Part 9

7.1K 278 3
                                    

Hai buat yang nungguin cerita iniiii
Btw, aku mau omongin tentang masalah akhir2 ini yang banyak tingkah laku salah gara2 baca wattpad. Please banget buat yang belum pantas baca, ga usah baca cerita berunsur 18+, inget umur aja.
Nah karena hal ini, aku janji ga bakal buat cerita yang unsur2nya erotis. Yah, kalo sekedar ciuman oke lah, tapi lebih dari itu, SENSOR! Jadi maaf buat readers semua yang nunggu2 cerita aku seperti My A, ga akan pernah lagi aku update (My A aja rencana mau aku hapus)
Sudahlah, kebanyakan cerita, langsung baca aja deh. Bye!

Suara lift berdenting. Aku membiarkan beberapa karyawan yang menaiki lift yang sama denganku untuk masuk duluan keruang kerja mereka. Beberapa tersenyum padaku dan beberapa menyapaku dengan santai.
Baru saja aku keluar dari lift, seorang pria menjatuhkan bunga ditangannya tepat didepan kakiku. Membantunya, ku ambilkan buket bunga itu.
"Terima kasih, Pak," ucapnya sopan. Aku mengangguk sambil mengulaskan senyum. Dia lalu berjalan cepat menuju ruangan paling ujung. Bukannya dia karyawan bagian keuangan? Aku pernah mengobrol dengannya saat ada meeting dengan direktur keuangan dan dia tampaknya salah satu karyawan terbaik mereka. Dan kenapa banyak orang-orang membawa bunga?
Aku menggeleng saja, berbelok kearah pantry sebelum ke ruanganku. Meminta pada seorang office girl untuk menyiapkan satu cangkir teh hangat untukku. Setelahnya aku kembali ke ruanganku.
Penasaranku terjawab sudah saat aku memasuki ruang HRDku. Terutama pada meja Deviana.
"Ada apa ini, Ana?" tanyaku pada Deviana yang kini tengah sibuk menata mejanya.
"Maaf Pak, saya tidak tau akan seramai ini. Saya akan segera membereskannya." Deviana menjawab dengan tegas. Selalu, khasnya yang tidak ingin tampak bersalah.
Aku melirik beberapa tangkai, bahkan buket bunga di mejanya yang memang tidak besar. Bahkan beberapa buket diletakan di bawah lantainya. Sedangkan bunga-bunga tangkai disusun rapi di vas kaca berisikan air.
"Maksud saya, ada apa sampai-sampai kau mendapat banyak bunga seperti ini."
Deviana yang sedang berjongkok menyusun buket bunganya di lantai, berdiri. Dia tersenyum sebelum menjawab, "saya hanya iseng mengatakan kalau saya suka diberi bunga untuk kado ulang tahun saya Pak. Eh, tau-taunya mereka benar-benar memberikannya."
Aku mencerna kalimat pertama Deviana. Bunga untuk kado ulang tahun? Deviana berulang tahun hari ini?
"Kau, ulang tahun hari ini?" Aku menyuarakan pikiranku.
Deviana mengangguk. "Sahabat macam apa kau tidak tau tanggal ulang tahun sahabatnya sendiri?" desisnya dengan suara teramat pelan. Bahkan aku harus mendengarnya dengan seksama dulu saking pelannya. Berharap tidak ada yang tau pembicaraan kami.
"Maafkan aku."
Deviana menaikan satu alisnya lalu mencebik. "Oh ya Pak, agenda anda hari ini.."
***
"Jujur saja, aku sampai terkejut pria-pria itu benar-benar memberikanku bunga." Deviana tertawa setelah berkata hal itu. Aku yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Itu membuktikan kau memang jadi incaran mereka." Ku potong daging steak di mejaku dan melahapnya.
"Aku sudah menolak secara tidak langsung, tapi mereka masih saja mengejarku."
"Sombong sekali. Bagaimana bisa mereka tau hari ini ulang tahunmu?"
Deviana tesedak karena akan tertawa. Dia cepat-cepat meneguk mineralnya. "Media sosial, Pak. Apa anda tidak tau itu?"
"Kau tau aku tidak suka sosial media?"
"Untuk apa ponsel mahal-mahal kalau kau tidak menggunakannya dengan semestinya?"
"Ada. Untuk pekerjaanku tentunya."
"Kaku sekali!" ucap Deviana sambil menusuk-nusuk udara dihadapanku dengan garpu ditangannya.
"Turunkan garpu mu atau aku mati ditempat ini." Deviana tertawa mendengar celotehanku.
"Omong-omong, kau mau diadakan pesta ulang tahun?" tanyaku kembali serius. Dia memang sudah serius dengan makan siangnya.
"Dimana? Apartemenmu? Kau ingin membiarkan orang-orang tau kalau kita serumah, sekamar dan seranjang?"
Aku mengangguk paham. "Bagaimana kalo berdua saja?" tanyanya sambil memainkan alisnya.
"Sound's greet. Memangnya mau kemana?"
"Di apartemen saja."
"Jadi, berdua hanya diapartemen merayakan ulang tahunmu?" ulangku menyimpulkan permintaannya. Deviana mengangguk mantap.
"Baiklah. Apa perlu kue dan semacamnya?"
Deviana tergelak mendengar perkataanku. Dia menggeleng beberapa kali. "Astaga, apa kau tidak pernah memberi kejutan?"
Aku hanya menggaruk tengkukku malu. Sudah lebih sepuluh tahun melakukan itu, mau bagaimana?
"Baiklah. Aku yang mempersiapkan. Yang penting kau datang."
Aku menaikan sebelah alisku menatapnya. "Itu terdengar sangat spesial."
"Untukmu, bos dan sahabatku," ucapnya sambil mengulas senyuman.
"Aduh, seandainya aku bisa menyiapkannya untukmu."
"Kau lupa dengan EO?"
Aku menepuk jidatku. "Kau benar. Jangan melakukan apapun, biar aku saja yang mengurus."
Deviana memiringkan kepalanya kesebelah kanan dan tersenyum manis. Aku hanya mengangguk mantap dan mulai berfikir EO mana yang akan kupakai jasanya.
***
Ternyata bekerja sama dengan event organizer dalam satu hari itu tidak bisa. Mereka menetapkan 5 hari sebelumnya untuk persiapan pesta. Akhirnya, pesta terpaksa dibatalkan. Setidaknya aku membawa kado ini untuknya.
Aku menggesek kartu di lubang kunci. Perlahan membuka pintu itu dengan mengucapkan 'aku pulang!' dengan lantang. Semuanya terlihat sama, tidak ada yang spesial diruang tamu. Bingung, aku beralih ke dapur. Tetap sama saja. Kosong. Mungkin dia ada dikamar.
Aku pergi ke kamarnya untuk memeriksa. Baru pertama kali masuk, wangi parfumnya langsung menyeruak ke indra penciumanku. Tapi yang membuatku bingung adalah gorden kamarnya yang tertutup rapat dan lampu kamarnya yang mati. Kuraba dinding sebelahku mencari kontak lampu dan menghidupkannya. Tapi ternyata sama saja, sepi. Tampaknya Deviana belum juga pulang. Aku mengangkat bahu ringan, lebih baik selagi menunggunya aku mandi dulu.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan dan tanda kedatangan Deviana tidak juga datang. Sekarang aku semakin penasaran kemana perempuan itu. Tidak seperti biasanya dia pulang malam. Biasanya Deviana langsung pulang ke apartemen jika kantor usai, atau beberapa kali terlambat pulang sejam dua jam untuk membeli bahan makanan. Tapi ini sudah melampaui waktu biasanya.
Aku meraih ponsel di meja ruang tamu, tepat dimana aku sekarang sedang tiduran di sofa menunggu Deviana datang. Ku cari nomor ponsel Deviana di log phone karena aku tadi siang sempat menghubunginya untuk mengabari kalau aku akan datang terlambat ke apartemen ini. Dengan cepat, ku tekan tombol hijau dilayar dan mendekatkan ponsel ketelinga.
Satu panggilanku tidak dijawab Deviana. Ku ulangi sekali lagi, sekali lagi. Dan dipanggilan kedua ini, panggilanku disambut.
"Ya? Siapa?"
Aku mengernyit. Suaranya terdengar berat seperti suara pria. Jelas ini bukan suara Deviana.
"Maaf, apa ada Dev, hm, maksudku Sandra?" tanyaku memastikan.
"Oh ya, Sandra sedang ke kamar mandi. Maaf ini dengan siapanya? Pacarnya kah?" tanya pria itu.
"Ini dengan temannya. Anda siapa?"
"Saya.." Perkataan pria itu terpotong karena selanjutnya hanya hening. Entah apa yang terjadi, lalu berubah dengan suara Deviana. "Ada apa?"
Aku merasa sedikit lega mendengar suaranya sampai-sampai aku baru menyadari menghembuskan nafas lega. "Aku kira kita ada janji di apartemen."
"Ah ya! Tunggu aku. Aku sampai dalam dua puluh menit!"
Tanpa menunggu jawaban dariku, Deviana mematikan sambungannya. Tampak dia segera menuju ke sini.
***
"Vick."
Kurasakan pipiku ditepuk ringan oleh tangan yang halus. Aku mengernyit sebelum membuka mataku. Wajah Deviana muncul pertama kali.
"Maaf aku membuatmu menunggu," ucapnya dengan nada menyesal.
Aku menarik tubuhku untuk duduk dan bersila diatas sofa. Deviana yang tadi duduk bersimpuh dilantai, mengambil tempat di sofa tempat kakiku tadi berada.
"Kau sudah makan? Aku akan memasak untukmu," ucapnya lagi. Dia menatapku dengan wajah yang masih takut kumarahi. Akhirnya aku menggeleng.
"Pesan saja. Haruskah aku menunggumu masak lagi?"
Deviana mendengus. "Baiklah Pak."
Deviana bangkit. Dia menuju telefon apartemen dan menghubungi entah restoran mana. Dia menyebutkan jenis makanan cepat saji seperti burger dan ayam goreng. Selesai menelfon, dia kembali ke sofa, duduk dihadapanku.
"Jadi, kau benar-benar memesan fast food?" tanyaku dengan satu alis naik dan senyum tertahan.
"Hanya itu yang terpikirkan agar makanannya datang cepat. Kenapa? Kau tidak suka?"
"Apa saja lah. Oh ya, aku punya sesuatu untukmu." Aku menoleh ke kamarku. "Ambil di kamar. Di samping lemari."
"Kado untukku?" tanyanya penuh percaya diri. Aku tertawa menanggapinya.
Deviana terlihat senang. Dia bergegas ke kamarku. Mencari kado yang ku maksud. Sedangkan aku menunggunya di sofa ini.
Teriakan Deviana muncul dari dalam kamarku membuatku terkejut dan bangkit dari sofa. Kenapa? Apa da tidak suka?
Aku menuju kamarku yang dibiarkan terbuka oleh Deviana. Dia masih berdiri di samping lemari itu.
"Kenapa An?" tanyaku ikutan panik.
"Lucu sekali!" serunya sambil membungkuk. Deviana memgambilnya dan membawanya kepelukannya. Dengan senyum yang merekah, Deviana membawanya kehadapanku.
"Bagaimana bisa kau memikirkan anjing untuk kadoku?" tanyanya penasaran. Tangannya mengelus kepala anjing berras Cihuahua itu.
"Kau suka?" tanyaku lagi tak henti tersenyum karena senyum Deviana yang menular.
Deviana mengangguk. "Tentu. Dia bisa menjadi temanku disini."
"Baguslah. Kau ingin menamainnya?"
"Ini betina atau jantan Vick?"
"Katanya betina."
Deviana tersenyum. Diangkatnya anjing kecil itu kedepan wajahnya dan mengucapkan nama anjing itu yang mungkin baru saja terlintas di kepalanya. "Meggy!"
Aku tertawa. "Yang benar saja. Itu seperti nama manusia."
Deviana mencibir. "Aku pernah mengkhayalkan nama itu untuk anakku. Lucu sekali tau!"
"Terserah kau saja."
***
Aku memandang Deviana yang sedang membersihkan make upnya di depan cermin. Dia mengusapkan kapas ke wajahnya dan lehernya yang sudah diberikan cairan entah apa itu. Setelah merasa wajahnya bersih, Deviana berdiri dan membuang kapas-kapas yang dipakainya ke tong sampah kecil di depan walking closet. Dia berbalik, menatapku. Sambil tersenyum, dia melepas ikat rambutnya.
"Kenapa menatapku sedari tadi?" tanyanya. Tanpa berniat melepaskan tatapanku, aku balas tersenyum.
"Aku hanya penasaran."
"Penasaran?" Deviana mendekat. Dia naik keranjang. Menarik tubuhnya ketengah ranjang untuk bertemu denganku. Aku masih menopang kepalaku dengan sebelah tangan, masih menghadapnya.
"Siapa pria ya mengangkat telfonku tadi."
Deviana yang tadi diposisi yang sama denganku, berubah menjadi telentang. Matanya menatap langit-langit kamar. "Oh, itu. Teman lama. Kau tau, semacam reunian."
"Kau tidak mengatakan padaku sebelum pergi."
Deviana terkekeh kecil. "Tadi itu tiba-tiba. Aku saja tidak tau mereka akan mengajakku bertemu. Ternyata, suprise kecil-kecilan."
Aku tersenyum. Ikut telentang disebelahnya. "Oke. Aku mengerti."
Deviana menoleh. Menertawakan entah apa yang menurutnya lucu. "Kau seperti suami yang cemburuan tau!"
Aku menaikan sebelah alisku. "Aku hanya penasaran."
"Ya ya, aku percaya." Deviana masih tersenyum saat tangannya meraba nakas disebelahnya, mematikan lampu tidur yang remang. Lalu, dia menarik selimut keatas tubuh kami dan meletakan kepalanya diatas bahuku. "Matikan lampunya. Tidur."
Aku mengangguk samar. Kuraba lampu dan mematikannya. Deviana semakin rapat untuk mencari kenyamanan ditubuhku. Aku merengkuhkan tanganku dipinggangnya dan ikut tertidur.

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang