Part 30

9.6K 317 5
                                    

Membosankan!
Satu kata yang mewakili hari-hariku akhir-akhir ini. Jelas-jelas aku menolak pingitan dengan sangat, tapi ternyata si calon suami yang malah sibuk dengan pekerjaannya. Katanya pingitan dimulai dari seminggu menjelang menikah, lah ini sudah hampir dua minggu calon suamiku itu tidak memunculkan batang hidungnya dihadapanku. Dasar, sialan kuadrat!
Setelah hari penentuan pernikahan kami, memang daddy yang akhirnya mati-matian mempersiapkan pernikahanku. Dari gedung pernikahan di hotel milik keluarga, cathering milik tante, wedding organizer kenalan daddy dan wedding dress dari keluarga Vicky. Oh jangan lupakan undangan yang cukup mewah terbuat dari kayu jati yang dibentuk sedemikian rupa indah sehingga bisa dijadikan pajangan dirumah-rumah, yang dibuat khusus untukku dan Vicky oleh teman daddy. Undangan itu sudah tersebar seminggu kemudian dari hari penentuan pernikahanku. Tidak tanggung, hampir dua ribu undangan yang disebarkan, yang memang kebanyakan kenalan daddy. Kata Caesar, dulu saat dia menikah daddy juga memberlakukan hal yang sama padanya, jadilah aku hanya mengikuti keinginan daddy tanpa membantahnya.
Saat membagikan undangan, Vicky dengan setia menemaniku membagikannya pada orang-orang yang ku kenal. Terutama pada orang-orang di Surabaya yang banyak berjasa atas diriku yang sekarang. Dua hari kami menghabiskan waktu disana tanpa henti menuju satu rumah kerumah yang lainnya. Hingga saat malam, kami sama-sama tepar dan tidak sekalipun memiliki niat untuk berolahraga malam. Ya, walaupun kegiatan penuh dua hari itu mendapat teguran dari Vicky, mama, daddy, Caesar dan Farah tentang kandunganku, tapi aku lebih bersikeras lagi untuk memberikan undangan itu sendiri, langsung pada orangnya. Aku meyakinkan aku akan tetap baik-baik saja karena mengkonsumsi vitamin secara teratur.
Meggy, anjing chihuahua yang kami pelihara di apartemen, yang sekarang sudah ku bawa kerumah karena takut tidak terawat karena kesibukan Vicky, menjilati ujung jemari kakiku membuatku menoleh. Malas-malasan aku menarik tubuhku untuk bangkit dari tidur-tiduranku dan mengangkatnya kesebelahku.
"Ada apa Meg?" tanyaku. Meggy hanya menatapku sambil menggoyangkan ekornya. Dengan ogah, ku alihkan pandanganku dari Meggy ke jam dinding yang kini menunjukkan pukul dua siang.
"Sejak kapan jam itu menunjukkan pukul dua Meg?" tanyaku tolol. Meggy masih diam sambil menjilati tubuhnya.
"Apa aku ada janji hari ini?" tanyaku mengecek ponsel yang terletak di sebelah bantalku. Jaga-jaga Vicky menelfon, yang ternyata belum dilakukannya seharian ini.
Kubuka notes dan mengecek jadwalku. Ternyata hari ini pukul empat sore aku harus fix wedding dressku. Hari ini bajunya siap dan aku akan mencobanya. Yes!
"Baby, kau tinggal dirumah dulu. Mom akan pergi sebentar kebutik. Oke?" Aku menepuk puncak kepala Meggy lalu menciumnya.
Baru saja aku akan melangkahkan kaki turun dari ranjang, ponsel yang kulempar sembarang diranjang berbunyi. Bunyi khas hanya milik deringan panggilan Vicky.
Aku cepat-cepat menyambarnya sebelum panggilan itu berakhir. Kalau sudah berakhir, Vicky tidak akan mengulang untuk menelfonku lagi.
"Ya sayang?" sapaku penuh bahagia.
"Hari ini kau kebutikkan?" tanyanya dingin. Sepertinya dia masih didepan komputer dan sibuk. Sebenarnya aku cukup kasihan mengingat dia masih tidak mau memiliki sekretaris, hingga baru seminggu ini dia mau menerima sekretaris pilihanku, sehingga dia mengerjakan tugasnya sendirian.
"Iya. Kau ikut?" tanyaku penuh harap.
"Sorry, Ana. Masih banyak pekerjaan."
Aku mencebik. "Kau tidak merindukanku apa? Ini sudah empat hari tidak bertemu, Vicky!"
"Aku merindukanmu, sayang. Hanya saja tugasku disini menumpuk karena cuti yang akan kita ambil dua minggu. Ingat?"
Hm, kalau dia sudah memanggilku seperti itu, tandanya dia sedang serius dan tidak ingin aku merajuk. Memang akhir-akhir ini kami sudah terbiasa dengan panggilan sayang seperti itu, aku bahkan lupa siapa yang memanggil seperti itu duluan.
"Walaupun nanti malam?" tanyaku lagi.
"Ana, please.."
"Sudahlah, menikah saja dengan pekerjaanmu!" Kumatikan sambungan telefon. Peduli apa dengan dia yang akan marah seharian!
Kulempar lagi ponselku keranjang setelah menghidupkan flight mode-nya. Siapa tau Vicky mau minta maaf dan akhirnya mau bertemu denganku di butik! Ha!
***
Farah memang sahabat terbaik! Pokoknya dia terbaik-terbaik dari siapapun! Bridemate yang akan jadi pendamping disebelahku nanti. Lihat saja, walaupun dia harus menggendong Carra seharian, dia tidak terlihat letih menemaniku hari ini. Yang ada dia malah masih tersenyum ketika ada kekurangan di tepi gaunku.
"Sebaiknya kita makan dulu, aku takut bayimu kelaparan," ucap Farah sambil mengelus bahuku yang sedari tadi turun karena kecewa dengan sedikit sentuhan yang kurang itu. "Aku hanya mengingatkan kalau sekarang sudah pukul tujuh dan kau belum makan."
"Iya, tinggalkan saja Sandra. Tante jamin besok pagi kau sudah melihat gaun ini beres," ucap Tante Olivia pemilik butik, yang tak lain adalah ibu Nabila, istri Billy.
Aku akhirnya mengangguk. Ini bukan salah Tante Olivia sebenarnya, tapi kesalahan karyawannya. Ini saja Tante Olivia sampai harus kesini untuk melihat pekerjaan karyawannya.
"Titip ya Tante. Lusa aku sudah menikah soalnya," ucapku menegaskan jadwalku.
"Iya sayang, tante jamin," jawabnya dengan lembut. Dengan begini, aku bisa percaya hasilnya pada tante.
Aku akhirnya bangkit bersama Farah dan Carra digendongannya. Kami keluar butik menuju salah satu cafe terdekat untuk mengisi perut kami yang sepertinya keroncongan. Aku memesan makan berat untuk kukonsumsi malam ini. Takut gizi untuk anakku nanti kurang.
"Carra sepertinya lapar sekali," ucapku melihat bayi itu tengah berusaha melahap asinya sekuat tenaga.
Farah menoleh dan tersenyum. "Sebentar lagi, kau juga akan seperti ini."
Aku ikut tersenyum padanya. "Akhirnya ya, aku beruntung dapat kedua-duanya."
Farah terkikik geli. "Vicky dan bayimu?"
Aku mengangguk mantap. "Benar sekali!" Farah tertawa bersamaku, membuat Carra menangis sebentar. Farah mempelototiku lalu menyuruhku diam.
"Eh omong-omong, Caesar apa juga sesibuk Vicky saat kalian akan menikah?" tanyaku memastikan. Farah menahan jawabannya karena pesanan kami datang. Setelah semua makanan terhidang, Farah meletakan Carra yang tampaknya mulai tertidur ke kursi kecil yang selalu dibawa kemana-mana oleh Farah untuk jaga-jaga saat ini terjadi. Selanjutnya Farah memasang seat belt Carra dan membiarkan bayi itu tidur dengan tenang.
"Beberapa hari iya, tapi tidak sesibuk Vicky sekarang ini," jawabnya. Kini Farah siap-siap memakan makanannya.
"Jadi menurutmu Vicky itu berlebihan tidak sih?" tanyaku setelah kunyahan pertama.
"Tidak. Dia pasti punya deadline sendiri yang ditargetkannya agar dapat libur panjang bersamamu."
"Uh, andaikan Vicky adalah pemilik perusahaan itu, pasti dia tidak perlu mengerjakan tugasnya dengan deadline setajam ini."
Farah mencebik. "Setelah dia menjadi bagian Lampard, kurasa beberapa perusahaan akan menjadi atas namanya."
"Crap! Aku tidak ingin dia memiliki perusahaan banyak dan memikirkan semua perusahaan itu seperti Caesar. Bisa-bisa Vicky banyak kerutan didahinya seperti suamimu itu."
Farah memutar bola matanya. "Suamiku itu kakak kandungmu Sandra!"
"Whatever! Aku akan menego daddy untuk satu perusahaan saja yang diberikan pada Vicky."
"Sialan kau, Sandra! Kau bisa melakukan itu. Kasihan suamiku."
Aku terkikik. "Setidaknya Caesar sudah terbiasa menjadi pengusaha dan orang kaya."
"Terserahmu lah nak," ucap Farah akhirnya sambil mengangkat bahunya. Dia sudah malas mendebatku.
Aku tersenyum menang lalu memakan makananku dengan cepat. Laparnya berlipat ganda, ini aku dan cabang bayiku.
***
"Sudah ada dihubungi balik?" tanya Farah ketika melirikku yang mengecek ponsel. Aku mendesah menarik kepalaku bersandar. Memang sejak tadi, yang kuharapkan tidak juga muncul. Kukira beberapa pesan akan masuk saat aku mematikan mode terbang ponsel ini. Tapi nyatanya? Nihil.
"Makanya jangan terlalu banyak harap," ucap Farah terdengar seperti ledekan bagiku.
"Uh, mentang-mentang yang sudah menikah, lakinya pasti pulang terus."
"Oh iya dong. Malamnya ngeloni terus sih."
"Sialan, jangan panas-panasin aku Farah!"
"Oke!" ucapnya sambil membuat gerakan mengunci bibir.
Lalu keheningan melanda kami hingga mobil masuk keperkarangan rumah dan mesin dimatikan. Aku keluar mobil bersamaan Carra yang sudah ku gendong sebelum keluar. Tanpa menunggu Farah, kubawa Carra ke kamarnya dilantai dua. Meletakan bayi itu di ranjang kecilnya dan melihatnya bergerak mencari kenyamanan. Ah, lucu sekali!
"Jangan dibangunkan!" bisik Farah padaku setelah beberapa lama aku hanya memandangi bayi mungil ini.
"Tidak. Aku hanya menontonnya tidur."
"Ya udah, tinggalkan saja. Aku malah takut melihatmu memandangnya seperti itu layaknya penyihir jahat yang mau menyihir Aurora."
Aku mendelik memelototinya. "Kejam kau!" Kuhentakan kaki lalu berlalu dari kamar Carra. Kudengar Farah terkikik geli melihat tingkahku ini.
Aku menuju kamarku yang berada beberapa kamar dari kamar Carra. Masuk kedalamnya dan menghidupkan lampu kamarku yang gelap sama sekali. Ketika mataku menangkap cahaya, aku terkejut dengan apa yang ada didepanku.
"Meggy! Apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan suara melengking. Kulihat Meggy menegakan bulunya ketakutan. Dia lalu berlari ke kasur kecilnya di bawah ranjangku.
Aku berjinjit menuju tempat Meggy berdiri tadi. Aku mengernyit melihat apa yang terjadi. Meggy mengotori karpet kamarku yang terbuat dari beludru. Tumben-tumbennya Meggy pup sembarangan.
Aku mendekati Meggy dan mengelus kepalanya membuatnya kembali tenang. Dia tampak seperti minta maaf padaku membuatku ikut menyesal telah memarahinya.
"Jangan ulangi lagi! Aku sudah mengajarkan toilet training padamu Meggy. Kau harus menerapkannya, oke?" Ku tepuk kepalanya dua kali lalu bangkit berdiri. Aku ambil tisu sebanyak-banyaknya dan memungut kotoran Meggy lalu membuangnya ke closetku. Setelahnya, aku kembali ke kamar dan menggulung karpet itu. Besok pagi akan ku minta bibi untuk laundry karpetnya.
Aku baru saja menghempaskan tubuhku keranjang ketika kulihat tasku yang kuletakan di sofa. Kembali berdiri, kuambil tas itu dan mencari ponselku. Tapi tidak ada didalamnya. Dimana?
Astaga, tinggal di mobil Farah!
Aku segera keluar kamar menuju kamar Farah untuk meminta kunci mobilnya. Kamar Farah itu persis disebelah kamar Carra. Baru ketukan kedua, Farah membuka pintunya.
"Apa sih? Aku baru saja mau sayang-sayangan sama Caesar!"
"Euh, aku tidak mau menganggu. Aku hanya mau pinjam kunci mobilmu. Rasa-rasanya ponselku tinggal disana."
"Tunggu, jangan masuk!" Farah memeperingati. Dia berbalik dan tak berapa lama kembali dengan kunci mobilnya.
Aku segera menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
"Mau kemana?" suara itu mengintrupsi kegiatanku membuat aku dan Farah menoleh ke asal suara, tepat di ujung tangga.
"Ow, ada yang diapeli calon suami. Udah ya, aku masuk dulu," ucapnya sambil melangkah masuk kedalam kamar dan menutup pintu.
Kini aku tinggal sendiri menatap pria yang berdiri diujung sana dengan buket bunga di tangannya. Dia tampak kusut dengan pakaian kerja yang berantakan. Lengan kemeja digulung sampai siku, baju yang tidak serapi biasa, dan rambut yang lumayam acak-acakan. Aku tertegun melihat bunga cantik ditangannya.
Aku merindukannya. Sialan!
"Hei, miss you," ucapnya lembut sambil berjalan kearahku.
Aku mengerjap menyadari ini bukan mimpi. Tadi Farah juga melihatnya berada disini dan dia itu nyata, astaga, rinduku melimpah-limpah.
"More," jawabku dengan langkah pelan kearahnya juga. Tapi kakiku tak mau bekerja sama dengan otakku. Kaki ini malah berlari untuk segera berada dipelukan priaku satu-satunya ini.
"Jangan berla.."
Hap! Aku berhasil melompat kepelukannya dan dia dengan cepat menopangku.
"Really miss you hun!" ucapku lagi dengan tangis yang tidak bisa kubendung lagi.
"Sudah, jangan nangis. Kok cengeng?" tanyanya sambil mengecup puncak kepalaku berulang kali.
"Kangen berat, sayang. Kau mengabaikanku beberapa hari ini," kataku sambil bergelayut manja.
"Sudah selesai. Mulai besok aku bisa menemanimu kemana pun. Senang?"
Aku melebarkan kelopak mataku. "Serius? Besok kau sudah tidak bekerja?"
"Serius sekali," jawabnya sambil mengecup bibirku ringan. "Ini bunga permintaan maafku."
Vicky mengarahkan bunganya padaku yang kuterima dengan acuh tak acuh. "Sebenarnya tanpa bunga ini pun aku pasti akan memaafkanmu," jawabku sambil memukul dadanya pelan dengan bunga itu.
"Formalitas."
"Jangan menggunakan profesionalmu didepanku Pak Vicky. Aku bisa lebih dari itu," ucapku sambil berjinjit lalu menciumnya sekilas.
"Aku suka sikap profesionalmu." Vicky mengedipkan matanya padaku. Aku terkikik geli. Selanjutnya kuapit lengan kirinya dan membawanya menuju kamarku.
"Bukankah kau akan pergi?" tanyanya saat kubuka pintu.
"Hanya akan mengambil ponsel yang tertinggal dimobil Farah. Tapi sekarang tidak penting, kau sudah disini."
Vicky tersenyum, dia menggapai kepalaku dan mengecup keningku. "Oh Meggy! Come to daddy!"
Meggy yang melihat Vicky segera berlari kearahnya. Seperti mengulang kejadianku diluar tadi, Meggy meloncat kepelukan Vicky. Aku tertawa mengingat aku seperti anjing juga.
"Kau akan menginap hari ini?" tanyaku penuh harap.
"Dan membuat daddymu membatalkan pernikahan kita? Tidak."
Aku mendesah kesal. "Aku sudah merindukanmu dan kau tidak ingin mengeloniku? Malam ini saja."
Vicky menggelengkan kepalanya. "Lebih baik tahan dua hari lagi setelah menikah, Ana."
"Baiklah." Aku mengerucutkan bibirku tanda menyerah.
"Jangan seperti itu. Kau kekanakan sekali." Vicky tergelak.
"Jadi kenapa kau kesini? Hanya minfa maaf?"
"Tidak. Karena aku merindukan ibu bayiku."
Oh, sweet.
Aku tersenyum lalu mendekatinya. Mengalungi lenganku dibahunya. Vicky paham, tatapannya berubah lembut kepadaku. Tanpa menunggu lama lagi, aku menutup jarak diantara kami. Tapi rasanya ada yang aneh. Kenapa bajuku terasa basah?
Kulepaskan ciumanku dengan mata melebar. Vicky menatapku tak mengerti. Lalu aku menurunkan pandanganku kebajuku yang mulai berbau asing. Kemudian beralih pada Meggy yang masih dipelukan Vicky sedari tadi.
"Meggy! Dendam apa kau padaku?"

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang