Part 7

8K 309 3
                                    

Selamat malam!
Saya lupa update sabtu kemarin, soooo, aku update 2part malam ini.

"Vicky, bangun." Suara lembut mengetuk pendengaranku. Aku menggeliat semakin mengeratkan pelukanku pada guling hangatku. "Hei, kita harus kekantor."
Aku membuka mata. Menemukan wanita cantik dipelukanku. Dia tersenyum mendapatiku yang sudah membuka mata. "Sekarang sudah pukul enam. Mau bermalas-malasan sampai kapan Pak Vicky?"
Menjawab pertanyaannya, aku melepaskan pelukanku dan membuat posisiku telentang. Tangan kiriku masih berada dibawah lehernya. Sudah merasa terlepas, Deviana bangkit dan duduk. Aku tidak tau semalam dia menukar bajunya menjadi piyama seperti ini.
Ya, semalam aku memutuskan untuk tidur diapartemen. Dan entah dorongan apa, aku memilih tidur bersamanya. Ternyata benar, tidur sambil berpelukan itu menenangkan sekali. Sialnya, aku yang tertidur duluan tanpa tau Deviana tidur jam berapa.
"Ayo bangun Vicky!" Deviana menarik tanganku membuatku terduduk. Masih malas-malasan, aku mengucek mataku. Deviana terkekeh geli melihatku.
"Cepat mandi! Aku buatkan sarapan dulu. Oke?" Deviana menepuk pahaku dan bangkit berdiri.
Setelah Deviana benar-benar keluar dari kamar, aku bangkit juga dan ikut keluar kamar. Menuju kamar mandi dikamarku. Segera aku mandi menyegarkan tubuh dan pikiranku.
***
Setengah jam kemudian aku sudah siap mandi dan berpakaian. Saat keluar kamar, aku menemui dapur yang kosong. Kulirik kamar Deviana yang tertutup rapat. Mungkin dia sedang mandi.
Dimeja makan sudah tersedia pancake dan roti selai. Aku duduk disana menikmati sarapanku. Beberapa menit kemudian, pintu kamar terdengar terbuka dan tertutup. Dan benar saja, Deviana datang dengan dirinya yang siap untuk ke kantor.
"Pagi, Ana," sapaku. Deviana menaikan alisnya menjawab sapaanku. Dia menarik kursi didepanku dan duduk disana.
"Kita tidak kepagian kan?" tanyanya sambil mengambil sepotong roti tawar dan selai kacang.
"Tidak juga. Jam setengah delapan kita berangkat." Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh.
"Apa kita pergi berdua?"
"Tentu. Memangnya kenapa? Pria-pria yang mengejarmu jadi berhenti karena kau bersamaku?" Aku menaikan sebelah alisku. Deviana membelalakan matanya dan menepuk tanganku.
"Tidaklah. Memang mereka mengejarku apa?"
"Kau yakin tidak tau? Mereka banyak tertarik padamu."
Deviana tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepersekian detik aku terdiam menyadari ini kali pertamanya dia tertawa lepas dihadapanku. Aku mengerjap setelahnya. Ini akan menyenangkan bersahabat dengannya.
***
Sebulan penuh Deviana sudah menjadi sekretaris merangkap sahabat baikku. Sering kali aku menginap di apartemen bersamanya, walaupun tidak selalu tidur bersama dikamarnya. Kami hanya tidur bersama tanpa melakukan apa-apa.
Deviana semakin menjadi topik pembicaraan pria-pria dikantor. Beberapa dari mereka ada yang berani mengajak kencan dan menerima penolakan darinya. Kadang aku heran, apa lagi yang ditunggunya hingga tidak ada satupun pria yang berhasil mencuri hatinya. Deviana hanya melayani tanpa memberi. Seperti sekarang ini.
"Tidak, tidak. Aku tidak mau menganggumu. Hmm, ya. Kau bisa pergi dengannya kan? Aku? Wah, maaf sedang ada tamu. Ya. Lain kali. Selamat sore."
Aku meliriknya dari balik bulu mataku. Dia juga melirikku sambil menghela nafasnya yang terdengar berat. Lalu dia berjalan gontai ke arahku dan melorotkan tubuhnya disofa, tepat disebelahku.
"Itu siapa lagi?" tanyaku padanya.
"Benny dari keuangan," jawabnya. Dia mengangkat tangannya menutupi wajahnya.
"Kenapa? Ajakan kencan lagi?"
Deviana mengangguk. Dia bergeser kearahku dan menyandar dibahuku.
"Terima sajalah. Sekali-kali."
"Malas!"
Deviana mendengus. Dia mulai mencari posisi nyaman sambil memelukku. Aku mengecilkan volume televisi dihadapanku.
"Eh jangan tidur! Sore ini ada meeting. Jangan lupa."
"Hm," gumam Deviana dileherku. Tapi dia tidak bergerak lagi. Jadilah kubiarkan dia tidur untuk beberapa saat saja.
***
"Ana, mana dasiku?" panggilku dari kamarku. Sudah kebiasaan, setiap aku tidur di apartemen ini Deviana akan menyiapkan pakaianku. Biasanya dia akan me-mixmatch pakaianku. Tapi hari ini sepertinya dia melupakan dasiku.
Deviana datang dengan pakaian lengkapnya. Sampai-sampai rambutnya yang dicepol tinggi. "Apa Vick?"
"Dasinya mana? Kenapa tidak ada?" Aku menunjuk ke ranjang. Deviana melihat kearah ranjangku dan menggeleng pelan. Dia menuju lemari kecil berwarna hitam di sebelah lemari besarku.
"Cari sendiri apa susahnya Vick?" Lalu ditangannya sudah ada dasi berwarna putih bergaris abu-abu. Sangat pas dengan kemeja abu-abuku.
"Bilang saja kelupaan. Aku bisa cari sendiri."
"Aku juga manusia Vicky! Sudah jangan berdebat lagi. Menunduk!" Deviana menarik tengkukku kebawah hingga bebeberapa senti lagi dari wajahnya. Untungnya dia memiringkan kepalanya ke kanan untuk melihat dasi yang dikalungkannya ke leherku. Dengan lihai di pasangnya dasi itu.
"Nah, sudah rapi," katanya menatap dasiku. Lalu matanya naik kemataku. Dinaikannya alisnya. "Ayo, mau menunggu berapa lama lagi. Kita sudah terlambat."
Deviana meninggalkanku sendiri di kamar. Aku menuju ke depan kaca dan memandang penampilanku. Sempurna.
***
Deviana melepaskan tangannya yang sedari tadi melingkar di lenganku saat kami memasuki restoran. Seperti biasa, kami akan bersikap seperti atasan dan bawahan secara profesional. Tentu termasuk kedalamnya tidak ada kontak fisik.
Kami menuju ruang vip yang merupakan tempat meeting kali ini. Sabtu sore yang seharusnya dipakai untuk malam mingguan para pasangan, aku harus pergi rapat bersama klien pentingku ini.
Deviana duduk disebelahku dengan tegap. Aku bisa merasakan tatapan bapak-bapak klienku terarah pada Deviana. Dia tampak tak peduli dan lebih profesional dari yang aku pikirkan.
Berkas yang dipegangnya diarahkan kepadaku. Lalu aku membukanya. Deviana beralih pada seluruh klien kami dan membuka rapat.
"Selamat sore, bapak-bapak."
***
Rapat selesai pukul delapan malam. Kami tengah berdiri dan menyalami para klien. Setelahnya Deviana duduk kembali sambil mendesah lega.
"Kerja baik Ana."
"Harus pak."
"Hmm." Aku menyipit padanya. Dia tertawa. "Ya Vicky!"
"Bagus!" Aku tertawa mengikutinya. "Habiskan minummu. Kita pulang."
"Pulang terus. Ini malam minggu Vicky."
"Terus?"
"Kau tentu mengerti apa yang orang-orang lakukan pada malam minggu. Kencan!"
Aku mencebik. "Apa kau ada pasangan?"
"Sialan!" Dia memukul bahuku gemas. "Memang sebaiknya aku menerima ajakan Benny."
Aku terkekeh pelan. "Kita mau kemana memangnya?"
"Terserah saja."
"Baiklah. Ayo." Aku bangkit duluan diikuti olehnya. Kami berjalan keluar ruangan vip terus menuju luar restoran.
***
"Kenapa kita pulang Vick?" tanya Deviana heran padaku.
"Siapa bilang kita ke kamar?" tanyaku balik. Aku mempercepat langkah dan masuk kedalam lift. Deviana segera mengejarku dibelakang. Setelah sampai disebelahku, dia menarikku untuk berbalik.
"Terus? Kita mau kemana?" tanyanya padaku. Aku hanya menjawab dengan menekan tombol lift paling atas.
"Kita mau kekamar siapa?" tanyanya. Aku hanya tertawa, mengacak rambutnya agar dia terdiam. Tapi tetap tidak berhasil. Deviana masih saja bertanya-tanya kemana kami akan pergi. Aku memasang tampang tidak peduli sampai dia terdiam sendiri.
Lift berdenting tanda kami sudah sampai di lantai teratas gedung. Aku keluar diikutinya dibelakangku. Tak mau dia ketinggalan, kuraih tangannya dan menuntunnya pada pintu yang bertuliskan exit.
"Kemana lagi ini? Keluar lagi?"
Aku menggeleng. Ku bawa dia ke tangga menuju atas. Dan kami berakhir di pintu besi yang tidak tekunci. Dengan gampang aku mendorongnya.
Sepertinya aku berhasil membuatnya terdiam. Buktinya kali ini Deviana hanya menatap sekitar sambil maju terus kedepan. Aku mengulas senyum puas karena keterpesonaannya.
"Mau kemana Ana? Kesini!" kupanggil dia yang kini sudah tidak tampak sadar diri lagi. Dia menoleh karahku. Aku menunjuk tangga kecil menuju setengah atap gedung ini yang mungkin hanya berukuran 1m x 1m. Dan hanya ada dua dirooftop ini. Aku menaikinya duluan, Deviana masih mengekoriku.
Aku akhirnya duduk diujungnya. Menjulurkan kaki kebawah dan mengayunkan dengan santai. Deviana duduk disebelahku dengan masih menatap pemandangan kota dari tingkat setinggi ini yang memang menampakan seluruh kota. Gelap malam dikalahkan lampu-lampu yang bersinar membuat keindahan tersendiri.
"Keren." Hanya itu satu kata yang dapat diucapkannya dari sekian kata yang bisa diutarakannya. Aku hanya menaikan sebelah alis. Kuletakan tanganku kelantai dibelakang tubuhku untuk menjadi penopang tubuhku yang penat. Mendongak kelangit yang berhias bintang-bintang.
"Kencan yang menarik," ucap Deviana lagi. "Terima kasih."
Aku tersenyum kepadanya. Deviana mendekat dan merebahkan kepalanya dibahuku. Memeluk lenganku dengan nyaman.
"Dingin, Vick," ucapnya seperti memberi isyarat padaku. Tentu saja sebagai pria gentle aku harus memahaminya. Kuberikan ruang pada kami untuk melepaskan jasku dan menyampirkan kepundaknya.
"Aku hanya bilang dingin. Tapi terima kasih lagi," ucapnya sambil terkekeh. Di pasangnya jas itu ditubuhnya yang membuatnya tenggelam dalam jas itu. Setelahnya dia bersandar lagi pada bahuku.
"Apa kau pernah mengajak Nabilamu kesini?" tanyanya disela-sela keterdiaman kami.
"Tidak. Aku baru saja menyewa apartemen ini lima tahun yang lalu. Agar tidak jauh dari kantor dan mengamankanku dari segala kesibukan."
"Jadi, tidak ada wanita lain selain aku?"
Aku berpikir sejenak. "Sebenarnya ada. Dea, dia merupakan sahabatku juga. Kami sering cerita disini."
"Oh.." gumamnya.
"Sudah berapa lama kau sendiri?" tanyanya lagi.
Aku mengangkat kepalaku yang ikut bersandar diatas kepalanya. "Sepuluh tahun lebih mungkin. Aku tidak pernah menjalin hubungan serius setelah putus darinya. Hanya sempat jalan bersama dengan wanita lain tanpa tujuan yang jelas."
Deviana mengangkat kepalanya juga. Kini dia menoleh menatapku. "Open your heart. Kau pasti menemukan the one and only mu." Deviana menunjuk dadaku dengan telunjuknya.
"I'm trying. Sebagai sahabatku, kau harus membantu."
Deviana mengacungkan jempolnya. "Siap pak!"
"Kau sendiri? Kapan akan menikah?" tanyaku balik padanya. Deviana melotot jenaka.
"Pertanyaan apa itu. Aku jenis wanita yang tidak suka berkomitmen."
Aku menaikan sebelah alisku. "Benarkah? Jika kau menemukan 'the one and only' mu?" tanyaku meniru kata-katanya.
Deviana tertawa. Tawa yang terdengar hambar. "Siapa yang mau denganku yang kotor begini Vick? Lebih baik aku sendiri daripada pria itu tidak menerimaku apa adanya dan akhirnya menyesal."
Aku menggeleng. Kutatap dia dalam-dalam. "Kau cantik, cerdas, dan pintar masak. Pria manapun akan menyukaimu. Percayalah, suatu saat akan datang 'dia' yang menerimamu apa adanya."
Deviana memutus kontak mataku. Dia menoleh ke langit dan memejamkan mata. "Aku tidak ingin berharap lebih."
Aku hanya bisa menatapnya tanpa berkata lagi. Apa semua wanita panggilan berpikiran seperti itu? Benar kata sebuah lagu, mereka tertawa tapi nyatanya menangis didalam. Kita bahkan tidak tau apa yang dilakukannya menurutnya sendiri salah atau benar. Dan jika mereka tersesat karena suatu alasan, maka mereka susah untuk keluar lagi.
"Sebenarnya apa yang terjadi sehingga kau bekerja seperti itu?" Pertanyaan yang selama ini menyangkut diotakku akhirnya keluar. Deviana membuka matanya dan menoleh padaku.
"Aku hanya tinggal berdua ibuku. Kami miskin dan tidak tau cara mencari uang. Seorang teman memperkenalkanku pada kehidupan itu. Dan itu berhasil mencukupiku. Lalu, kenapa tidak aku jalani saja?"
"Kau tentu tau itu salah Ana."
"Ya, terkadang untuk uang yang salah menjadi benar."
Deviana terdiam lagi. Kali ini kami sama-sama menatap kota yang terbentang.
"Omong-omong, sudah sebulan aku tidak melakukan pekerjaan itu. Suatu kemajuan pesat bukan?" tanyanya dengan wajah kembali ceria.
"Benar. Kuharap kau tidak pernah melakukannya lagi seumur hidupmu."
"Ku amini doamu. Semoga aku benar-benar bisa bekerja untukmu selamanya."
"Being my soulmate partner?"
"Ya. Jika istrimu nanti tidak marah pada kita yang tinggal seapartemen."
Aku tertawa menanggapi pernyataannya. "Tentu aku akan membeli rumah baru."
Deviana mencebik. "Tapi kalau aku menjadi istrimu, aku akan memilih tinggal di apartemen ini daripada rumah sendiri."
"Hm, akan aku pikirkan untuk itu."
"Memikirkan apa?"
"Masalah kau akan menjadi istriku apa tidak dan apa aku akan membeli apartemen ini akhirnya atau tidak."
Deviana menyipitkan matanya. "Kalau begitu aku akan memikirkan apakah aku ingin menjadi istrimu atau tidak."
Tawa kami pecah. Dia dan aku sama saja tertawa dengan kencang. Hingga Deviana menyuruhku diam ketika melihat bintang jatuh.
"Make a wish!" teriaknya.
"Kau percaya?"
"Siapa tau terkabul. Ayo."
Deviana segera menutup matanya. Tangannya disatukan didepan dadanya. Iseng, kuikuti permintaannya itu.
Semoga tahun ini aku bisa menemukan the one and only ku.
"Doa apa?" tanyanya membuatku harus membuka mata.
"Kenapa? Harus diberitahu?"
"Kalau tidak diberitahu tidak apa-apa juga." Deviana mengangkat bahunya.
"Kalau kau sendiri?" Aku balik bertanya.
"Kau yakin ingin tau?" tanyanya membuat siapapun semakin penasaran. Aku mengangguk.
"Karena aku sudah satu bulan tidak memenuhi 'rasa' didalam diriku, maka aku berharap.." Deviana menggantung kata-katanya.
"Harap apa?" tanyaku semakin penasaran. Apa dia ingin melakukan hubungan badan dengan seseorang sekarang?
"Wajahmu sangat menunjukkan apa yang kau pikirkan Vicky! Tidak, seperti itu juga." Deviana terkekeh.
"Lalu apa?" Aku menyipit menatapnya sekarang.
Deviana terdiam sejenak. Matanya beralih pada lautan lampu kota, lalu beralih padaku lagi.
"Kau yakin ingin tau?"
Aku mengangguk dengan cepat. Tidak sabar lagi menunggu jawabannya.
"Ini." Deviana menarik tengkukku mendekat kearahnya. Ini terlalu cepat membuatku tidak sempat mengelak. Kini, bibir dingin Deviana sudah menempel pada bibirku. Perlahan rasanya menjadi hangat. Aku baru saja memejamkan mata saat Deviana menjauhkan bibirnya.
Dia menggigit bibirnya cemas. "Apa kau marah? Maaf, aku hanya ingin doaku terkabul."
Deviana melepaskan tengkukku seutuhnya. Tiba-tiba tengkukku terasa dingin kembali.
"It's okay. Setidaknya aku tau doamu." Aku mencoba mengukir senyumku.
Deviana menghembuskan nafas leganya. "Ku kira kau akan marah. Maaf lagi."
"Tidak apa. Bibirku juga sudah terlalu lama kering." Aku terkekeh berusaha untuk mencairkan suasana.
"Oh ya? Bagaimana kalau kita ulangi sekali lagi?"
Aku membulatkan mataku terkejut. Ingin menolak tapi..
"Kau tau aku profesional Vicky. Kita anggap ini hanya semacam memenuhi kebutuhan saja. Dan setidaknya kita tidak kontak fisik berlebihan. Bagaimana?"
Oke. Baru sekali ini aku diminta mencium wanita tanpa perasaan. Rasanya aneh sekali! Biasanya aku akan mencium pacarku saja. Setidaknya itu yang aku lakukan dulu pada Nabila. Kami pacaran dan berciuman. Tapi, jika sekarang aku ciuman dengan Deviana tanpa perasaan, apa itu aneh? Toh, aku tidak punya pacar sekarang.
Aku melirik Deviana yang masih menatapku dengan mata birunya.
Kenapa tidak coba dulu? Bukannya kau juga ingin kebutuhanmu terpenuhi?
Iblis didalam diriku ikut berbicara. Oke, kalau aku mencobanya setidaknya itu akan membuat kami sama-sama terpenuhi.
"Baiklah." Wajah Deviana berubah senang. "Tapi dengan syarat, kita tidak akan melakukan lebih dari itu. Paham?"
Deviana mengangguk mengerti. "Baiklah. Sekarang, siapa yang mencium siapa?"
"Maksudmu? Bisakah kita sedikit normal? Kita lakukan saja bersamaan, oke?"
Deviana mengangkat bahunya. "Baiklah."
Akhirnya setelah persetujuan itu, kami tanpa aba-aba mempersiapkan diri. Wajah mulai mendekat satu sama lain. Lalu dalam jarak dekat, kami serentak memejamkan mata. Dan, gotcha.
Bibirku terasa hangat lagi. Deviana memang benar, ini sangat bekerja. Tapi sayang, Deviana tidak berhenti sampai disini saja.
Deviana menggerakan tangannya memberikan belaian kecil dirahangku. Bibirnya yang tadi tertutup sekarang perlahan membuka. Menyesap bibir bawahku dengan lembut.
Holyshit!
Akhirnya Deviana memenangkannya. Akhirnya, aku membuka mulutku juga. Akhirnya, aku mencicipi rongga mulutnya. Dan akhirnya, kami saling menuntut lebih.

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang