Bab Delapan

367 25 6
                                    

"Tadi itu, apa?"

David hampir serangan jantung saat Patra meminta Veesha sebagai kekasihnya. Soal penolakan, David belum sampai ke sana karena Pak Teddy seperti habis kesabaran hingga menjewer telinga Patra. Melotot lebar mirip manusia mempunyai mata laser mematikan. Hal itu mampu bikin penghuni kelas XII IPA I bungkam.

Selama mata pelajaran Kimia selalu rumit di otak dan tak ada istirahatkan otak, seperti membiarkan anak-anak didik Pak Teddy pingsan di tengah jalan. Siapa tidak mengira bahwa Pak Teddy beri hukuman berupa ujian?

Sehingga ketika selesai ujian, banyak umpatan buat Patra karena dialah, mereka juga kena imbasnya. Patra memasang wajah tak bersalah. Mata hitamnya terus tertuju Veesha. Tak ada yang lain.

Pelajaran mematikan seperti Kimia memang habis di hari ini. Hari Kamis. Tinggal mata pelajaran Matematika di jadwal akhir, berdekatan jam pulang sekolah. Siapa tidak bikin tegang?

Melupakan dua mata pelajaran, David masih melongo. Mulutnya membuka. Bagi teman sebangku, masalah ini adalah masalah perkara. Sejak Patra berpacaran dengan Geena, pertama kali yang melontarkan kalimat tadi adalah Geena. Patra kaget waktu itu, mendapat ujian yaitu mempunyai pacar. Dan bagi Patra, itu sangat tertantang. Dan selama setahun inilah mereka tetap berpacaran. Abaikan yang putus minggu lalu.

Mungkin inilah berakibat fatal untuk Patra. Geena yang mengawali, Geena juga yang mengakhiri. Siapa tidak kaget? Narator saja kaget. Eh, tidak ding. Dia cuma terlena saja.

Kembali ke topik, semua itu sudah nasibnya. Bisa saja di ke depannya, ada lebih hebat ujiannya untuk menguatkan iman.

Dan tentang David, tinggal menunggu waktu dia berteriak sekeras-kerasnya. Saking kesal, sebal, marah dan sedih pada waktu bersamaan. Mungkin lima detik dari sekarang.

"Patraaaa!"

***

"Kenapa teriak-teriak?" tatap Dika jengkel sambil mengusap-usap telinga. "Sudah tahu situ suara teriaknya kayak halilintar, tetap saja dilakukan. Nggak sadar ada orang di sampingmu, hah?"

David cemberut. "Mana aku tahu di sampingku ada kamu. Kirain kamu langsung ngebut ke kantin."

Dika menjitak kepala David, saking kesalnya. "Enak saja dibilang ngebut, memangnya aku kucing setelah dapat ikan langsung ngebut?!"

"Astaga, Dika. Kalimatmu jangan ada dimirip-miripkan ini-itu. Kasihan aku, 'kan?"

"Maksud apa situ bilang kasihan?"

David tak menjawab, malah semakin cemberut. Memalingkan muka menahan kesebalan karena selalu ditantang seperti tak ada lampu lalu lintas. "Semakin aku jawab, pasti dibelokkan. Kayak ini, kayak itu. Besok jangan minta bantu aku kalau kamu begini begitu."

Lirikan tajam masing-masing mengundang adik-adik kelas mengikuti aksi-aksi kakak-kakak kelas yang numpang keren tersebut. Mereka menahan ketawa. Alasannya takut mendapat pelototan keras dari dua cowok memang terkenal mata-mata yang melotot. Stalker kali yang melotot?

"Minggir kalian!" decak seseorang yang suaranya familier. Mereka menyingkirkan David dan Dika ketika berhenti di tengah jalan. "Ngapain kalian begitu? Matanya iritasi, ya? Minta obat sana sama anak UKS!"

Dika dan David kenal Patra. Biasanya Patra menghentikan perdebatan mereka dengan cara baik. Tetapi kini, Patra menghentikan mereka dengan cara tak biasa. Cara seakan menyingkirkan teman.

"Astaghfirullah, Patra," kata Dika mengusap-usap dada. "Kenapa cara bicaramu terdengar kasar sekali."

Patra menaikkan alis sebelah. "Ada yang salah?"

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang