Bab Tiga

648 36 22
                                    

Suara jangkrik terdengar di balik jendela yang tertutup, pun tak malu-malu mengeluarkan suara indahnya. Namun, tak berarti bagi pemuda memandang nyalang atas langit kamarnya. Dipicu dibutakan indera pendengaran, begitu tak memedulikan suara indah Jangkrik.

Terbayang wajah gadis manis nan ayu, memamerkan senyum lebarnya. Bibirnya merah alami. Pipi agak chubby. Hidung sedikit mancung. Bulu mata panjang dengan warna mata terkelam yang pernah. Serasa berada di dunia lain. Oh, astaga, Patra melantur.

Pintu menjeblak terbuka tak digubris oleh Patra membuka mata lebar-lebar tanpa berkedip, dengan sanggahan kedua tangan di belakang kepala, menggantikan bantal teremuk di bawah tempat tidur. Dengusan keras dan jengkel tak mampu membuat Patra berpaling dari bidadari Surga.

Pletak!

"Auw!" Patra mengaduh, memegang kepala kena amukan bantal dari seseorang membuatnya menegang. "Mama? Sedang apa Mama di kamarku?"

"Sedang apa katamu?!" geram Mama Patra, Geesha Vinanta Wiryawan, berkacak pinggang seraya mendengus. "Lihat! Ini sudah jam berapa?"

Bahu Patra terkulai lemas. "Ma, ini masih malam. Nggak mungkinlah aku mesti lihat jam."

"Malam, katamu?!" dengus Geesha kesal, memutar kepala Patra mengarah ke jam dinding. "Waktunya salat subuh, anakku Sayang. Kamu nggak mungkin telat, 'kan? Dan kamu telat dua-duanya!" teriak Geesha membuat semua anggota keluarga masuk kamar Patra.

"Astaghfirullah, Ma," protes Papa Patra, bernama Bayu Wiryawan. "Subuh-subuh jangan teriak, nanti rezeki jadi hilang."

"Tapi, Pa--"

Sebelum Geesha membantah, Patra tergopoh-gopoh beranjak dari kamar menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Geesha dan Bayu melongo. Ya, bagaimana tidak? Sekarang waktunya menunjukkan pukul tepat jam enam. Itu 'kan, berarti Patra telah kehilangan shaf shalat pertama dan kedua. Ckck, jangan main-main.

"Setelah itu, kamu mandi. Awas, kalau telat lagi!" pesan Geesha sebelum berlalu.

***

"Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh."

Inna berdiri tepat di depan pintu rumah Patra selesai mengucap salam, heran melihat keadaan Patra berdiri sempoyongan. Wajahnya terlihat kusut. Kantung di bawah mata berwarna hitam. Mata sayu, mungkin sebentar lagi akan tertutup menyebabkan tubuh letih itu akan kehilangan tenaganya. Kecuali seragam dan celana rapi karena disetrika oleh Geesha, Mama Patra.

"Hm, sepertinya kamu kurang tidur?" tanya Inna mengerti situasi. "Kuanggap itu bukan masalah sepele."

"Menurutmu?" dengus Patra.

"Ya, bisa jadi kamu memimpikan Veesha di langit kamarmu," goda Inna setengah mengejek. "Jika itu benar, besok-besok minum obat tidur jangan minum kopi biar nyenyak. Atau bisa, kamu terus-terusan seperti itu."

"Kamu sumpahi aku, begitu?"

Inna mengedik bahu. "Entahlah. Asalkan si Geena nggak menjauh kalau pandang kamu agak kekurangan makanan hari ini," ejek Inna sambil menarik Patra.

"Enak saja!"

Kedua sahabat itu memilih masuk mobil Papa Patra, Bayu, yang senantiasa punya jadwal di hari Selasa untuk mengantar dua anak bersahabat ini ke sekolah. Meskipun kemarin-kemarin, Inna diantar oleh Kakaknya sedangkan Patra dijemput sama Dika, teman sekelasnya.

Bayu mengetahui gelagat Patra terlihat mengantuk, menyarankan untuk beristirahat selama beberapa menit. "Kalau sudah sampai, Papa bakalan bangunin kamu. 'Kan sekolah kalian masih jauh," kata Bayu sambil melirik Inna dari balik kaca spion.

Open Your Heart ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang