Part 22

6.1K 291 5
                                    

Hai!
Vicky is back!

Vicky's POV

Aku menatap lurus ke pintu kerjaku. Sunyi ruangan dikalahkan dengan ketukan jemariku diatas meja. Aku tengah berfikir. Semuanya terasa kacau balau beberapa hari terakhir.
Bunyi deringan pelan di telefon kantorku membuatku tersadar. Kuraih telefon itu dan mengangkatnya.
"Hm?" tanyaku malas. Siapapun yang menelfon ini, kupastikan moodku sedang buruk untuk berbicara apapun.
"Vicky Wijaya!"
Holy shit!
"Ya ma?" Sialan! Kenapa saat seperti ini mama malah menelfon dengan nada tinggi? Apa Angela sudah kerumah dan mengatakan keputusan sepihaknya?
"Apa-apaan kau Vick! Segera pulang, mama mau bicara!"
Aku mendesah berat. Tidak. Tidak hari ini. Aku tidak akan berbicara pada siapapun hari ini.
"Ma, please, aku punya mood yang buruk hari ini. Jangan sekarang."
"Oh, ya, kenapa tidak buruk? Memberhentikan pertunangan sementara? Apa-apaan kalian ini?"
Aku menghela nafas mengontrol emosiku agar tidak terpancing oleh amarah dan rasa kesal yang sedang bergelayut di hatiku. Rasanya, aku ingin meneriaki mama bahwa Angelalah yang meminta pemberhentian pertunangan ini. Bukan aku.
"Apa yang Angela katakan?" Hanya pertanyaan itu yang berhasil keluar dari mulutku. Kurasakan mama mulai mengatur nafasnya dan berbicara lebih tenang.
"Angela berkata kalian ada masalah dan dia memintamu untuk memikirkan kembali tentang pernikahan kalian beberapa hari lagi. Katanya kalian sepakat untuk memberhentikan pertunangan dan mengundur tanggal pernikahan. Kenapa? Sebenarnya apa masalahnya? Angela tidak mau bercerita."
aku merasakan sedikit kelegaan ketika mama mengucapkan kalimat terakhir. Intinya, Angela belum memberitahu mama tentang Deviana yang tinggal diapartemenku. Beruntung, gadis itu masih berpikiran bersih saat mengadu pada mama.
"Vicky akan segera pulang dan bercerita. Tapi, Vicky mohon mama mengerti, untuk sekarang Vicky harus memikirkan semuanya dulu."
Kudengar mama mendesah. Terdengar kekecewaan dari sana, tapi aku hanya bisa diam menunggu mama menjawab.
"Terserah kau saja nak, semua pilihan ditanganmu."
Saat mama berkata seperti itu, pintu kerjaku diketuk oleh seseorang. Tanpa menunggu aba-aba dariku, dia memunculkan kepalanya. Aku segera mengucapkan terima kasih pada mama dan mematikan sambungan telefon. Kini, fokusku berada pada wanita dihadapanku yang tengah berjalan dengan percaya diri kedepan mejaku.
"Selamat pagi, Pak," ucapnya sambil menatapku datar.
Aku menatapnya balik dan dia masih terlihat tenang. Diputuskannya kontak mata kami dan beralih pada amplop ditangannya.
"Saya mau mengajukan resign," ucapnya selanjutnya.
Mendengar itu, aku hanya bisa terdiam. Menatap kebenda yang sama yang ditatapnya. Lama kami terdiam, hingga dia mengangkat kepalanya kembali menatapku. "Saya akan segera mencari pengganti saya pak."
"Ana, kau tak perlu melakukan ini," jawabku akhirnya.
Dia mengulas sedikit senyum. "Baiklah, terima kasih. Kalau begitu, saya tidak perlu bersusah juga."
"Maksudku bukan mencari sekretaris baru. Tapi, resign ini. Kau tak perlu."
Deviana yang tengah menatap wajahku dengan tenang beralih ketumpukan dokumen di mejaku. Tangannya ikut bermain disana, menunjukkan dia tengah gugup.
"Saya sudah membulatkan tekad Pak. Saya resign."
Deviana menghembuskan nafasnya sebelum akhirnya menatapku kembali. Detik berikutnya dia mundur dan berbalik. Aku bangkit dari dudukku, masih memegang surat resign itu.
"Aku menolak," ucapku dengan suara lantang. Berhasil, Deviana berhenti dari jalannya. Tanpa berbalik, dia menjawab, "Pak Caesar sudah menyetujui, Pak."
Kali ini, aku yang sukses tercengang. Kalau Pak Caesar sudah berkata seperti itu, tandanya benar, Deviana resign dari kantor ini.
"Kenapa?" pertanyaanku berubah lirih.
Deviana yang sudah kembali berjalan, berhenti lagi. Kali ini tepat didepan pintu. "Sudah seharusnya kita kembali kekehidupan masing-masing pak. Kembali kejati diri kita sebelumnya." Deviana meraih gagang pintu. Dia membuka pintu dengan perlahan, tanpa berbalik dan menatapku lagi, dia keluar dari ruanganku.
Aku meremas surat pengunduran dirinya dan melemparkan kepintu yang tidak salah apa-apa. Tubuhku merosot kekursi kebanggaanku. Meremuk redamkan seluruh jiwa dan hatiku entah karena hal apa.
***
"Hai, bro!" Tepukan ringan dibahuku membuatku mengangkat muka. Wajah tenang Billy menyambut penglihatakanku. "Kau tampak tidak baik-baik saja," lanjutnya sambil duduk dikursi sebelahku. Pria disebelahnya ikut mengambil duduk didepanku.
"Ada yang lagi galau rupanya," ucap pria itu. Tangannya direntangkan dengan leluasa di kepala sofa.
"I'm not. But, I've been thinking of my world." Kuraih cangkir berisi kopiku, menegaknya sedikit.
"Dunia, bumi kita atau duniamu? Kau menelfonku untuk kesini tidak hanya karena permasalahan bumi yang semakin hancurkan?" Pria itu membuka suara lagi. Billy yang meliriknya terlihat kesal.
"Kurasa, Vicky sedang serius, Liam. Tolonglah, fokus sedikit."
Liam menaikan kedua alisnya. "Tidak masalah, tapi sebelumnya, aku memesan minuman dulu!" Liam terkekeh lalu mengangkat tangannya memanggil pelayan. Pelayan berbaju hitam motif merah dengan tulisan 'freedom' itu mendekat kearah kami. Mencatat pesanan Liam yang ternyata tidak hanya minuman saja. Billy menggeleng-geleng melihat tingkah iparnya itu.
"Kalian pasti sudah tau kabar terbaruku," ucapku setelah pelayan beranjak pergi. Liam memajukan tubuhnya menyatakan bahwa dia tengah mendengarku dengan seksama.
"Masalah dua hari lalu? Tentang pertunanganmu?" tanya Billy membuatku menyadari bahwa ternyata gosip beredar dengan cepat.
"Tiara yang memberitahu kami," ucap Liam menjawab pertanyaan diotakku.
"Ya, begitulah. Menurut kalian?" tanyaku lagi.
Billy mengernyitkan dahinya. "Menurut kami? Apanya?"
"Yah, pembatalan pertunangan ini. Is it awkward?"
Liam mencebik. "Aku tidak berfikir seperti itu. Awkward-nya adalah alasan aneh yang kami tidak tau. Angela tidak memberitahukan alasan kalian mengundurkan pernikahan."
"Untung dia tidak memberitahukan pada mama atau mama akan jantungan," ucapku terus terang. Mendengar pernyataanku, kerut dikening Liam dan Billy semakin menjadi-jadi.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Billy menuntutku untuk berbicara. Aku menatap mereka satu persatu, yakin bahwa dua pria ini akan menjaga omongannya dan bisa menjaga rahasia ini.
"Angela menemukanku dan Deviana di apartemen kami." Kalimat pembukaku membuat seluruh ceritaku mengalir tanpa kututup-tutupi. Semuanya mengalir dengan mudahnya, layaknya aku tengah berfikir dan berbicara pada diriku sendiri. "Dan ya, kami pernah tidur bersama."
Mata Liam sontak melebar. Dia menggeleng beberapa kali. "Baru kali ini aku mendengar hal seperti ini darimu Vick. Ternyata, kau bisa melakukan hal diluar batas ya?" Liam terkekeh. Billy yang mendelik mendengar pertanyaan Liam kini menatapku dengan tajam.
"Jadi, siapa yang kau permainkan sebenarnya?"
"Apa? Aku tidak merasa mempermainkan siapa-siapa." Aku berusaha membela diriku.
"Pembodohan. Kau tau itu Vick." Billy menarik nafasnya. Dia menarik tubuhnya mundur dan bersandar di kepala kursinya.
"Aku tidak mengerti," jawabku sambil menggeleng.
"Kau memang tidak mengerti atau kau tidak mau mengerti, Vicky?" Liam menarik sebelah bibirnya membentuk senyuman menjijikan yang selalu digunakannya untuk meremehkan orang. Dalam hitungan detik, Liam menegakan tubuhnya melihat pesanannya datang dan sibuk dengan makanannya.
***
Lift berdenting membuatku menegakan kepalaku. Pintu lift terbuka dan aku berjalan keluar dengan lambat. Tidak ada yang perlu ku kejar diruanganku. Toh, aku sudah sendiri dan tidak ada sekretaris yang akan mengingatkanku tentang apapun.
Mataku seketika berhenti pada pria yang lewat didepanku. Kupanggil namanya agar mendekatiku.
"Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya sambil berdiri tegap didepanku.
"Aku butuh pembukaan lowongan kerja untuk sekretarisku. Kau bisa mengatur, Benny?"
Benny mengangguk. "Siap pak."
"Oke, aku ingin besok sudah ada lamaran dimejaku."
Benny sontan melingo. "Besok pak?"
Aku mengangguk. "Ya, kau pasti bisa."
Aku berlalu tanpa menunggu pertanyaan dari Benny lagi. Aku menuju ruangan tanpa mau lagi mencari-cari pegawai yang akan kutimpali kekesalanku. Baru saja aku melewati meja kerja Deviana, yang sudah kosong dari peralatannya, aku tertegun. Ada satu surat disana. Aku meraihnya. Penasaran bagaimana surat ini bisa sampai disini.
Aku melangkah keluar dan menuju meja informasi yang berada tepat didekat lift. "Vin, apa kau melihat Sandra?"
Vina yang baru saja menutup telefonnya menatapku dengan senyum kecil. "Bu Sandra baru saja masuk lift saat anda keluar lift pak," jawabnya.
Sesaat aku mengutuk lift kantor ini yang dibuat bersebelahan.
"Kau tau kelantai berapa dia pergi?"
"Kalau saya tidak salah, lobi, pak."
Aku berterima kasih padanya lalu dengan langkah lebar menuju lift dan dengan cepat menekan tombol L yang menunjukkan aku berniat ke lobi. Kakiku bergerak mengetuk-ngetuk lantai lift saat lift bergerak turun. Tidak sabar tepatnya, aku tidak sabar untuk bertemu Deviana dan menyelesaikan masalah ini satu persatu.
Begitu lift terbuka, aku segera mempercepat langkahku menuju parkiran. Seketika tubuhku membeku, melihat apa yang ada diluaran sana. Tubuh Deviana berada dalam dekapan seorang pria. Pria itu membelakangiku sehingga aku tidak tau betul siapa pemilik punggung itu.
Tak lama kemudian, mereka melepaskan pelukan itu. Deviana tampak menyeka air matanya dan dibantu sang pria. Entah apa yang diucapkan sang pria hingga Deviana tersenyum. Mereka akhirnya saling bergandengan dan menuju salah satu mobil. Keterkejutkanku menjadi-jadi, saat mereka berdua memasuki mobil sport biru yang sangat aku kenal. Mobil milik Caesar.
***
Sial. Tiga hari berturut-turut aku mendapati kesialan dan dilingkupi mood buruk. Hari ini, aku malah harus mengikuti rapat bersama klien, dimana Caesar juga ikut serta dalam rapat besar ini. Melihatnya memimpin rapat, sebenarnya benar-benar membuatku muak. Satu lagi pria hidung belang tipe suami kurang ajar yang berselingkuh dengan bawahannya sendiri. Cih.
Rapat usai membuatku sedikit lega karena akhirnya bisa terbebas dari kegerahan auraku yang tidak mau dikalahkan suhu ac yang rendah. Aku segera bangkit berdiri. Mengemasi dokumenku sendiri, karena rapat tanpa sekretaris, berbeda dengan direktur lain yang datang bersama sekretarisnya.
"Vicky, bisa tinggal sebentar?" Suara Caesar membuatku menolehkan kepala padanya. Oh, sial sekali, orang yang ingin aku hindari malah ingin berbicara padaku. Permainan apa yang sedang kau berikan padaku Tuhan?
Aku menatapnya yang kini tersenyum pada direktur-direktur lain yang berjalan keluar ruangan. Hingga kami tinggal berdua, aura Caesar berubah kelam. Dia tampak tidak seramah tadi.
"Ada apa denganmu?" tanyanya membuka percakapan aura negatif kami.
"Ada apa dengan saya Pak?" tanyaku berusaha tetap sopan dihadapan pria yang seharusnya kuhormati ini. Setidaknya aku masih menjaga pekerjaanku tetap utuh. Tidak ikut kabur bersama Deviana dan Angela.
"Kudengar, kau membuka lowongan kerja untuk menjadi sekretarismu dalam hitungan 24jam."
"Benar. Ada masalah dengan itu pak?"
Caesar menggeleng. Dia melewati setiap kursi untuk sampai ditempatku berdiri. "Kau tentu tau pembukaan lowongan kerja harus sesuai dengan aturan yang ada."
"Benar. Dan saya rasa, anda juga tau pemecatan atau pemberhentian karyawan saya juga sesuai aturan."
Pernyataan sinisku dibayar dengan wajah bingung Caesar. "Maksudmu apa?"
"Andakan yang menerima surat resign Sandra?"
"Ya, benar. Tapi untuk perihal itu, aku rasa tidak masalah jika aku yang memberikan kebebasan itu."
Aku tersenyum jengah. "Oh ya? Kenapa? Agar kau dan Deviana bisa sembunyi-sembunyi dengan hubungan gelap kalian dan agar istrimu tidak tau. Begitu?"
"Jaga mulutmu Vicky!"
Aku dan Caesar menegakan tubuh yang kini sama-sama menjulang, tidak terintimidasi oleh pandangan yang lain. Caesar menatapku dengan mata birunya, mengingatkanku pada mata seseorang , yang kini aku tidak peduli mirip dengan siapa.
"Maaf, tapi itu benar terjadikan? Direktur utama, Caesar Lampard?"
Satu tinju mendarat dirahang kiriku. Rasanya nyeri dan amis. Kuseka sudut bibirku, darah.
Aku kembali berdiri tegap, menertawakan sikap Caesar yang tampak tersudutkan. "Oh, jadi ini caramu nenutup mulutku dari istrimu?"
Satu tinju tak terelakan kembali mendarat dirahangku. Aku menatap pria didepanku ini dengan seluruh emosi yang sudah terkumpul. Aku maju beberapa langkah dan memberikan hal yang sama yang diberikannya padaku. Dia terhuyung dan menghantam meja rapat bundar yang terbuat dari kayu jati itu. Sebelum dia bangkit, aku menarik kerah bajunya untuk menghadapku.
"İtu tadi untuk kau yang menyakiti istrimu," ucapku sebelum memberikan tinju kedua. "Ini untuk kau yang menjadi suami bajingan dan pria yang kurang ajar. Dan ini," aku melayangkan satu tinju lagi di pipi kirinya yang kini sukses membuatnya mundur beberapa langkah dan jatuh kelantai. Dia meringkuk dengan lemah dan pakaian yang kini tidak serapi beberapa menit lalu. "Untuk Deviana yang kau tiduri beberapa hari lalu."
Aku menatap pria yang notabene adalah bosku itu dengan kebencian yang sangat sehingga meluap saat ini. Peduli setan aku setelah ini dipecat atau aku sendiri yang harus resign agar itu tidak terlalu buruk untuk dipermalukan.
Tiba-tiba, suara tawa membahana diruangan ini. Suara itu berasal dari Cesear yang kini tubuhnya bergoncang dilantai.
"Kenapa kau tertawa?" tanyaku bingung dengan sikap atasanku ini. Apa aku salah memukul otaknya sehingga dia menjadi gila?
Caesar berhenti tertawa. Dia perlahan duduk dan bangkit. "Kau sepertinya salah sangka, Vicky."
Aku menaikan sebelah alisku, menunggu kelanjutan pernyataannya itu. Perlahan Caesar sudah berdiri ditempatnya dibantu oleh meja disebelahnya menjadi pegangan.
"Aku tidak mungkin meniduri adikku sendiri, Vicky."
Aku mengerjap. Berusaha memusat kan pendengaranku, memastikan pendengaranku masih baik-baik saja. Caesar menatapku dibalik bulu matanya. Dibibirnya tercetak senyum mengasihani, tepatnya dia mengashaniku.
"Sandra Deviana Lampard, adalah adik tiriku."

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang