Bab 17 (Wildest Dream)

7.4K 265 1
                                    

Aku menopang kepalaku pada tangan kiriku yang kujadikan sanggaan diatas meja sedangkan tangan kananku mengetuk-ngetukan pulpen pelan pada lembaran berkas dihadapanku. Sesekali mataku menatap lurus pada direktur utama perusahaan ini, sesekali pada layar besar didepan kami, dan sesekali pada Vicky yang duduk jauh didepanku.
Kami sedang rapat besar akhir tahun. Semacam tutup buku tahun ini. Ini merupakan rapat awal yang akan diadakan lagi beberapa rapat lagi untuk kedepannya. Kami semua duduk di meja persegi panjang yang berisi tiga belas kursi. Kursi utama yang terletak tepat didepan layar diduduki direktur utama perusahaan ini. Enam kursi terdekat dengannya diduduki oleh direktur cabang. Masing-masing direktur pembangunan, direktur transportasi, direktur komunikasi, direktur periklanan, direktur perhotelan, dan direktur agency. Enam kursi selanjutnya diisi oleh sekretaris masing-masing bidang. Kujelaskan sedikit tentang perusahaan besar yang dipegang oleh keluarga Lampard ini.
Perusahaan ini merupakan salah satu perusaan inti yang memiliki enam cabang usaha diantara yang aku sebutkan diatas, bahkan kabarnya akan membuka satu cabang lagi berupa sebuah restoran. Kalau orang-orang biasanya akan menyebut direktur utama kami adalah CEO, tapi beliau sendiri tidak menganggap seperti itu karena menurutnya dia belum merambah dunia dan belum pantas menyandang gelar seperti itu. Walaupun sudah berkembang pesat, Lampard Company masih berputar disekitaran Indonesia.
Kembali pada kenyataan sekarang dimana aku sudah mulai tidak fokus pada pembahasan tentang keuangan perusahaan bidang transportasi, kurasa aku pun tidak peduli. Duduk lima belas menit disini sudah membuatku bosan, bagaimana dengan para direktur itu yang harus melakukan ini setiap bulan atau setiap tahun. Menyebalkan.
Aku melirik Vicky sekali lagi. Tampaknya dia sangat memperhatikan direktur transportasi yang sedang mempresentasikan kinerjanya selama satu tahun ini. Aku tidak tau apa yang dipikirkannya, tapi otakku yang sudah tidak fokus membuatku memutar ulang kejadian semalam, tepat saat dia mengantarku pulang.
***
Aku menatap malas ke jalanan disampingku. Lebih baik aku pulang diantar Benny daripada duduk bodoh dikursi penumpang ini dan mendengarkan dua orang yang tengah dilanda kasmaran. Melihat Angela yang sangat sok-sok romantis pada Vicky membuatku geli sendiri. Hingga aku tidak menyadari mobil berhenti dan Angela turun dari mobil.
"Pindah kedepan!" perintah Vicky padaku tanpa bertanya apa-apa membuatku terkejut. Barulah aku sadar Angela benar-benar tidak ada diatas mobil itu. Aku beranjak pindah ke kursi penumpang depan.
Vicky melajukan mobilnya setelah aku memasang seat belt. Kami membelah jalanan malam dengan diam. Pada perempat jalan ada lampu merah, kami berhenti.
"Kau tau kenapa aku memintamu memberikan kunci padaku?" tanyanya tiba-tiba membuatku menoleh. Ternyata Vicky memang berbicara padaku karena dia sudah menatapku, menungguku menjawab.
"Memangnya apa?" tanyaku tidak peduli.
"Agar dia tidak tau kau membawa mobilku."
Aku mengernyit bingung dengan jawabannya. "Semua orang sudah melihat aku membawa mobilmu ke kantor."
"What?" Vicky membulatkan matanya sempurna. Aku terkekeh geli. "Tapi tenang saja, aku mengatakan bahwa kau meminjamkan karena aku tidak punya kendaraan. Omong-omong kalau kau pulang dengan mobil ini tadi, sewaktu di kafe kau pergi dengan apa? Taksi?"
Kudengar helaan nafas lega dari Vicky. "Baguslah. Tadi aku diantar Pak Danang. Tapi saat aku tau Benny bersamamu dan kalian berangkat sendiri-sendiri, jadi aku berfikir bahwa kau membawa mobilku. Makanya aku meminta kunci padamu dan memerintahkan Pak Danang kembali pulang."
Aku mengangguk-angguk. "Sebenarnya kau tidak perlu melakukan itu," ucapku lagi.
Dia menatapku dengan serius. "Melakukan apa? Bagian aku harus mengantarmu pulang?" Vicky menghembuskan nafasnya. "Aku takut kau diantar Benny pulang, lalu dia tau kau tinggal diapartemenku."
"Aku tidak sebodoh itu," ucapku sambil memutar bola mataku. "Apa pasti akan terus menolak walaupun dia memaksa bagaimana pun. Kalaupun iya, mungkin aku akan berhenti pada rumah lamaku."
"Bagus, jaga rahasia kita. Aku hanya tidak ingin semua orang tau kalau kau tinggal diapartemenku," kata Vicky enteng lalu beralih pada gigi mobilnya untuk maju kembali karena lampu sudah berubah warna menjadi hijau.
Tanpa dia sadari, dia menohokku langsung ke jantung dan aku merasa kecewa. Lebih tepatnya aku merasakan bahwa aku tidak memberikan arti apa-apa padanya. Buktinya dia tidak ingin orang lain tau tentang hubungan kami, walaupun sebenarnya kami tidak memiliki hubungan yang jelas. How poor I am!
Aku membuang pandangan kejendela disampingku. Tampak seluruh bangunan berjalan mundur.
"Kau dan Benny cocok," ucap pria yang mengendari mobil ini lagi. Aku malas menanggapi dan menoleh, jadi kudengarkan saja dia berbicara. "Dia pria baik dan pekerja keras. Dan tampaknya dia memang menyukaimu. Cobalah kau buka hatimu sekarang."
"Susah," gumamku. Tampaknya dia mendengar gumamku karena dia berkata, "awalnya aku juga begitu. Tapi seiring waktu aku akhirnya berusaha membuka hatiku. Makanya aku menerima perjodohan ini, kalau aku masih menutup hatiku mungkin aku tidak akan ke London waktu itu."
Aku memejamkan mataku, takut-takut aku menoleh padanya dan meneriaki bahwa sekarang hatiku sudah terbuka untuknya dan dia tidak peka sama sekali. Kututup mataku rapat-rapat takut air bening itu tiba-tiba jatuh mewakili perasaan hatiku sekarang.
"Kita sama-sama berjuang maju dari masa lalu ya Ana? Kita buka lembaran baru." Kurasakan tanganku disentuh olehnya. Kali ini dia berhasil membuatku menoleh dan mendapatinya tengah memberikanku kekuatan saja karena dia tidak sedang menatapku. Matanya masih lurus kejalanan.
Seandainya dia mengucapkan kalimat tadi dalam artian bersamaku, mungkin aku akan senang. Tapi ini bukan, maksudnya kita itu adalah aku dan dia dengan pasangan kami masing-masing.
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dengan perlahan. "Akan kucoba."
Hanya itu. Pembicaraan kami berakhir hanya sampai disana. Sudah hampir sebulan tidak bertemu, dan aku menjemputnya ke bandara. Tidak ada ucapan rindu. Kami hanya berakhir sampai dia mengantarku ke apartemen dan dia sendiri memilih kembali kerumahnya.
***
"Sandra?" Namaku dipanggil sekali lagi.
Aku sontak terlonjak dari lamunanku dan menatap seluruh orang didalam ruangan. Direktur utama, Pak Caesar, menatapku dengan senyum gelinya, Vicky dengan matanya yang melototiku dan yang lainnya menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.
"Berkas keuangan dari perusahaan pembangunannya, Sandra," ucap Pak Caesar dengan nada halus seperti mengejakannya padaku. Layaknya aku anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Ini semua karena aku melamun. Mungkin Pak Caesar sudah memintanya sedari tadi. Atau mungkin Vicky yang meminta dan aku tidak mendengarkan?
Aku segera mencari berkas yang sudah di tumpuk didalam masing-masing map. Map bertuliskan keuangan ku angkat dan kuserahkan pada Vicky dengan berjalan kearahnya.
Vicky menatapku dengan mata menyipit menilai. Aku menggeleng mengatakan bahwa aku tidak apa-apa.
Sebelum aku kembali duduk ditempat, Pak Caesar berkata lagi, "Sandra, kau bisa ke toilet sebentar untuk mengembalikan fokusmu."
Oh, akhirnya!
Aku mendesah lega, mungkin dengan senyum yang terlalu lebar, aku mengangguk dan segera beranjak dari ruangan itu.
***
"Aku tidak sampai berfikir kau akan melamun disaat penting seperti itu." Vicky berbicara dengan suara lantang diruangannya. Aku yang duduk didepannya hanya berani mendengarkan omelan pertamanya untukku semenjak dua bulan ini aku menjadi sekretarisnya. Kutatap saja ujung kertas didepanku yang kumainkan sedari tadi.
"Cukup ini kali pertama, aku tidak ingin terjadi selanjutnya-selanjutnya," ucapnya lagi. Dia memegang kepalanya dan memijitnya pelan. Aku jadi menatapnya yang mengerang.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku memastikan. Vicky membuka matanya yang sengaja ditutupnya.
"Kepalaku jadi sakit memikirkan perusahaan tahun ini. Entah bagaimana sedikit tidak memuaskan," jawabnya masih berusaha memijit kepalanya.
"Mau kupijitkan?" tanyaku lagi tidak tega melihatnya. Dia menatapku sebentar, tampak ragu.
Tanpa menunggu jawabannya, aku berdiri dan langsung berdiri dibelakangnya. Kusentuhkan jemariku di belakang tempurung kepalanya dan memijit disana. Vicky mengerang, jelas dia mengalami sakit kepala itu.
"Kau terlalu memikirkan pekerjaan," ucapku gemas.
"Tidak. Aku tau ini kesalahanku karena meninggalkan perusahaan beberapa hari. Dan tugasku sekarang menyelesaikan yang terbengkalai."
"Salah sendiri pergi liburan."
"Jangan sirik." Hanya itu tanggapannya. Dia sepertinya menikmati pijitanku yang kini berpindah di tengah dahinya. Sekarang dia menengadah sambil menutup matanya.
"Bagaimana? Enak?" tanyaku memastikan. Vicky mengangguk, dia membuka matanya juga akhirnya. Menatapku sambil terbalik dan dia masih saja terlihat tampan.
"Kau bisa buka panti pijat kalau kau mau," guraunya.
Aku tertawa. "Kau bisa mendapatkan pemijit pribadi kalau kau mau."
"Tentu kau harus menjadi istriku dulu." Mendengar kaliamtnya itu membuatku ingin melompat kepelukannya. Itu bagaikan mimpiku yang selama ini kunginkan.
"Lalu Angela kau apakan?" tanyaku bercanda. Mendengar nama Angela kusebutkan, Vicky langsung menegakan tubuhnya.
"Aku lupa ada janji dengannya sore ini!"
"Duduklah!" Kutekan bahu Vicky yang bangkit perlahan. "Kau pasti masih pusing."
Vicky menghela nafas berat. "Tidak. Aku tidak ingin membuatnya menunggu lama." Vicky kembali berdiri. Dia mengemaskan barangnya dengan cepat.
"Hati-hati," ucapku saat dia keluar ruangan. Vicky mengangguk lalu pergi.
***
Aku berputar lagi didepan cermin untuk ketiga kali kearah kiri. Memerhatikan tubuhku yang rasanya sangat seksi. Aku mencebik. Setidaknya tubuhku lebih bagus daripada Angela itu.
Aku menghadap cermin sepenuhnya lagi. Kutatap wajahku dengan seksama. Alisku asli rapi, bukan alis buatan, tapi kalau berdandan aku tetap melukis alis untuk membingkai wajahku. Mataku bulat dengan bulu mata yang lentik, tak perlu lagi maskara untuk memperpanjang atau membuatnya melengkuk. Hidungku juga termasuk mancung, walaupun tidak semancung artis korea atau orang arab. Bibirku penuh asli, bukan karena ciuman panas dengan siapapun.
Nah, aku bisa menilai diriku lebih cantik dari pada Angela!
Aku mendengus pada bayanganku dicermin. Mengingat Vicky yang kini mungkin tengah bermesraan dengan Angela membuatku kesal setengah mati.
Kukeluarkan baju tidur sutra berwarna merah darah dari lemariku dan segera memakainya. Tubuhku sudah kering rasanya gara-gara sehabis mandi malah berkaca didepan cermin lemari hanya memakai handuk. Ah, biarlah, setidaknya membuatku tidak harus mengeringkan tubuhku dengan handuk yang kini sudah jatuh dikakiku.
Nah lihat lagi! Aku bahkan sangat seksi dengan gaun tidur baruku! Aku tersenyum sambil memainkan alis pada bayanganku di cermin.
Setelah membuka ikatan rambutku, membuat rambutku jatuh di bahuku, aku bergerak ke ipod yang selalu setia menenani malamku akhir-akhir ini. Semenjak Vicky tidak pernah lagi tidur bersamaku, dalam artian yang sebenarnya, aku mendengarkan musik sebelum tidur. Ini juga gara-gara waktu itu Vicky yang mengeloniku dengan nyanyiannya, membuatku mendengar musik mengingatkanku padanya.
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Sambutan ranjang membuatku melayang seketika dan dengan mudahnya membuatku tertidur.
Rasa-rasanya baru beberapa menit aku memejamkan mata, ketika kudengar bel apartemen berbunyi. Aku mengernyit bangun saat aku nenyadari bel itu memang untuk apartemenku.
Aku segera bangkit dan mengecilkan volume musik. Segera aku keluar kamar dan menuju ruang tamu. Anehnya, tidak ada bunyi bel lagi.
Aku memperlambat jalanku ketika memasuki ruang tamu karena pintu utama sudah terbuka dengan perlahan. Hal ini membuatku siaga dan menahan nafas. Siapa tau dia adalah orang jahat kan?
Ketakutan berubah bingung melihat wajah siapa yang muncul dari balik pintu.
"Vicky? Kau kenapa kesini?"
Vicky hanya menatapku panjang. Dari atas sampai kebawah kaki. Melihat tatapan anehnya, aku juga melihat ke tubuhku sendiri. Sialan, aku lupa bahwa gaunku ini sangat mencolok.
Aku berdehem sekali sebelum bertanya lagi, berusaha mengembalikan fokus pria dihadapanku ini. "Kau tidak pulang ke rumah?" tanyaku lagi.
Vicky menggeleng. Dia maju beberapa langkah memasuki ruang tamu dan terus menuju kamarnya sendiri, melewatiku begitu saja.
"Kau terlihat tidak baik-baik saja. Ada apa?" tanyaku yang mengekorinya terus masuk kedalam kamarnya.
Vicky berbalik, hendak menutup pintunya. Aku yang masih berdiri didepan pintu, sontak mundur selangkah. "Pikiranku sedang kacau. Jangan ganggu."
"Masalah apa? Kantor? Atau Angela?"
Vicky yang kutanyai dengan rentetan pertanyaan itu hanya menatapku jengah. Dia memintaku pergi, dengan isarat saja.
"Oke, baiklah, kau memang butuh sendiri sepertinya."
Aku berbalik setelah Vicky menutup pintu kamarnya dengan cepat. Aku masih mendengus kearah kamarku karena pria itu datang bukannya mengucapkan salam atau untuk bertemu denganku, tapi malah karena pikirannya sedang kacau. Sialan!
Aku membanting pintu kamarku sehingga terdengar keras. Langsung menuju ipodku, kuputar musik kencang dengan volume sebesar mungkin. Kalau Vicky memang butuh sendiri, aku tidak akan menerimanya dirumah ini!
Aku menari-nari dengan gerakan cepat sesuai dengan nada yang dihasilkan dj didalam sana. Semakin menghentak musiknya, semakin tinggi lompatan yang aku lakukan. Tidak peduli padanya! Jangan peduli padanya!
"Ana! Hentikan!"
Aku terkikik senang sebelum berbalik menghadapnya dengan wajah polos. Kena kau Vicky!
"Apa? Kenapa?" tanyaku berusaha mengalahkan musik yang berdentum kencang.
Vicky tidak menjawab apa pun, dia malah melangkah karahku dan berhenti tepat dihadapanku. Diraihnya ipod yang kusembunyikan dibalik tubuhku, mematikannya.
"Kau mengangguku," ucapnya akhirnya.
"Kau juga mengangguku," balasku pantang kalah. Kini ku lipat tanganku didada menunjukkan sikap siaga.
"Aku? Menganggumu?" tanya Vicky dengan sebelah alis menukik keatas. Tapi rahangnya masih mengatup keras, mengingatkanku bahwa dia masih dalam emosi.
"Ya, kau menganggu tidurku tadi dan kau mengatakan kalau kau ada masalah dan tidak berbagi denganku. Itu mengangguku!" teriakku didepannya.
Mendengar perkataanku, Vicky tidak menjawab, dia malah mundur dan duduk ditepi ranjang. Bahunya sudah turun menunjukkan dia tidak lagi dilingkupi emosi.
Aku bergerak maju, duduk disebelahnya. "Kau bisa berbagi denganku," ucapku menenangkan. Kuusap bahunya yang dibalut kemeja hitam.
Vicky mengangkat wajahnya dan memandangku dengan lama. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa meneliti wajahnya yang tampak kokoh terlebih dalam umur yang sangat matang ini.
"Keuangan perusahaan kita terganggu. Kau menyadarinya?" tanyanya padaku.
Aku menggeleng lemah antara takut dia menganggapku bodoh dan karena memang aku tidak tau.
"Saat aku mengecek pembukuan, ternyata perusahaan kita yang paling rendah dari perusahaan lainnya," tambah Vicky. Aku mengangguk-angguk paham. Jadi ini masalah persaingan antara bidang Lampard Company?
"Semacam persaingan bisnis antara kalian se-company?" tanyaku memastikan pemikiranku.
"Ya, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Persaingan didalam bahkan lebih besar daripada persaingan dengan perusahaan sebidang. Pasalnya kau tahu sendiri, Lampard Company ini merupakan perusaahan besar terpercaya, jadi selalu memenangkan tender."
"Dan kau yang selalu menang malah memikirkan persaingan internalmu sesama anggota Lampard Company? Lucu sekali Pak Vicky." Aku tertawa sinis sambil menggelengkan kepalaku tidak percaya.
Vicky yang mendapati tanggapan yang tidak sesuai dengan keinginannya hanya bisa memutuskan kontak matanya denganku. Dia menatap sesuatu di lantai, aku tidak tau apa, atau mungkin dia tidak sedang menatap lantai sekarang.
"Ada masalah lain?" tanyaku lagi. Melihatnya seperti ini membuatku gemas dan penasaran.
"Entahlah. Masalah Angela mungkin."
Aku ingin mendengus saat nama itu disebut. Tapi karena Vicky tepat disebelahku, aku lebih memilih untuk menahannya.
"Ada apa dengannya?"
Vicky mengangkat bahu. "Aku pun ragu. Ragu pada diriku sendiri," ucapnya sambil kembali menatapku. Aku balas menatapnya dengan kening yang mungkin sudah berkerut sedemikian rupa.
Aku bangkit. Meninggalkan Vicky yang masih menatapku. Aku menuju ipod, mencari satu musik dan menghidupkannya. seketika kamarku terasa seperti kelab.
Aku berbalik dan tersenyum pada Vicky yang menatapku bingung karena ulahku. Jelas-jelas dia menyuruhku untuk mematikan suara keras itu tadi. Aku berjalan kearahnya, dengan senyum lebar kujularkan tanganku kehadapannya dan berkata, "kadang kau butuh sedikit menggila untuk menghilangkan kebingunganmu."
Vicky awalnya menggeleng. Tipe orang yang tidak suka dugem, tentu saja. Aku meliriknya malas dan akhirnya menariknya begitu saja. Vicky menjulang dihadapanku, aku menyadari tubuh pendekku ini. Mungkin aku hanya sebatas bahunya saja.
Setelah memastikan dia baik-baik saja saat berdiri, aku mulai bergoyang sembarangan. Mulai asal-asalan hingga benar-benar tidak jelas. Vicky tertawa melihatku dan akhirnya dengan kekuatan yang ada kudorong dia agar mau bergerak. Dan aku berhasil.
Musik menghentak membuat kami sama-sama tertawa-tawa melihat tarian aneh yang kami buat sendiri dan lainnya mengikuti. Ini sangat akward jika kulakukan dengan pria lain. Tapi rasanya malah menyenangkan jika dia adalah Vicky. Seperti sekarang ini.
Musik selesai. Aku dan Vicky tertawa sambil ngos-ngosan. Serempak kami merebahkan diri diranjang. Vicky merentangkan tangannya sehingga membuat jarak kami cukup jauh. Aku menoleh melihatnya yang kini menatap langit-langit kamarku.
Musik sudah berganti ke musik lullaby-ku yang mengalun lembut. Aku akan memejamkan mata saat Vicky bangkit. Dia menoleh padaku dan menengadahkan tangannya dihadapanku.
"Dance with me?" tanyanya yang berhasil membuatku cukup terkejut. Tanpa ragu, kuraih tangannya. Vicky menarikku dalam satu sentakan dan masuk kedalam pelukannya. Ini rasa seperti sedang bercinta, kami sama-sama dipenuhi keringat masing-masing dan tidak ada yang memperdulikannya.
"Aku tidak pernah berdansa selain dengan Nabila," ucap Vicky sambil menuntunku kiri kanan. Tangan kanannya memegang tangan kiriku dengan erat sedangkan tangan kirinya membelai lembut pinggangku.
"Aku bahkan tidak pernah berdansa seperti ini," ucapku jujur. Lagian siapa yang mau berdansa dengan pelacur? Yang ada mereka akan langsung menyuruhku melayani mereka diatas ranjang.
"Well, aku yang pertama?" tanyanya memastikan. Aku terkekeh lalu mengangguk.
Vicky memutarku dan kembali menarikku ke pelukannya lagi. Kali ini tanpa jarak apapun. Kedua tangannya di pinggangku dan tanganku di bahunya.
"Vicky, ini sangat.." ucapku risih. Aneh, semuanya aneh saat kurasakan jemari Vicky mulai merambat dipunggungku. Gaun sutra selututku ini tidak sanggup menahan sentuhan itu sehingga aku bisa merasakannya sampai kekulitku dan membuat getaran di tubuhku semakin hebat.
"Apa? Hm?"
Shit! Aku memaki dalam hati. Kenapa pria ini malah berbisik tepat ditelingaku?
Aku ingin mendorongnya sekarang juga dan menyadarkannya kalau aku yang gila seks ini bisa saja tidak mengontrol keinginanku untuk melakukan hal menyenangkan itu dengannya sekarang. Tapi keinginanku hanya sebatas itu, kenyataannya tubuhku tidak bergerak seinchi pun.
"Goddamnit Ana, kau seksi sekali memakai gaun ini," bisiknya lagi kali ini dengan suara lebih rendah. Kalimat itu menyerang langsung ke saraf pengendali seksku. Apa lagi tangannya yang kini merambat ke leherku.
Aku tidak tahan lagi!
Tanganku yang memang berada di lehernya merambat ke tengkuknya dan menarik kepalanya mendekati wajahku. Aku terkejut saat mencium bau sesuatu yang lain di mulutnya.
"Kau minum apa tadi Vicky?" tanyaku memastikan.
"Entahlah. Kata Angela sesuatu yang membuatku melupakan pekerjaan."
Shit Angela! Dia telah memberikan minuman beralkohol pada Vicky dan pria itu menerima saja?
"Kau tau itu alkohol kan? Dan kau masih menerimanya?"
Kudengar dengusan kesal dari Vicky karena pertanyaan. "Itu tidak penting. Sekarang yang penting, kau dan aku."
Vicky menutup jarak antara wajah kami. Semuanya menuntut. Aku. Dia. Kami saling menuntut. Menunjukkan kerinduan yang selama ini disembunyikan. Dan aku menyadari Vicky merindukanku juga.
"Vick." Kutarik wajahku sambil terengah setelah perperangan lidahku dan lidahnya yang mungkin tidak akan dihentikannya. "Ingat perjanjian kita tentang hubungan yang harus dibatasi? Kau bisa merusak semuanya jika kau masih dikamarku sekarang."
"Tidak ada yang akan rusak. Katamu, kita saling memberi kebutuhankan?"
Vicky memijit tengkukku dengan jempolnya membuatku tidak konsen dengan jawabannya.
"Kau yakin? Aku tidak yakin akan mengontrolnya malam ini," ucapku ragu diantara desahanku menikmati pijitan lembutnya.
"Kalau begitu, hentikan kontrolmu itu malam ini."
Vicky mengangkatku ketubuhnya. Membuatku refleks melingkarkan kakiku kepinggangnya. "Kau sangat cekatan Ana," ucapnya lagi dengan nafas sama tidak teraturnya, lalu dia menutup jarak antara kami lagi.
Selagi dia masih menciumku, aku tau dia berjalan membuatku memegangnya kuat-kuat, takut terjatuh. Hingga tubuh kami sama-sama terhempas diatas ranjang. Posisi bagus sekali.
"Kau yakin? Aku benar-benar tidak akan.."
"Aku tau. Diamlah." Vicky membungkamku ketika dia dengan beraninya menarik tubuh kami bersama-sama ketengah ranjang.
Aku tahu, mimpi terliarku akan terwujud malam ini.

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang