Bab Lima

415 23 25
                                    

Memasuki jam selesai waktu matahari berada di atas, menyebabkan suasana tadinya penuh kecamuk berubah muram tiada ada namanya. Menghela desau angin melewati jendela, menyentuh lengan sedang menopang pipi sambil melamun.

Tak diketahui bahwa ada yang melihat, memandang betapa muramnya sang melankolis. Tatapannya kosong. Tak ada helaan napas apalagi menghirup. Kondisi dalam kelas menjadi tempat bagi sang melankolis lebih banyak sendiri.

Bisa dikemukakan siapa sosok sedang duduk tersebut. Mulai dari sepasang sepatu hitam bertali berwarna sama, kaos kaki tertutup celana panjang abu-abu, kemeja putih terlihat berantakan dengan logo SMA di dada kiri, jam tangan di pergelangan tangan kiri sedang menopang pipi, bibir tipis berwarna merah--artinya tak pernah merokok, hidung sedikit mancung, mata hitam yang memandang kosong ke depan, dan rambut hitam dipangkas pendek sesuai aturan sekolah.

Kalau dilihat-lihat lebih lama, si melankolis dengan jenis kelamin laki-laki, cukup tampan dan sangat dikagumi semua perempuan--itu pun cuma adik-adik kelas. Karena kulit putih begitu terpampang, putih bukanlah terlihat sempurna tetapi karena efek sinar matahari masuk ke jendela di mana mejanya mendapat subjeknya.

Hati dia begitu mendung bukan karena gagal mendapat sesuai anjuran tidak mengikuti berjamaah, tetapi hatinya terpatahkan akibat putus cinta. Berasa hati ini juga ikut terhanyut sedihnya lelaki duduk termenung.

Sesuatu menjewer telinga di sudut paling belakang dalam mengeksplorasi keadaan dan kondisi siswa, berteriak histeris. Kesakitan akibat sentuhan berkat dipelintir menyebabkan si narator menghentikan kalimat belum sempat dilanjutkan tadi.

"Berhentilah bicara bahwa Patra nggak baik-baik saja!" gertak David membuat narator memajukan bibirnya dua senti. "Keluar!"

Tak tanggung-tanggung narator sementara berlari melewati David dan dua orang di balik pintu dalam sekejap. Namun, senyuman sinis begitu terlihat ketika narator cuma mengintip di sela-sela pintu dan membiarkan yang menulis melanjutkan adegan berikutnya.

***

David, Dika dan Inna mendekati Patra yang terus melamun. Waktu pulang telah lewat beberapa jam lalu. Sementara waktu sekarang telah memasuki sore. Warna jingga di luar mengartikan segalanya, apalagi Inna mendapat kabar bahwa Patra belum pulang sedari tadi.

"Patra, kamu kenapa?"

Patra tak menyahut maupun tak bergeming. Semua serba terdiam seperti teronggok benda menumpuk hingga beban belum terangkat agar suara itu tak sepenuhnya terucap.

"Dia kenapa?" tanya Inna beralih ke Dika.

"Namanya juga patah hati."

"Tapi, seharusnya dia tahu ketika laki-laki putus cinta nggak boleh melampaui batas. Manusia seperti kita janganlah terlalu mendalami kegalauan. Bisa jadi histeris maupun frustrasi akibatnya berubah bunuh diri."

Dika tercengang mendengar tuturan Inna begitu spesifik. "Aku yakin, Patra nggak bakalan berubah seperti kamu katakan. Patra hanya lupa posisinya di mana."

"Mau sampai kapan?" Bahu Inna terkulai lesu. "Lama kelamaan Patra bukan lagi Patra yang dulu."

"Awas, ucapan adalah do'a," ujar David sambil menarik guru tak sengaja lewat kelas IPA. "Pak Fachri, tahu enggak cara bikin Patra balik ke semula?"

Spontan, Inna dan Dika balik badan. Mulut mereka terbuka maksimal melihat sosok bertubuh jangkung berpakaian rapi dengan kemeja kotak-kotak, berdiri dengan gagahnya. Sorot mata kebingungan itu seakan belum mengerti apa yang terjadi.

"Hei, mengapa kamu bawa guru tukang jahil ini ke sini?!" bisik Inna seraya menggertak gigi hingga menyebabkan Pak Fachri mengernyit. "Kamu kan, tahu aku punya masalah sama guru satu ini. Kamu nggak mau kan, aku kena tindakan pidana."

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang