

"David!"

Tubuh David menegak. Sepasang mata mengerjap. Berasa keringat dingin menerjang. Hatinya kebat-kebit. Hati-hati hempasan badai siap menghantam. David paling tak membuat masalah, terlihat ingin melarikan diri.

Cewek berkuncir kuda—bergoyang-goyang sesuai langkah kakinya—memasang senyum manis. Banyak terpesona pada senyuman itu. Tetapi, tak tahu dalamnya apa.

"Hai, Delika."

"Delika cantik."

"Manisnya lihat si imut."

Kebanyakan siswa-siswa adalah seangkatan Delika. Anak cewek sangat periang, namun misterius.

Genjotan di lengan David memantulkan Dika berdiri di sebelahnya. Dika syok, mengumpat dalam hati. Minggir ke samping membiarkan David kena buah simalakama.

"Hei," sahut David gugup.

Delika mengamati sisi kanan-kiri David, tak menemukan yang dia cari. Mengalihkan ke arah David. "Ke mana Patra? Kok, aku nggak lihat?"

"Eumm ... itu...."

"Padahal aku mau memfoto kalian lagi. Soalnya kalian serasi!" Delika melonjak gembira. David merasa sengsara.

"Patra mungkin nggak masuk," kata David berharap si objek tak hadir hari ini.

"Kamu bilang apa?!"

Kelima orang sontak meloncat kaget. Keberadaan guru tukang jail datang di sela-sela pembicaraan David-Delika. Dika, Inna dan Veesha hanya melongo. Sejak kapan guru satu ini ada di sini? katanya batin mereka bertanya-tanya.

"Kamu bilang Patra Wiryawan nggak datang?" Seolah-olah tersihir, David mengangguk. Pak Fachri berdecak. "Cepat telpon dia! Seenaknya saja tidak datang hari ini. Bukannya ada pemberitahuan dari Pak Akbar?"

Delika bersedekap. "Pak, saya tidak pernah baca mading. Mana saya tahu ada pemberitahuan. Ibu Vinka juga tidak ngomong apa-apa pada kelas kami."

Inna, Dika, Veesha, dan David baru menyadari ada siswa sebegitu hebatnya melawan Pak Fachri, guru jail kebanyakan sensasi cuma menarik perhatian. Seakan mereka diam, walau ada ketahanan siap menyembur tawa.

Pak Fachri melirik tajam. "Oh, nantang ya," ucapanya manggut-manggut. "Kamu mesti dihukum karena menantang saya terutama melawan!" Pak Fachri mendorong tubuh Delika yang terkesiap.

"Yaelah, Pak, main hukum saja!"

Inna, Dika, Veesha dan David menggeleng-geleng prihatin. Masih saja melawan saat didorong menuju ruang guru. Sepertinya Delika tak mengerti situasi.

"Mau saya tambah hukuman kamu lagi!"

Teriakan Pak Fachri membuat sekeliling halaman sekolah tertuju ke dua orang sedang adu argumen. Kelihatan kenal baik siapa-siapa dua orang sering meramaikan suasana. Delika, si pemberani nan periang dan Pak Fachri, si jail suka tantangan.

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang