Part 14

7.5K 244 3
                                    

Sorry 😂
Sinyal kemaren2 cacat, jadi sekarang aku bisa update. Yang kangen, nih Vicky..

Vicky's POV

Tepat pukul tujuh pagi, London hari ini tampak cerah dengan bunga-bunga yang tumbuh disana sini. Musim semi sedang berlangsung di kota ini. Beruntunglah aku dengan musim ini sehingga aku tidak perlu cemas dengan penyakit yang melanda mama dan papa jika sekarang musim dingin.
Koper-koper mama dan papa serta punyaku sendiri sudah berada didepan supir taksi yang tengah memasukan semua koper itu kedalam bagasi mobil. Aku membantunya dibelakang, sedang mama dan papa sudah siap di atas taksi. Setelah semua barang masuk, aku berputar masuk kedalam mobil penumpang bagian depan.
Mama menunjukkan supir taksi alamat yang akan kami tuju. Sang supir tampak hafal dengan daerah itu dan dengan ahli menuju tempat yang dimaksud. Ternyata hanya butuh lima belas menit, kami sampai disana. Didepan sebuah hotel megah tempat kami akan menginap.
Setelah membayar ongkos taksi, aku mengikuti mama dan papa yang sudah duluan masuk kedalam hotel. Mama memesan dua kamar hotel yang berhadapan. Aku mengambil satu kunci untukku.
Kami akhirnya diantar menuju kamar kami masing-masing. Sesampainya dikamar, aku tak lupa memberika tips dobel untuk sang pelayan.
Aku langsung menghempaskan tubuhku ke atas ranjang dan meninggalkan koperku begitu saja didepan pintu. Tubuhku terasa remuk dalam perjalanan jauh ini. Memejamkan mata, tidak perlu lama, aku sudah berada didunia mimpi.
***
Malam hari, mama dan papa memaksaku untuk keluar kamar karena kami akan makan malam bersama keluarga. Aku memperkirakan inilah saatnya mereka mempertemukanku dengan calon istriku jika melihat gelagat mereka. Mereka memintaku untuk sedikit rapi, seperti mau ke kantor saja, dan mengajakku makan direstoran diluar hotel ini.
Aku baru saja selesai mandi dan tengah mengusap rambutku yang sengaja kubasahi dengan handuk putih kecil. Mataku tertumbuk pada ponsel yang tergeletak di nakas, yang kuletakan saat bersiap mandi dan membuka seluruh pakaianku. Ku dekati ponsel itu teringat janjiku pada Deviana untuk menghubunginya.
Duduk ditepi ranjang dan menyampirkan handuk itu ke leherku, kuraih ponsel itu. Membuka kunci dan mengusap layarnya. Menjelajahi deretan kontak pada ponselku untuk mencari nama Deviana.Kuhubungi nomor itu, sialnya aku belum membeli nomor London sehingga panggilanku terputus begitu saja. Beralih ke kontak maya, kukirim pesan singkat padanya tentang kesampaianku disini. Setelahnya kuletakan kembali ponsel itu dan bersiap untuk pergi kepertemuan itu.
***
Aku mengetuk-ngetukan jemariku ke dashboard mobil yang dipinjamkan Tante Ciara selama aku disini. Tante Ciara adalah adik perempuan dari ibu Angela yang berdomisili di London ini bersama suaminya. Mereka belum mempunyai anak dan kedatangan Angela membuat rumah menjadi lumayan menyenangkan. Sudah lima hari aku dan kedua orangtuaku menginap dirumahnya, sedangkan Angela masih harus tinggal di apartemen yang dekat dengan kampusnya. Baru satu semester ini Angela memilih pindah ke apartemen karena mengurus skripsinya dan ingin lebih fokus untuk wisuda. Benar saja, berkat kerja kerasnya Angela menyelesaikan kuliahnya tepat waktu.
Tanganku berhenti bergerak ketika aku melihat sosok tubuh yang sedari tadi kunanti. Angela dengan dress selutut berwarna magenta berlengan panjang. Ditangannya terselip toga yang akan digunakannya untuk wisudanya. Angela tampak berjalan dengan tenang ke arah mobilku, keluar dari pintu lobi apartemennya.
"Apa aku terlambat?" tanyanya saat dirinya baru saja masuk kedalam mobil. Aku melirik jam perak ditanganku yang menunjukkan keterlambatannya sepuluh menit.
"Aku tidak menunggu terlalu lama. Apa kau siap untuk wisuda?"
"Ya, aku sudah menunggunya sejak pertama kuliah. Bisa kita berangkat sekarang? Aku sudah tidak sabar."
Aku mengangguk dengan senyum yang kuukir tipis. Kumasukan persneling dan mulai melajukan mobilku menuju universitas terkenal di kota ini. Karena apartemen dan kampus Angela tergolong dekat, kami hanya memakan waktu sepuluh menit untuk sampai. Aku dan Angela keluar bersamaan dari mobil. Aku tidak perlu repot untuk berputar membukakan pintu untuknya. Angela tergolong wanita mandiri dan dia menunjukkan itu dengan tidak terlalu menyusahkan pria-pria disekitarnya.
Aku mengedarkan pandangan pada tempat ini. Ramai sekali dengan banyak anak muda dimana-mana. Rasa-rasanya aku memang terlalu tua berada disini, hinga kutemukan oom dan tante Angela serta kedua orang tuaku.
Angela melangkah duluan menuju mereka. Tante Ciara langsung memeluknya haru dan mengucapkan selamat atas kelulusan keponakannnya itu. Oom dan kedua orang tuaku menyusul menyalaminya.
"Kau harus cepat masuk agar dapat bangkumu," ucap Tante Ciara mengingatkan Angela tentang kesempatannya untuk wisuda duduk didepan. Angela mengangguk dan pamit kepada semua yang berada disana. Setelahnya, dia beralih padaku.
"Aku akan masuk dulu," ucapnya sambil menatap mataku dalam. Bola mata hitamnya yang di bingkai mata bulat indah dengan hiasan abu-abu berhasil membuatku terpana.
"Ya, aku akan disini menunggumu keluar."
Angela tersenyum dengan bibir tipis berwarna peach. "Pendamping wisuda terbaik," ucapnya sebelum mencium pipiku sekilas. "Aku masuk dulu."
Angela setengah berlari menuju pintu aula dan menghilang diantara kerumanan mahasiswa yang memakai toga warna serupa. Hal ini membuat otakku mundur kebeberapa tahun lalu saat aku menamatkan gelar sarjana bersama Nabila dulu. Dia mendampingiku saat aku wisuda, begitu pula sebaliknya. Tapi hal itu tidak terjadi lagi saat aku mengambil gelar magister. Tidak ada satu wanita pun menjadi pendampingku.
"Sebaiknya kita mencari tempat duduk dulu." Papa menepuk pundakku membuatku tersadar sedang bersama keluargaku dan keluarganya. Saat aku menoleh ke belakang papa, tiga orang tua itu sudah duluan berbalik arah meninggalkanku. "Kita cari kedai kopi terdekat."
Aku mengangguk saja, mengikuti kemana saja mereka pergi karena aku tidak tau daerah ini dan tidak tau apa yang akan kulakukan jika menunggu disini.
Ternyata kedai kopi yang dimaksud papa hanyalah kantin kampus biasa. Tante Ciara beralih ke kantin ini karena dia lapar dan kedai kopi jauh dari sini. Aku menuju penjual dan memesankan makanan untuk mereka sedangkan kedua pasangan suami istri memilih meja yang akan ditempati. Kasihan juga mereka yang sudah berumur lebih setengah abad berdiri memesan makanan.
Aku baru saja mengangkat nampan berisi pesananku saat ponsel di saku jasku bergetar. Ku biarkan getaran itu perlahan menghilang karena kedua tanganku tidak bisa mengambilnya dari sakuku. Saat semua makanan sudah berada didepanku, barulah aku mengeluarkan ponsel itu. Ada panggilan tak terjawab dari Deviana. Aku mengerutkan kening aneh. Tidak biasa Deviana yang menghubungiku duluan sudah empat hari ini.
Aku pamit ke toilet dulu kepada orang tuaku dan om tante. Selama perjalanan ke toilet, aku berusaha menghubungi Deviana kembali tapi tidak ada jawaban darinya. Kuulangi terus sampai sambungan itu dijawab si penerima.
"Ada apa Ana? Ada suatu hal penting?" tanyaku padanya langsung tanpa basa basi.
"Pak Caesar minta rapat besar diadakan satu minggu lagi!"
Benar tebakanku, Deviana memberikan berita mengejutkan.
"Apa aku harus datang?"
"Entahlah. Biasanya bagaimana? Aku orang baru dan aku tidak tau." Deviana terdengar menyengir di sambungan telefon.
"Entahlah juga. Aku tidak pernah mengambil cuti sepanjang ini."
"Kalau begitu carikan tiket untukku satu hari sebelum rapat. Oke?"
"Oke," jawab Deviana singkat.
Ragu menutup telefon, kutatap wajahku yang sudah kembali ditumbuhi jambang tipis dari cermin.
"Hei, sekarang disana jam berapa?"
Kutunggu Deviana menjawab, sepertinya dia tengah menglihatnya. "Empat sore," ucapnya polos. Aku yang mendengarnya spontan menggeleng-geleng.
"Oh, dan kau sedang apa?"
"Membereskan mejaku bersiap pulang. Omong-omong, apa kau jadi pendamping wisuda hari ini?"
"Ya. Itu membuatku mengingat masa-masa wisudaku dulu."
"Kalau begitu, aku tidak mau menganggumu. Sampai jumpa!"
Aku baru saja akan menyangkal bahwa dia tidak menganggu saat dia mematikan sambungan telefon. Akhirnya aku hanya bisa menarik ponsel dari telinga dan menatapnya.
Jika aku akan balik minggu depan, bagaimana dengan Angela nantinya?
***
Hari ini aku sudah berjanji pada Angela untuk mengajaknya berjalan-jalan sekalian memintanya menjadi tourgaet-ku khusus London. Hari ini juga Angela sudah kembali tidur dirumah tantenya sehingga semalaman tadi rumah menjadi ramai, apa lagi mama dan papa yang merasa senang bisa mengobrol dengan Angela semalaman. Jika aku tidak mengingatkan perihal umur mereka yang memang sudah tergolong tua, mungkin mereka bisa bertahan sampai tengah malam.
Aku keluar kamar dengan baju santaiku, polo shirt dongker dengan celana jins hitam, sudah siap pergi keliling kota. Ku lihat mama dan papa yang juga baru keluar dari kamar sebelahku, mereka tampak baru bangun tidur. Aku menyapa dengan mengucapkan selamat pagi.
"Kau tampak rapi. Jadi pergi hari ini?" tanya mama padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
"Selesai sarapan kami langsung jalan."
Mama mengangguk-angguk paham. Lalu kami bertiga menuju lantai satu, dimana ruang makan berada. Sekarang masih pagi dan memang saatnya sarapan.
"Lihat, dia wanita pintar dan hebat dalam memasak," celetuk mama tepat saat kami memasuki area ruang makan yang langsung tersambung dengan dapur. Aku menoleh pada arah pandang mama. Mataku menangkap sosok Angela yang tengah membelakangiku menghadap kompor dengan celemek yang melekat ditubuhnya. Angela masih memakai piyama putih satinnya, tampak dia belum bersiap.
"Calon istri idaman kan?" Mama tersenyum senang. Insting ibunya yang selalu ingin melihat anaknya cepat menikah muncul lagi.
"Kau tidak akan rugi menikah dengannya," tambah papa. Kini aku menoleh pada papa dengan tampang innocentku. Ayolah, aku sudah tiga puluh lima tahun dan sepertinya bisa menilai wanita dengan mata kepalaku sendiri, walaupun aku mengakui Angela termasuk salah satu wanita yang pantas diperhitungkan.
Mama dan papa menarik kursi dan duduk ditempatnya. Aku malah berbelok ke arah dapur menuju Angela. Didekat dialah baru aku mendengar suara kecilnya yang menyanyi.
"Hei, pagi," sapaku ringan. Angela tampak kaget saat melihatku.
"Oh kau sudah bangun rupanya." Angela menunjukkan senyum khasnya yang berlesung pipi disebelah kiri. Dia kemudian menunjuk penggorengan didepannya. "Apa kau suka omelet?"
"Aku manusia pemakan segala."
Angela melirikku lalu terkekeh. "Aku patut takut kalau begitu. Jaga-jaga kau tidak memakanku," ucapnya penuh canda. Aku memerhatikan kekehannya yang terlihat manis itu.
"Tidak akan. Kau akan selesai jam berapa?" tanyaku kembali fokus pada masakannya. Angela membalikkan omelet dipenggorengan dan sisi kecoklatan muncul diatasnya.
"Satu jam lagi mungkin. Terlalu pagi untuk jam segini."
Aku mengangkat bahu. Dia lebih tau London daripadaku. Jadi lebih baik aku menurutinya saja.
"Apa tante dan om sudah keluar kamar?"
Mendengar pertanyaan Angela, spontan aku menoleh kebelakang. Di meja makan hanya ada mama dan papa yang sedang berbincang.
"Belum sepertinya."
"Bisa kau panggilkan mereka?" tanyanya lagi. Aku langsung mengangguk cepat. Angela tersenyum lagi lalu dengan cepat mencium pipiku sekilas.
"Terima kasih."
Aku mengangguk lalu berlalu dari sana. Aku bisa merasakan tatapan mama yang geli melihatku habis dicium Angela, walaupun hanya dipipi. Aku meninggalkan mereka dan terus menuju kamar Tante Ciara. Hidupku terasa aneh, semenjak putus dari Nabila yang dingin saat pacaran denganku, kenapa aku malah bertemu dengan wanita-wanita yang lebih agresif?
Aku menggeleng mencoba menghilangkan pikiran itu. Kuusap mukaku sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar tante dan om. "Tante, Om, sarapan!"
***
Aku dan Angela memilih berjalan dan naik busway saja daripada memakai mobil. Kata Angela, berjalan lebih nikmat daripada berkendara. Sekarang kami tengah berada jembatan Bride berjalan menuju jam terbesar didunia.
Angela yang sedari tadi melingkarkan tangannya di lenganku semakin merapatkan tubuhnya membuatku menoleh padanya. "Kenapa?" tanyaku.
Dia menengadah memandangku. Matanya yang dihias kehitaman membuat matanya tampak lebih tajam mengerjap salah tingkah. "Apa aku mengejutkanmu?"
Aku memiringkan wajahku kesatu sisi jauh dari wajahnya. "Tidak. Tapi, ya sedikit."
Angela menggigit bibirnya ragu. Dilepaskannya pegangannya tadi dan memberikan sedikit jarak pada kami.
"It's okay. Kita memang calon pasangan bukan?" ucapku menenangkan. Takut kalau dia tersinggung dengan ucapanku. Kuraih tangannya dengan memasukannya kedalam genggamanku.
"Ku kira minggu lalu kau memintaku menjadi kekasihmu," ucapnya ragu. Aku berhenti melangkah dan menoleh padanya yang duluan berhenti dibelakangku.
Aku jadi mengingat ucapanku minggu lalu saat kami berjalan-jalan ke mall untuk mencari gaun terbaik yang akan digunakannya untuk wisuda keesokan harinya. Sore itu saat kami tengah duduk-duduk minum kopi di salah satu kafe di dalam mall itu. Aku mempertanyai keputusannya untuk perjodohan kami.
"Bagaimana menurutmu? Aku tidak ingin kita pura-pura tidak mengerti dengan apa yang orang tua kita lakukan semalam. Mempertemukan kita di makan malam dan memintaku untuk menemanimu hari ini."
Angela menatapku dari balik bulu mata lentiknya. "Maksudmu? Perjodohan kita?"
Aku mengangguk. Jelas dia juga sudah diberitahu sebelumnya tentang perjodohan ini.
"Ya. Apa pendapatmu sebagai wanita?"
Angela meraih kopinya. Dia menyesapnya sebentar membuatku menunggu jawaban yang akan diucapkannya. Dia masih belum menurunkan cangkirnya saat selesai minum, tapi dia kini menatapku.
"Mungkin orang-orang akan mengatakan bahwa perjodohan itu sudah kampungan, tapi menurutku perjodohan adalah salah satu cara orang tuaku memberikanku pilihan terbaik dalam hidupku. Mereka tidak mendesakku, bahkan memintaku memikirkan untuk memepertimbangkanmu. Kalau boleh jujur, aku cukup terkejut mengetahui calon suamiku sudah tiga puluh lima tahun."
Angela berhenti bicara, tapi aku tetap menunggunya karena menurutku dia akan melanjutkan ucapannya. "Tapi setelah bertemu denganmu, tidak ada salahnya mencoba. Kurasa kau pria baik dan tidak terlalu tua untuk dibawa kemana-mana."
Kejujurannya membuat ujung bibirku tertarik keatas. Kuputuskan kontak mataku dan menatap cairan kental di cangkirku. Expresso hitamku.
"Kau sendiri? Apa yang kau pikirkan?" tanyanya balik. Aku mengangkat mukaku dan menatap matanya yang kini memandangku tegas.
"Pilihan mama dan papaku ternyata tidak buruk, bahkan lebih baik dari yang aku kira. Kau masih dua puluh lima dan sudah menyandang gelar magister. Pintar dan anggun."
Kulihat Angela tersenyum. "Jadi?" tanyanya memastikan.
"Tidak ada salahnya mengikuti kemauan mereka. Mulai hari ini, kita coba ya?"
Angela melepas senyumnya yang sedari tadi ditahannya. Dia mengangguk pelan membuat beberapa helai rambut yang diselipkan di telinganya jatuh. Tanpaku sadari, tanganku sudah terangkat dan merapikannya kembali ke balik telinganya. Angela sedikit terkejut dan kembali tersenyum, kali ini dengan raut wajah malu-malunya.
Ah, ya, kurasa aku tau kenapa Angela tampak agresif setelah itu. Aku mulai sadar apa alasannya mencium pipiku saat mengantarnya pulang kembali ke apartemen setelah dari mall. Dan itu adalah karena ucapan ambiguku, ditambah perilakuku yang membuatnya salah paham.
Angela masih menunduk menatap ujung sepatunya. Aku berbalik sepenuhnya dan manatapnya dalam-dalam. Gadis ini bersedih karena aku? Sialan mulut dan tangan yang membuat gadis ini salah paham. Tapi sebaiknya aku tidak menyatakan kesalahpahaman itu. Toh, ujung-ujungnya kami tetap akan menjadi sepasang kekasih.
Aku meraih tangannya yang satu lagi, berhasil membuatnya mengangkat wajah dan menengadah menatapku. Kuambil satu langkah lagi mendekatinya. Sebelum bicara, kuhirup udara sedalam-dalamnya. Ini keputusan penting yang kuambil tidak sampai sebulan.
"Kau memang kekasihku Angela dan kita akan menikah."
Angela mengerjap beberapa kali sebelum tersenyum lebar. Dalam hitungan detik, dia sudah menubrukkan tubuhnya kepadaku. Aku meragu, tapi akhirnya membalas pelukkannya juga.
***
Kami berhenti tepat didepan gang perumahan Angela. Aku lebih dulu turun dari busway dan membantu Angela turun setelahnya. Dia terkikik saat tubuhnya oleng kearahku dan dengan sigap kutangkap. Kami lalu berjalan bergandengan menuju rumah.
"Aku tidak pernah tau ternyata pacaran dengan pria tua itu sama saja menyenangkan dengan pria seumuranku," ucapnya tanpa menoleh padaku.
"Aku tidak setua yang kau pikirkan. Sudah berapa lama kau sendiri?"
Angela mendongak kali ini. "Maksudmu aku putus dengan pacarku? Tiga tahun lalu."
"Jadi kau belum pernah pacaran dengan penduduk asli disini?" tanyaku memastikan. Angela menggeleng.
"Tidak. Mungkin aku tidak laku diantara mereka."
Aku mendengus ringan. "Jangan merendah. Kau tau semua pria itu tertarik padamu dari cara mereka menatapmu."
"Cara mereka menatapku seperti ingin meniduriku, itu maksudmu?" Angela berkata frontal. Aku akan menambah penilaianku terhadapnya yang tidak malu berkata seperti itu.
"Mungkin, aku juga tidak bisa membaca pikiran mereka." Aku mengangkat bahu. Angela menggeleng sambil tersenyum sinis.
"Kau akan hafal tatapan itu setiap kali melihat pria-pria berotak mesum menatap wanita didalam klub," ucapnya sakartis.
Aku memang sudah mengatakan padanya masalah aku yang tidak suka ke klub atau dunia malam dan sejenisnya. Aku juga jujur bahwa aku bukan peminum alkohol. Angela sempat terkejut mendengar penuturanku karena menurutnya tidak ada pria yang seperti aku lagi didunia ini.
"Baiklah nona cilik. Kata-katamu sudah mulai frontal."
Angela mendecis. Dia tersenyum sebelum menempelkan kepalanya kebahuku. "Kau akan terbiasa mendengar semuanya saat kau mengenal dunia itu dan aku anak kesehatan. Mungkin akan lebih frontal jika aku menyebutkan anatomi tubuh kita."
Hollyshit!
"Lebih baik tidak." Aku terkekeh hambar, takut-takut gadis ini akan menjadi sasaranku selanjutnya setelah Deviana yang menjadi 'sekretaris pribadi'ku. Mengingat wanita itu membuatku teringat belum menghubunginya hari ini.
Kami sampai didepan pintu rumah dan bersamaan dengan itu Angela melepaskan tangannya dariku. Aku mengetuk pintu dulu. Tapi, kulihat Angela terkekeh saat dia mengeluarkan kunci dari dalam tasnya.
"Kau akan selalu mempunyai serap jika harus pulang malam," ucapnya sambil memasukan kunci kelubangnya. Aku menunggui pintu itu terbuka.
Saat pintu terbuka, seluruh lampu ruangan sudah mati. Angela menarik tanganku menyusuri ruang tamu yang kami lewati.
"Tante Ciara tidak suka lampunya dihidupkan saat sudah mati." Angela memberikan penjelasan atas tindakannya. Aku mengangkat bahu pasrah dibawanya kelantai dua menuju kamarku. Tampaknya gadis ini hafal betul dimana setiap ruangan rumah ini.
"Ini kamarmu," ucap Angela sambil meletakan tanganku digagang pintu yang dingin. Samar, dari cahaya luar yang masuk lewat celah-celah ventilasi, dapat kulihat Angela tersenyum.
"Terima kasih untuk hari ini. Kau memang gaet terbaik yang pernah aku punya," ucapku tulus padanya. Angela tersipu lagi tapi mengangguk juga.
"Saat di Indonesia, berjanjilah kau yang akan menjadi gaetku!" Angela mengangkat tangannya menunjukkan kelingkingnya. Aku paham maksud itu langsung mengangkat jemariku dan menautkannya. "Janji."
Angela tertawa pelan, sepelan agar tidak ada yang mendengar kami. Dia melepaskan tangannya duluan.
"Aku kekamar dulu. Selamat malam."
"Selamat malam, mimpi indah," ucapku. Angela mengangguk.
Aku menungguinya berbalik turun sebelum aku masuk kekamarku sendiri. Ini aneh saat kau sebagai pria malah diantar ke kamar oleh kekasihmu.
Tapi selang beberapa detik, Angela belum juga berbalik. Dia masih berdiri menatapku. "Really? Should I kiss you first?"
Aku mengangkat alis setinggi yang aku bisa saat mendengar pertanyaan itu. Katakan aku tidak bodoh menerjemahkan bahasanya barusan. Dia memintaku untuk menciumnya.
Aku menunduk menyamakan tinggi kepalaku dengan kepalanya, walaupun Angela masih saja mendongak. Aku bergerak pelan, berharap dia akan tertawa dan menyerukan 'kena kau' karena berhasil mengerjaiku. Tapi sampai bibirku menyentuh ujung bibirnya, Angela tidak bergeming.
Aku menutup mataku bersamaan dengan Angela yang menyentuh dadaku. Menekankan bibir kami semakin dalam tanpa berniat saling membuka dan menyecapi lidah satu sama lain. Dan akhirnya, Angela menarik wajahnya duluan membuatku membuka mata.
Angela tersenyum malu-malu laku mundur dan berbalik setelah langkah ketiga. Kutunggui dia menuruni tangga dan memastikan tidak mendengar bedebum jatuh. Setelahnya aku masuk kedalam kamar yang kusadari tanganku masih digagang pintu sedari tadi. Hebatnya, aku tidak menyentuh Angela saat menciumnya. Semoga dia tidak menyadarinya.
Kuhidupkan sakelar lampu dan berjalan gontai keranjang. Kurebahkan tubuhku yang baru terasa penatnya sekarang. Berjalan kaki itu ternyata cukup melelahkan. Salut pada orang-orang eropa yang hobi berjalan kaki bahkan dengan langkah besar dan cepat.
Kurogoh sakuku yang sejak siang tadi tidak pernah kusentuh. Kulirik jam yang menunjukkan pukul sebelas malam dan artinya di Indonesia pukul lima pagi. Aku menimbang dan akhirnya memilih untuk tidak menghubungi gadis itu.
Aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Berendam dengan air hangat akan menghilangkan penat.
***
Aku membuka mata lagi setelah memejamkannya terlalu lama yang ternyata tidak membuahkan hasil untuk tidur. Kulirik jam untuk kesekian kalinya dan jarum pendek menunjukkan angka satu. Aku mendengus sebal pada diriku yang entah kenapa tidak bisa tidur padahal sudah penat-penat sana sini. Atau ini mungkin karena aku tertidur setengah jam saat berendam tadi.
Ku ambil ponselku yang kuletakan dinakas terdekat. Ku cari nomor terakhir yang kuhubungi dan segera mendekatkan ponsel ketelinga. Sekarang pasti sudah pagi disana.
"Hm?" Hanya gumaman itu yang kudapatkan saat sang penerima menjawab telefonku. Aku bisa menebak kebiasaan gadis itu saat bangun tidur. Menggeliat manja dan mencari tubuhku untuk ditempeli lagi. Tapi kini aku yakin dia mencari guling saja karena tidak ada aku didekatnya.
"Pagi sekretarisku," sapaku sok romantis. Aku tebak lagi, dia pasti mendengus jijik mendengar ucapanku.
"Ada masalah apa bos? Ini terlalu pagi," ucapnya malas.
"Kau yakin? Disini pukul satu, apa disana tidak pukul tujuh dan kau harus bekerja hari ini?"
Dalam beberapa detik kudengar makiannya dan beberapa kata kasar lagi dari ujung sana. Aku tertawa terbahak dan membiarkannya menyelesaikan apa yang sedang dilakukannya kini.
"Terima kasih bos sudah membangunkanku," ucapnya. Lalu dia mengaduh disusul bunyi sesuatu yang terjatuh.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku mulai cemas. Apa dia akan menghancurkan apartemenku?
"Baik. Hanya peralatan mandi yang berantakan. Sialan!" umpatnya lagi. Aku masih belum bisa berhenti tersenyum geli.
"Kau bisa menyelesaikan telefonnya dalam satu menit? Aku akan segera bersiap ke kantor."
Aku mengulum senyumku. "Aku hanya ingin membangunkanmu. Itu saja."
"Sialan!" kudengar suaranya sedikit aneh. Lalu kudengar dia tengah berkumur dan meludah. "Aku benar-benar terlambat jika tidak mandi sekarang," ucapnya melanjutkan arti umpatannya tadi.
"Baiklah. Aku akan tidur dulu." Selesai mengucapkan itu, aku langsung menguap.
"Bagus kau bos, ketika bawahanmu harus terkejar kekantor kau malah tidur enak-enakan dengan kekasihmu."
Aku tergelak. "Aku tidak tidur dengan kekasihku. Aku sendiri diranjang, jika kau ingin mendengar itu."
Jeda beberapa saat. Lalu kudengar suara keran berbunyi. "Wow, apa kau akan membawaku menemanimu mandi?"
"Sialan. Selamat malam, eh maksudku pagi!" Dan sambungan telefon dimatikan. Aku terkekeh kesekian kalinya. Kulempar ponsel itu kesebelahku dan menguap sekali lagi menyadari aku benar-benar mengantuk dan butuh tidur sekarang.

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang