Part 2

13.2K 412 4
                                    

Malam minggu datang, terbitlah ceritaa!!
Happy satnite jomblo!! (Yang sempet baca ini sih biasanya jomblo)

Pertemuan keluarga merupakan salah satu hal yang aku hindari dan kutunggu disaat yang bersamaan. Alasannya hanya satu, karena aku akan bertemu wanita itu. Dia, yang pernah menjadi kekasih, pacar dan calon istriku dulu. Tapi sekarang, dia sudah menjadi ibu dari dua orang anak yang sangat lucu-lucu dan sekarang memanggilku Om Vicky.
Aku masih ingat bagaimana hari pernikahan kami berubah kacau saat aku menyuruhnya untuk pergi bersama pujaan hatinya. Aku tau saat itu aku bodoh karena melepaskan cintaku. Tapi aku merasakan kebenaran saat kuberikan tangannya pada pria yang dicintainya, apalagi mereka sudah saling mencintai. Aku bukannya tidak tau saat mereka diam-diam bertemu dibelakangku, pergi keluar kota dan menjalin cinta kembali. Aku hanya berdiam menunggu sang wanita itu kembali menoleh padaku. Sialnya, dia tidak bergeming. Hingga malam sebelum pernikahan aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya.
Dihari pernikahan itu, aku yang menghubungi pujaan hatinya yang tidak berniat datang keacara kami untuk membawa wanita itu lari dari pernikahan kami, dari kehidupanku. Dihari itu juga aku yang mengklarifikasi seluruh kekacauan yang kubuat pada keluargaku, keluarganya. Untunglah, orang tuaku merupakan orang tua yang sangat pengertian. Mereka membiarkan aku memutuskan karena hidupku kedepannya adalah milikku.
Tapi sayang, aku belum juga bisa menemukan wanita lain yang bisa merebut hatiku. Hatiku masih bertengger disini, di wanita yang sedang bermain dengan anaknya itu.
"Bang." Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan menemukan adik perempuanku satu-satunya sedang menggendong keponakan perempuanku yang baru berumur dua tahun. Bayi itu sedang tertidur dipelukan mamanya.
"Janganlah kau melamuni dia terus bang," ucapnya bersamaan dengan pantatnya yang duduk disebelahku.
"Aku tidak memikirkannya," jawabku berbohong. Tapi aku tau adikku ini mengerti.
"Kau sudah 35 tahun. Seharusnya juga sudah menggendong anakmu sendiri. Lihat, keponakanmu sudah tiga."
Aku mendesah pelan. Benar, dua anak darinya dan seorang anak dari adik laki-lakiku yang menikah dua tahun lalu. Beruntungnya, mereka menikah dengan orang-orang yang mereka cintai. Sedangkan aku tidak akan bisa. Karena wanita itu sudah bersama orang lain.
"Aku pria. Bisa menikah diumur berapa saja Tir," jawabku.
Adikku, Tiara, menghela nafas saja melihatku. Mungkin dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi menghadapiku yang keras kepala.
"Om Vicky, tangkap!" teriak bocah kecil yang mengarahkan bola kastinya kepadaku. Dengan sigap aku menangkap bola itu.
"Lempar ke Abi Om!" teriaknya lagi. Aku bangkit meninggalkan Tiara sendiri menuju kedekat sang bocah kecil.
"Mau main bola tangkap?" tanyaku ketika berada didepannya. Dia mengangguk kencang. Lalu aku menoleh pada ibunya. Dia hanya tersenyum padaku.
"Aku akan membantu yang lain masak," katanya masih dengan suaranya yang membuatku terpukau tiada henti. Aku mengangguk. Lalu dia tersenyum lagi dan berlalu dari hadapanku.
"Ayo Om, lempar!" teriak bocah kecil, anak pertama wanita itu yang berumur sepuluh tahun, Abimayu.
"Oke, tangkap ya!" kataku setelah mengalihkan fokusku sepenuhnya pada anak ini.
***
Aku sedang dalam kendaraan bersama orang tuaku yang kini menginjak umur hampir kepala tujuh. Hanya bertiga dengan mereka kembali kerumah, karena Tiara dan Fajar kembali bersama keluarga mereka. Aku masih setia pada kedua orang tuaku, masih bertempat di atap yang sama selama masa sendiriku ini.
"Vicky, bagaimana?" tanya Mama yang duduk di jok belakang. Aku meliriknya dari kaca spion. Wanita itu sudah telrihat tua dengan keriput dimana-mana.
"Bagaimana apanya ma?" tanyaku balik.
"Menantu mama. Kau ingat umur mama sudah berapa Vick? Mama sudah tua, mau lihat kau cepat-cepat punya istri, menggendong anak. Sudah ketemu?"
Aku mendesah. Selalu pembicaraan ini yang muncul kepermukaan jika mama kembali dari pertemuan keluarga itu. Makanya, sering sekali aku absen mendatangi acara itu untuk menjauhi pertanyaan mama ini dan sekaligus menjauhi wanita yang masih aku cintai.
"Apa lagi yang kau tunggu nak? Ingat, dulu kau yang melepas Nabila dan menyerahkannya pada Billy. Jangan kau menjadi manusia yang berhati baja seperti itu. Ikhlaskan, karena itu pilihanmu," nasehat mama lagi.
"Benar kata mamamu Vicky. Kau sudah 35 tahun, sudah pantas menikah. Papa dan Mama sebentar lagi menginjak tujuh puluh tahun dan kau masih memikirkan Nabila?" Kali ini Papa yang disebelahku yang bersuara. Ini merupakan suatu tekanan bagiku karena papa juga ikut berbicara masalah ini. Selama ini papa hanya diam mendengarkan mama yang berceloteh panjang lebar tentang ini. Aku bahkan hampir tidak pernah menanggapi mama lagi, tapi jika papa yang sudah bicara. Aku tidak bisa berkutik.
"Awal tahun depan, papa ingin melihatmu menikah. Papa sudah ada wanita yang mau berjodoh denganmu."
Kali ini aku tersentak dan refleks menolehkan kepalaku pada papa. Papa hanya menatapku datar sedangkan aku jelas-jelas memberikan penolakan dari sikap tubuhku.
"Dia anak rekan kerja papa. Dia masih berkuliah di London mengambil magister dalam bidang kesehatan. Tiga bulan lagi dia akan wisuda," ucap papa mengabaikan tatapanku. "Jika saat itu kau belum juga membawa seseorang pada papa dan mama, papa terpaksa membawamu kesana untuk bertemu dengannya sekaligus melamarnya di negara ayahnya itu."
"Tapi, Pa.."
"Papa dan Mama sudah sepakat Vicky. Kami tidak bisa menunggu lama lagi. Lagian, cinta bisa berkembang saat kau mulai terbiasa. Banyak orang yang berhasil dengan perjodohan," potong mama.
Aku menelan ludah susah payah. Kalau sudah begini, aku bisa apa?
***
"Saya rasa cukup wawancara hari ini. Kami segera menghubungi anda jika anda diterima," ucapku tegas pada pria didepanku. Dia berdiri, aku pun berdiri. Dijabatnya tanganku dengan mantap dan mengeluarkan senyumnya yang sempat kacau tadi. Barulah tampak kelegaan diwajahnya setelah aku mengucapkan kalimat itu. Dia permisi dan berlalu dari ruanganku.
Seorang wanita memakai blazer cream, rok span selutut coklat dan sepatu hak tinggi berwarna cream, masuk kedalam ruanganku. Aku mendesah lelah menghadapi wawancara sepanjang ini.
"Aku sudah katakan padamu kalau bagian internal saja yang mengurus wawancara, tapi kau masih saja bersikeras untuk mengambil alihnya," ucapnya dengan nada yang tidak bisa dikatakan lembut. Di letakannya satu map berwarna kuning di mejaku.
"Direktur utama mengamanahkannya padaku. Aku segan untuk menyuruh orang lain mengerjakannya. Apalagi menurutku, aku bisa langsung menilai apakah karyawanku nanti akan benar-benar bisa bekerja atau tidak."
Wanita itu menggeleng. "Terserah kau sajalah, direktur!" ucapnya sarkatis. "Omong-omong, kau sudah menemukan penggantiku belum?"
"Dea, aku tahu kau benar-benar ingin hengkang dari kantor ini. Tapi, tolong jangan bertanya terus setiap kau masuk!"
Wanita itu, Dea yang merupakan sekertarisku, hanya tertawa. "Yah, aku hanya mengingatkan saja bahwa aku tidak bisa berlama-lama lagi bekerja padamu. Suamiku sudah menuntutku untuk berhenti bekerja. Cuma dua minggu lagi aku bisa berada disini."
"Ya ya, mentang-mentang yang baru menikah bulan lalu," ledekku. Dea tertawa lagi.
"Kau pasti akan merasakan hal yang sama kalau menikah."
Aku menaikan alisku menatapnya. "Tapi aku tidak akan menyuruh istriku untuk berhenti kerja."
"Terserah kau saja. Toh aku dengan senang hati resign dari kantor ini walaupun aku tau kau pasti membutuhkanku," ucapnya penuh percaya diri. Aku mencibir lalu mengambil dokumen kuning tadi.
"Lebih baik sekarang kau panggil peserta selanjutnya." Dea mendengus lalu beranjak pergi dari ruanganku.
Dea adalah sekretarisku semenjak tujuh tahun lalu. Dia adalah sekretaris sekaligus sahabat terbaik bagiku. Umur kami terpaut lima tahun. Dia yang berprinsip karir diatas segalanya akhirnya menemukan tambatan hatinya dua tahun lalu. Akhirnya bulan lalu dia menikah, tepat pada ulang tahunnya yang ke 30 tahun.
Aku kembali dari lamunanku karena bunyi pintu kaca ruanganku yang dibuka. Seorang wanita masuk kedalam dan berjalan dengan langkah anggun kearahku.
Mengabaikannya, ku buka dokumen yang diserahkan Dea padaku tadi. Tertera biodata perempuan yang sekarang sudah duduk didepanku ini.
Nama : Sandra Deviana L.
Umur : 28 tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Setelah membaca beberapa poin penting yang membuatku mendesah kecewa karena dari surat lamaran kerja itu kutemukan banyak ketidakpantasan dia bekerja di perusahan ini. Aku menghela nafas sebelum akhirnya menutup dokumen itu.
Perempuan itu kini tengah menatapku. Tapi melihatnya, aku mengalami sejenis dejavu. Seperti aku pernah mengenalnya.
"Baik, silahkan perkenalkan nama anda," ucapku berwibawa. Kutarik punggungku untuk bersandar di kursi empuk hitam ini.
Perempuan itu berdehem. "Nama saya Sandra Deviana. Panggilan saya Sandra. Saya berumur 28 tahun dan masih single. Pendidikan terakhir saya tamatan SMA. Tapi sebenarnya saya pernah kuliah di sebuah universitas di Bandung. Hanya bertahan lima semester saya berhenti."
Aku mengamati caranya bicara. Benar-benar seperti orang yang pernah ku kenal. Tapi siapa?
"Saya hanya ingin bekerja disini. Setidaknya sebagai office girl."
"Apa kau punya pekerjaan lain diluar sana?"
Perempuan itu mundur sedikit dari duduk tegapnya. Gugup, dia menggeleng. "Tidak pak, saya baru saja berhenti dari pekerjaan saya."
"Dimana? Kau punya pengalaman pekerjaan?"
Perempuan itu mengangguk. "Hanya pernah menjadi waiters di Surabaya pak."
Aku tertegun. Surabaya? Ah, kurasa aku mengetahui siapa dia.
"Oh, selain waiters?"
Dia tampak berfikir sebentar. "Tidak ada pak."
Aku tersenyum. Dia jelas terlihat menyembunyikannya.
"Benarkah Devi?"
Pertanyaanku barusan berhasil membuatnya melotot dan terhenti sejenak. Beberapa detik kemudian dia mengerjap tak percaya.
"Begini pak, mungkin anda salah satu klien saya yang tidak saya ingat. Tapi, saya memang pernah bekerja sebagai itu. Dan akan terus begitu. Saya ingin melamar pekerjaan disini untuk bekerja siang hari. Dan setiap akhir minggu saya kembali kesana," jawabnya tanpa ragu. Patut kuacungi dua jempol atas kejujurannya.
"Maaf nona, perusahaan kami tekan kontrak. Jika sudah bekerja pada kami maka tidak ada bekerja pada yang lain."
"Oh, kalau begitu, maaf pak. Mungkin saya undur diri. Saya rasa menjadi office girl tidak akan cukup memenuhi kebutuhan saya," ucapnya seraya bangkit berdiri.
"Tenang nona. Bagaimana jika kau bekerja disini dengan gaji yang lumayan tanpa bekerja lagi diluar sana?"
Sandra atau Devi itu, terlihat berfikir. Dia tidak menjawab kata-kataku dan hanya menatapku dalam. "Saya tidak tau apakah penawaran anda benar-benar baik untuk kelangsungan hidup saya. Saya akan memikirkannya. Tapi maaf, jika anda meminta saya berhenti dari pekerjaan saya, saya harus berifkir dua kali."
Aku berdiri. Menyejajarkan tubuhku dengannya. Kali ini aku bisa menebak bahwa dia memakai sepatu hak tinggi karena tingginya mencapai mataku.
"Baiklah nona. Kami akan memberikan panggilan jika kau memiliki peluang kerja disini."
Sandra atau Devi membalas jabatan tanganku. Aku tersenyum tapi dia tidak mengindahkannya. Setelah melepaskan tangannya dariku, dia langsung berbalik dan keluar.
Aku kembali duduk. Meregangkan tubuhku yang rasanya lelah sekali. Dea kembali masuk dengan dokumen baru.
"Stop. Aku butuh istirahat satu jam. Tolong beritahu peserta yang lain," ucapku arrogant. Dea mendesah dan tubuhnya yang semula masuk dengan tegap berubah menjadi gontai. Dia berbalik keluar ruanganku. Tapi sebelum tangannya menyentuh pintu, aku segera mengabarkan beritanya.
"Aku sudah menemukan penggantimu."

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang