Part 19

5.8K 250 5
                                    

Hai my lovely readers!
Kaget ya aku muncul bukan dihari sabtu? Wkwk
Ini karena aku punya niat baik, jadi begini...
Aku bakal ikut kkn bulan depan dan denger2 sinyal susah banget disana. Aku kkn selama satu bulan penuh dan kemungkinan susah buat update lagi. Nah, karena aku orang baik, aku akan usaha update sesering mungkin dan sebisanya aku cerita ini. Kalau aku ternyata tidak bisa menyelesaikan cerita ini dalam waktu sesingkat2nya ini, maafkan ya kalo ceritanya gantung kurang lebih satu bulan lewatan. Tapi, aku bakal usaha ini cerita selesai dalam satu bulan kedepan. Bismillah yaaa
Happy reading ya all!

"Dia tidak mau." Pria itu duduk dikursi terdekat.
"Kenapa dia tidak mau?"
"Kita semua tau alasannya."
"Kau tidak memaksa."
"Sudah! Tetap saja tidak mau. Keras kepala!" Nada suara pria itu meninggi.
"Persis sepertiku," dia terkekeh.
Pria yang satu lagi mendelik. "Itu bukan hal yang membanggakan."
"Kau juga sepertiku." Pria itu terkekeh lagi. Pria yang satunya mendesah frustasi. Dirinya sampai pusing tujuh keliling jika terus mengikuti kemauan pria ini.
"Tenanglah, suatu hari dia pasti mau." Bahu pria itu ditepuk. Dia mendongak untuk menemukan senyuman penenangnya.
"Tapi aku tidak tau kapan."
"Biar aku yang bicara. Dia pasti mau."
Pria itu mengangguk. Dia lalu diam, diselimuti pikirannya sendiri.
***
Aku tersenyum geli. Vicky menjilati bibirku pagi-pagi begini?
Aku mengerjap berusaha menemukan pria tampan pengisi hatiku. Tapi sial, yang kutemukan adalah binatang kecil menggemaskan yang masih menatapku sambil menggoyangkan ekornya. Aku tersenyum semakin lebar saat anjing itu berusaha menjilatiku lagi. Aku langsung menangkap tubuhnya dan menggendongnya ke udara.
"Selamat pagi Meggy!" ucapku dengan tawa kali ini. Meggy tampak gamang dengan matanya yang membulat besar membuatku semakin terbahak.
Aku bangkit duduk dan menarik Meggy ke pelukkanku. "Bagus sekali menggodaku pagi-pagi, anak manis." Aku membelai kepalanya dengan tangan kiriku sedang tangan kananku meraih ponsel di nakas.
Aku melihat satu pesan masuk dan membukanya. Ternyata itu pesan dari pria itu. "Lihat Meggy, ini daddymu." Aku mengarahkan ponsel ke wajah Meggy yang kutahu anjing ini tidak akan bisa membacanya.
Kau sudah bangun?
Aku mengetikkan 'sudah' ketika ponselku berdering. Aplikasi pesanku berubah menjadi panggilan. Dari orang yang sama. Uh, perhatian sekali.
"Hm?" jawabku malas-malasan. Tapi dibalik itu, hatiku senang tidak karuan.
"Oh sudah bangun. Setidaknya kau bisa membalas pesanku, Ana."
Aku tersenyum mendengar namaku disebut olehnya dengan cara berbeda. Pria yang satu-satunya memanggilku seperti itu, Vicky.
"Aku baru saja akan membalas, tapi kau sudah menelefon."
"Aku mencemaskan kau telat untuk kesekian kalinya," jelasnya. Tapi menurutku tidak ada salahnya dia mengatakan bahwa dia hanya mencoba membangunkanku atau mencemaskanku karena kemaren aku terlambat sampai dua jam.
"Meggy membangunkanku. Ku kira kau yang menganggu tidurku dengan cara yang manis sekali, ternyata dia." Aku menatap Meggy yang kini menatap keluar jendela.
"Memangnya bagaimana caranya?" tanya Vicky penasaran. Oh tidak, aku tidak akan menberitahukan caranya.
"Kau tidak perlu tau. Omong-omong, Meggy merindukanmu." dan aku juga..
"Oh ya? Sampaikan maafku karena sudah beberapa hari ini tidak ke apartemen."
"Memangnya ada apa kau tidak bisa kesini sebentar saja? Sibuk sekali dirumah?"
Aku tidak mendengar jawaban darinya. Yang kudengar hanya gumaman kecil yang kuyakin pernyataan bahwa dia ragu untuk memberitahuku. Memangnya kenapa?
"Ada sesuatu yang kau simpan Vick?" Aku menekan pertanyaanku memastikan. Setelah itu, kudengar Vicky menghembuskan nafasnya.
"Aku sedang mempersiapkan pernikahan kami satu bulan lagi."
Aku mengerjap. Bohongkan? Dia bohongkan?
"Kami sedang mempersiapkan kartu undangannya. Malam ini undangan kami akan siap."
Sekejap rasanya matahari tidak indah lagi pagi ini. Sinar-sinar rasa tidak ada gunanya. Tangaku melemah, melepaskan Meggy begitu saja dari pelukanku. Sedangkan tanganku yang satunya masih mengenggam ponsel dengan kuat-kuat. Berusaha untuk tidak menangisinya disaat dia sedang menghubungiku seperti sekarang ini.
"Apa aku perlu membantu?" Dari semua kalimat makian, marah dan tangis yang ingin ku ucapkan, hanya kalimat paling munafik itu yang keluar dari mulutku. Aku menyeka cepat air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. Aku mendongak berusaha air mata itu tidak mengalir bodoh dari mataku yang memanas ini.
"Tidak. Aku rasa kami bisa menyelesaikannya. Mama sangat bersemangat. Bahkan beliau dengan cekatan melakukan semuanya."
"Astaga!" Aku memekik berusaha mengalihkan pembicaraannya dari masalah pernikahannya. Peduli apa? Aku tidak peduli! Aku ingin menjadi tidak peduli!
"Kenapa Ana?"
"Kantor! Sekarang sudah pukul delapan kurang."
"Astaga! Keasikan menelfon. Cepat bersiap-siap. Apa kau mau ku jemput? Aku sudah hampir dekat."
Dan menungguiku menangis seharian? Lebih baik tidak.
"Kurasa aku tidak akan siap dalam waktu setengah jam Vick." Aku mendesah tertahan. Air mataku kembali turun. Kali ini aku biarkan bebas mengalir.
"Baiklah. Aku tunggu di kantor."
Aku mengangguk tanpa menjawab tapi langsung mematikan panggilanku. Ku letakan ponsel tanpa tenaga. Lalu kutatap anjing mungil yang tampaknya mengerti perasaanku. Dia duduk dengan ekor turun tanpa bergerak.
"Aku mau sendiri. Maukah kau keluar sebentar?"
Tanpa mengulangi lagu, anjing itu berdiri. Dia melompat dari ranjangku berlari kecil keluar kamarku. Selepasnya pergi, aku menghempaskan tubuhku dan menangis dengan suara keras.
***
Pria itu membuka pintu ruangannya dengan sekali hentak. Aku berhenti dilangkah pertamaku keluar lift. Melihatnya yang bingung ke meja kerjaku. Dia menggeram kesal lalu mengeluarkan ponselnya. Seketika ponselku di dalam tas berbunyi nyaring. Dia mengangkat wajahnya mencari asal suara dan menemukanku berjalan dengan santai kearahnya. Dia menatapku jengkel lalu mematikan sambungan telefonnya. Bersidekap menungguku sampai didepannya.
"Maaf, saat kau selesia menelfon aku ketiduran lagi," ucapku tanpa sesal. Aku menutus kontak mataku dan memilih langsung duduk di kursiku tanpa menoleh padanya lagi.
"Jam sepuluh! Lama-lama kau keterlaluan Ana!"
Aku mendecak berusaha mengabaikannya yang kini berdiri dengan tubuh condong didepan mejaku. Tangannya menumpu dimeja sehingga tubuhnya tampak menjulang menguasai mejaku.
"Maafkan aku oke? Aku tidak tau akan tertidur lagi." Aku berusaha mengalihkan mataku dari tatapannya. Berusaha tidak menatap kedalam maniknya. Aku takut dia mengetahui aku menangis hampir satu jam penuh atau aku bisa saja menangis lagi dihadapannya sekarang.
Vicky tampak menyerah. Dia menarik dirinya dan berdiri tegap. "Terserahlah. Aku hanya ingin mengingatkan gajimu sudah banyak potongannya akhir-akhir ini."
Aku mendecak. Peduli apa?
Vicky memerhatikanku yang kini sibuk sendiri membuka laptop dengan tergesa. Aku mengabaikannya dan dia tampak mulai bosan. Jadi dia berbalik dan meninggalkanku masuk kembali keruangannya. Kali ini aku berani menatap ke pintu yang sudah tertutup.
***
Aku melirik jam dimejaku dan menemukan jarum panjang sudah menunjuk angka 5. Berarti dari tadi hampir satu jam. Vicky makan siang dengan Angela hampir satu jam dan aku masih duduk manis menungguinya disini.
Kukira saat Vicky keluar untuk istirahat, dia akan mengajakku untuk makan siang, walaupun aku akan menolaknya karena aku masih belum bisa menatap matanya dengan intens. Tapi nyatanya pria itu malah meminta izin untuk balik terlambat karena akan makan diluar bersama. Aku cukup tahu kalau aku memang tidak dibutuhkan lagi.
Kupusatkan seluruh perhatianku pada laptop yang menampilkan file yang menurutku tidak penting. Satu jam kembali berlaly membuatku muak dan memilih untuk tidur saja. Toh, bosku itu masih akan lama sepertinya.
Aku terbangun dengan tubuhku terasa pegal. Bagaimana tidak, tidur duduk dimeja kerja dalam waktu cukup lama. Aku tidak menyangka aku benar-benar ketiduran.
Aku mengernyit saat kurasakan sesuatu memelukku. Hangat. Dan terasa nyaman. Aku baru menyadari bahwa jas ini sudah terhampir saat aku tidur tadi. Seseorang meminjamkan jasnya. Siapa? Benny?
Suara telefon kerja berbunyi.
Aku segera mengangkatnya.
"Ya pak?" sapaku sopan.
"Kau tertidur saat bekerja Ana?"
Aku meringis. Mataku menoleh ke pintu ruangan didepannya itu.
"Maafkan."
"Kau sudah makan?"
Aku terdiam mendapatinya bertanya seperti itu. Sontak aku menggeleng. "Sudah," seperti biasa mulut dan hatiku berucap berbeda.
Vicky menatapku dengan sebelah alisnya terangkat. Dia lalu menarikku untuk berdiri dan menyeretku begitu saja keluar dari belakang mejaku. "Aku tau kau berbohong. Ayo, ku temani makan."
"Bos aneh! Dimana-mana sekretaris yang menemani bosnya makan!" ucapku sambil menarik tas kerjaku dari tempatnya. Itu kulakukan dalam hitungan detik karena Vicky tidak memberiku kesempatan untuk menungguku mengambil tasku dulu. Sekarang dia benar-benar menyeretku ke lift.
"Kau tau, kini posisiku sebagai sahabatmu."
***
Aku mengedarkan pandangan ke arah kiriku sambil menggigit pipet berwarna kuning yang sekarang sudah kosong isi gelasnya. Sebelumnya gelas ini berisi jus alpukat. Jus ini habis dalam hitungan sepuluh detik. Alasannya simpel, ayam pecalnya yang super pedas.
Aku menoleh lagi kesebelah kananku. Vicky masih menatapku yang -astaga aku tidak tau apa arti tatapan itu- berhasil membuat jantungku melompat-lompat. Aku memelototinya. Dengan pelan kudorong wajahnya ke arah berlawanan agar tidak memandangku lagi.
"Jangan memandangku seperti kau memandang hal aneh seperti itu!"
Vicky terkekeh. Dia menoleh padaku lagi. "Kau memang menakjubkan. Aku tidak tau kau memilih warung ini untuk makan."
Aku mendecak. Tidak ada salahnya memilirih warung kecil pecal ayam di pinggir jalan. Sama saja mengenyangkan dengan tempat makan lain. Bahkan lebih mengenyangkan ini.
Tadi sebenarnya aku hanya menjawab asal saat Vicky menanyakan aku mau makan dimana dan aku menjawab pecal ayam dengan santainya. Ternyata dia benar-benar membawaku ke tempat ini dan nilai tambah untuk sambalnya yang pedas, sepedas hatiku gara-gara beritanya tadi pagi.
"Udah gigit pipetnya Ana! Kau jorok!" Dia menarik pipet yang berada di mulutku dan melemparkannya ke lantai.
"Lagi asik," jawabku singkat.
Vicky tertawa lagi. "Hari ini kau kenapa? Aneh sekali."
Kau bertanya hari ini aku kenapa? Hah! Tidak sadar dengan kabar yang kau siarkan tadi pagi? Kenapa harus hari ini? Kenapa saat aku harus bertemu denganmu hari ini?
"Kau baru liat keanehanku hari ini?" tanyaku dengan wajah datar yang sukses membuat Vicky tertawa lagi.
"Sebenarnya setiap hari, tapi ini," dia mencubit pipiku, lalu melanjutkan, "menggemaskan sekali. Sampai-sampai aku tidak mengerti harus bagaimana lagi."
Aku menepis tangannya dipipiku. "Memangnya apa masalahnya? Aku hanya terlambat ke kantor."
"Terlambat kekantor saja?" Vicky mendecak. "Kau lupa mengingatkanku bahwa kita ada rapat dengan klien pukul sembilan. Kau terlambat dua jam. Kau tidak mengingatkanku makan siang. Kau terlambat makan siang. Kau minta makan di pinggir jalan. Kau menggigit pipet. Apa lagi keanehanmu yang akan kau lakukan hari ini?"
Tanpaku sadari bibirku manyun sendiri semakin Vicky menyebutkan hal-hal itu. Aku hanya bisa menjawab semua pertanyaannya dipikiranku saja. Aku lupa rapat karena aku tengah menangis karenanya. Aku terlambat karena aku menangis. Aku mengingatkan makan siang untuk apa lagi kalau kekasihnya sudah ada? Aku terlambat makan siang karena aku tidak mau makan jika tidak bersamanya. Aku meminta makan dipinggir jalan karena aku bosan dengan kemewahan yang pasti juga diharapkan gadis itu. Aku menggigit pipet karena aku grogi diperhatikannya. Apa lagi? Itu semua karenanya bukan?
"Ya, teruslah salahkan aku!" dengusku akhirnya setelah tidak tau menjawab apa-apa lagi.
"Bagus, poin baru. Ngambek!" Vicky terkekeh. Dia bangkit dari duduknya.
"Aku bayar dulu," ucapnya sambil mengusap puncak kepalaku. Walaupun sebentar, hal itu berhasil membuat sentruman ringan yang membuat kenyamanan diriku.
Aku menatapnya yang menuju kasir dan memgeluarkan dompet disana. Vick, kalau kau tidak punya perasaan apa-apa padaku, tolong jangan berikan aku harapan yang lebih besar lagi, tolong.
***
"Vick, sepertinya ponselku tinggal di mobilmu." Aku menggigit bibirku sambil menatap pria yang kini tengah menungguiku memeriksa isi tasku. Dia memutar bola mata jengkel. Aku segera menahannya. "Aku saja yang ambil. Mana kunci mobilmu?"
Vicky mengeluarkan kunci mobilnya tapi tidak menyerahkannya padaku. "Biar aku saja. Kau teruslah ke atas," ucapnya sambil melirik lift disebelah kami.
"Aku tunggu kau disini saja." Aku memilih duduk di sofa lobi kantor dari pada duluam ke ruangan. Segan pasti, yang salah aku dan dia yang harus balik ke basemant kantor. "Maaf ya."
Vicky hanya mengangkat bahu dan berlalu dari hadapanku.
Lima menit kemudian dia kembali dengan tangannya yang memegang ponselku. Awalnya tatapannya lurus kepadaku, tapi dalam jarak beberapa langkah lagi, kulihat dia melirik ponselku yang sepertinya berdering. Aku mengambil langkah cepat ketika menyadari bunyi khusus yang kusediakan untuk beberapa nomor. Dan bunyi itu terdengar nyaring sehingga aku bisa mengetahui siapa yang menelfonku. Tepat ketika berada didepan Vicky, ponsel itu berhenti berbunyi. Dia mengangkat wajahnya dan menyerahkan ponsel itu padaku.
Dengan alis yang bekerut, dia berkata, "Caesar?"

17maret2016

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang