Part 28

7.2K 285 2
                                    

Pantai Kenjeran. Inilah nama tempat yang kami singgahi karena permintaan si ibu hamil. Alasannya simpel, hanya ingin menikmati waktu berdua bersamaku sebelum keputusan orang tuaku ditentukan. Sebenarnya aku tidak terlalu senang mendengar perkataannya itu, tapi untuk mengikuti kemauannya aku menuruti saja permintaannya itu.
Deviana turun dari mobil sambil tersenyum senang melihat pantai Surabaya yang indah ini. Aku hanya memperhatikannya yang berdiri menatap lautan sambil menahan topi lebarnya agar tidak terbang dengan sebelah tangannya. Sedang sebelah tangannya lagi belum lepas lagi dari jemariku.
Dia tersenyum padaku setelah aku menggerakan tangannya digenggamanku, memanggilnya. Dia mengangguk dan melepaskan genggaman tangan kami, lalu menyelipkan tangannya ke pinggangku. "Ayo!" ucapnya dengan semangat yang persis saat dia mengajakku kesini.
Aku mengikuti langkahnya menuju pantai dan begitu pula saat dia melepas sandalnya, aku pun melakukannya, hingga kaki kami mulai menyentuh tanah yang hangat. Dia melangkah semakin mendekati laut dan saat air mulai menerjang kaki kami, dia melepaskanku.
"Surga!" ucapnya sambil merentangkan tangan merenggangkan kepenatannya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa berkata apa-apa. Yang jelas, aku menyukai dia yang seperti ini. Rasanya sama saat kami di atap beberapa bulan lalu.
"Hei, kau pasti berfikir aku tampak seperti anak-anak, ya?" tanyanya tiba-tiba yang sudah menghadapku, atau aku yang tidak sadar kalau dia sudah menghadapku sedari tadi.
"Kalau kau mempertanyakan pendapatku, ya. Kita seperti dua remaja labil yang pacaran disini."
Deviana memiringkan kepalanya sambil melipat tangan didada. "Jadi menurutmu kita sudah terlalu tua hingga tidak boleh kesini? Hm?"
Aku mengangkat tangan ke udara seperti menyerah. "Aku tidak berkata seperti itu. Kau sangat sensitif."
Deviana berdecak. "Kalau begitu, aku minum kelapa muda!" katanya sambil setengah berteriak. Aku terheran, tadi dia sempat mengkritikku dan sekarang dia malah heboh sendiri. Deviana kini sudah menarik pergelangan tanganku menuju salah satu kedai minum terdekat.
***
"Sedang apa?" tanya Deviana melirik kearah ponsel yang sedang sibuk kugunakan. Tanpa melihat kearahnya, kujawab, "mengabari mama."
"Untuk apa?"
Kali ini aku melepaskan pandanganku dari ponsel dan menatap Deviana. Dia yang duduk dihadapanku juga ikut menatapku, sambil menggigit pipet minumannya. Oh, ini minuman kedua yang dipesannya setelah kelapa muda tadi.
"Mengatakan bahwa besok aku akan membawa calon menantunya."
"Kau? Apa?" Deviana sangat tampak terkejut. Matanya melebar dan mulutnya menganga. Aku hampir saja tertawa melihat ekspresi menggemaskan calon istriku ini jika tidak ingat bagaimana emosional dan mengesalkannya dia tadi pagi.
"Mengabari mama. Sore ini kita balik dan besok pagi ketemu mama dan papa. Oke?"
"Tidak perlu secepat itu kan, Vick?"
"Perlu. Persiapan harus dilakukan kurang dari satu bulan ini, Ana."
Deviana menyipitkan matanya. "Kenapa kau terlihat dikejar deadline? Kita masih bisa memikirkannya dengan santai."
Kali ini aku yang menggeleng cepat. "Jangan gila. Aku tidak mau kau malu karena perutmu membuncit saat kita menikah."
"Kau yang malu tidak?"
"Kenapa aku yang malu?"
"Karena sudah melakukan hubungan intim dengan sekretarismu dan menghamilinya."
Aku memejamkan mata dan menghela nafas pelan. "Ana, cukup mendebatku. Sedari pagi kau membuatku frustasi. Aku sudah mengikuti syarat darimu, dan tolong ikuti permintaanku yang satu ini."
Deviana mendengus dan memilih memutus kontak matanya dariku. Aku menghela nafas kesekian kali melihat tingkahnya ini. Baru saja kami kembali mesra saat sampai di pantai ini, dia malah berulah lagi.
Kuraih tangannya diatas meja dan mengusapnya pelan. Berusaha menarik perhatiannya kembali padaku. Yang kudapati, dia hanya menatap tangan kami tanpa kembali menatapku. Tidak mau menyerah, kuarahkan tanganku ke dagunya. Menariknya agar menghadapku. Berhasil, kali ini dia menatapku walaupun terlihat enggan. Aku tersenyum samar melihatnya yang seperti itu.
"Kapan pun kau siap, kita akan menikah. Tapi, kita sama-sama tau kalau bayi kita nanti akan menunjukkan dirinya diperutmu. Aku hanya tidak ingin dia nanti dibicarakan aneh-aneh oleh orang-orang lain."
"Aku tidak peduli.."
"Aku tau kau tidak peduli apapun yang orang katakan terhadapmu. Tapi bisakah kau peduli pada keluargamu dan anak kita? Kumohon," ucapku memotong pembicaraannya.
Deviana tampak menyerah. Dengan sudut bibir yang masih melengkung kebawah dia mengangguk. Aku tersenyum puas akhirnya dan mengalihkan tanganku ke pipinya dan mengelus pipi itu dengan sayang. Ternyata hal ini bisa membuatnya ikut tersenyum dan menikmati sentuhan lembutku.
***
Kami kembali menyusuri pantai ini. Sengaja berjalan mendekati air supaya kaki kami disapu sesekali. Tangan kiri Deviana melingkar di lenganku, lebih seperti memeluk lenganku dengan manja. Perubahan sifatnya dalam beberapa menit ini berhasil membuatku harus beradaptasi. Sebentar-sebentar dia manja, semenit kemudian merajuk atau setengah jam kemudian marah-marah tak jelas. Aku harus menyeimbanginya karena itu.
"Aku sangat ingin diving, Vick," ucapnya tiba-tiba ketika kami sedang larut dikeheningan. Dia menatapku dengan wajah polosnya atau wajahnya yang seperti kucing memelas.
"Jangan sekarang. Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa dengan anak kita," larangku.
Deviana malah mengerucutkan bibirnya membuatku gemas sendiri. "Kalau ini permintaan anak kita bagaimana?"
"Jangan mengada-ngada. Aku tidak mengizinkan bagaimana pun."
"Dasar, menyebalkan!" umpatnya. Tapi perilakunya tidak memperlihatkan dia sedang marah padaku. Nyatanya dia masih bergelayut manja di lenganku.
"Kalau diving bersamaku diatas ranjang, bagaimana?" bisikku ditelinganya dengan sensual. Dia mendelik dan menggigit pundakku dengan gemas. Aku berusaha mengelak dengan tawa kami yang sama-sama pecah.
"Jangan Ana! Sakit!" teriakku sambil berusaha menjauhinya.
Deviana tertawa terpingkal. Dia sampai membungkuk menahan perutnya yang geli.
Aku mengeleng-geleng. Kudekati dia dan dia mundur mengelakku. Saat dia baru akan berlari, aku menarik tangannya dan membuatnya berputar menghadapku. "I got you," bisikku.
"You got me since our first kiss," jawabnya dengan bisikkan yang sama. Aku tersenyum mengingat dia mengakui hal ini.
"So, that's all I want to hear a while ago." Kutarik pinggangnya mendekat sehingga dia mendongak menatapku.
"When I can hear the same for me?"
Aku mengernyit. Dia menunjukkan mata penuh harapnya padaku kini. "Ana, kau tau aku belum bisa.."
"Apa? Belum bisa jujur?"
Aku mendengus. Kulepaskan tanganku dipinggangnya. Tapi, Deviana dengan cepat mengalungkan tangannya di leherku.
"Aku tidak perlu mendengarnya sampai kau bersedia mengatakannya tanpa kuminta. Tanamkan itu diotak pintarmu, Vicky."
Aku tersenyum. Dan senyumku menipis ketika Deviana menarik wajahnya mendekatiku. "Kita benar-benar akan terlihat seperti remaja labil jika melakukannya saat ini juga, Ana," ucapku dengan suara yang tertahan. Antara aku ingin menolak atau menerima apa yang diinginkannya.
"Pastikan aku selalu labil dihadapanmu, Vick," ucapnya sebelum bibirnya menempel dibibirku. Lembut dan aku suka. Jadilah aku terhanyut didalamnya.
"Aku mencintaimu," bisiknya lagi disela ciuman tenang kami.
***
Aku membuka pintu hotel dengan tergesa mengingat Deviana yang langsung menyerangku saat aku baru saja mengeluarkan kartu pass. Ku topang tubuhnya dengan tangan kiriku sedang tangan kananku segera menutup pintu dibelakang kami. Deviana sudah memanjatku sekarang dan aku harus menyeimbangi tubuh kami agar tidak jatuh.
"Kau yakin?" tanyaku saat bibirku dilepaskannya.
"Sangat merindukanmu," ucapnya sambil menciumi rahangku. Aku hanya memberinya akses dengan mendongkan kepalaku kebelakang. Dengan cepat kaki kulangkahkan ke ranjang. Kubalik posisi kami hingga aku menghempaskan tubuh duluan. Sialnya, Deviana terkejut dan menggigit leherku dengan keras sehingga membuatku memekik.
"Maaf. Apa aku menyakitimu?" tanyanya sambil melepaskanku. Dia dengan entengnya duduk diatas perutku dan menatapku dengan wajah cemas.
"It's okay, Ana." Kubiarkan dia melanjutkan apa yang ingin dia lakukan. Tapi dia hanya menatapku tanpa melakukan apa-apa lagi.
"Kenapa?" tanyaku bingung. Deviana malah bergerak dari atasku dan duduk disebelahku membuatku heran. Aku jadi ikut duduk dan memperhatikan wajahnya yang kini tampak sedih. Kenapa lagi dengan anak ini?
"Hei, kau kenapa?" tanyaku sambil menyibak rambutnya yang turun menutupi wajahnya. Dia mengangkat mukanya menghadapku.
"Aku merindukanmu."
"Ya? Lalu?"
"Kau tidak menginginkanku?"
"Aku menginginkanmu Ana. Hal apa lagi yang harus kita perdebatkan?" tanyaku gemas. Kuremas tangannya yang baru saja kugapai.
"Kenapa selalu aku yang memulai?"
"Astaga. Kau memikirkan apa, sih? Aku selalu menyukai kalau kau yang duluan. Terserah siapa yang menginginkannya."
"Kalau begitu, kau hanya mengikuti kemauanku saja."
"Tidak, Ana. Kau jangan membuat kita berdebat lagi, bisa?"
"Hm, kau.." Sebelum dia melanjutkan perdebatan yang bisa kami lakukan sampai akhir hari ini, aku menutup mulutnya dengan bibirku. Dia awalnya terkejut tapi akhirnya mengikuti gerak ciumanku. Kami sama-sama mengejar gairah yang sempat tertinggal tadi.
"Hollyshit, Vicky!" umpatnya ketika aku turun ke lehernya dan meninggalkan jejak disana.
"Berhentilah mengumpat," ucapku sambil meletakan jemariku dibibirnya. Dengan lihai, Deviana malah menciumi jemariku dan menjilatinya.
"Oh astaga, kau membuatku semakin.." bisikku terpotong saat dia menggigit jemariku. "Sialan, Ana!"
"Berhenti mengumpat, Vicky!" Dia tersenyum mengembalikan ucapanku tadi. Aku menggeleng dengan senyum yang sama.
"Taruhan, siapa yang lebih banyak mengumpat malam ini. Kau atau aku." Kudorong dia tertidur diranjang setelah mengucapkan hal itu. Deviana hanya tertawa terbahak saat perlahan kulepaskan semua pakaiannya.
***
"Kita harus siap-siap sekarang," ucapku masih malas untuk bangkit. Deviana yang berada dipelukanku malah semakin erat memelukku kembali.
"Berangkat jam berapa?" tanyanya dilengkungan leherku.
"Enam."
"Oh, bisakah kita berangkat besok pagi saja? Aku tidak ingin bangun rasanya," tawarnya padaku. Kurasa dia letih karena dua ronde kami yang melelahkan. Pasalnya kami sama-sama berusaha untuk menjatuhkan lawan agar sering mengumpat. Bahkan kali ini aku terkalahkan. Beberapa caranya membuatku tidak tahan untuk melakukan hal itu. Deviana sangat hebat untuk hal ranjang.
"Janji? Kita akan berangkat besok pagi-pagi sekali?"
"Ya. Asal kau tidak memintaku beberapa ronde lagi. Aku benar-benar butuh tidur."
"Baiklah," ucapku sambil mengecup puncak kepalanya.
"Kau tidurlah. Aku akan mengemasi barang sebentar," ucapku sambil bangkit dan melepaskannya. Deviana yang masih memejamkan matanya mencari posisi nyamannya. Kutarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya akibat ulahku.
Aku bangkit dari ranjang sambil memakai celana pendekku yang terjatuh dilantai. Kuraih ponsel yang berada di sakunya dan segera mencari satu nomor yang sangat ingin kuhubungi sedari tadi. Untunglah sekarang aku punya waktu terlepas dari Deviana.
Aku menuju kamar mandi. Duduk di closet yang tertutup menunggu panggilanku dijawab. Dan akhirnya aku mendengar seruan dari seberang.
"Kenapa kau menelfon?" tanya pria itu tanpa basa basi.
"Ana hamil."
"Ana? Sandramu itu! Vicky! Kau menghamili Sandra?"
Aku mengangguk. Menyadari dia tidak akan melihatku, aku menjelaskan. "Aku baru tau kemarin dan tadi pagi kami mengecek kehamilannya. Ternyata dia benar-benar hamil."
"Lalu?"
"Lalu apa?" tanyaku balik.
"Bodoh. Lalu apa yang kau lakukan? Lari darinya?"
"Tidak." Aku tertawa sumbang. "Aku melamarnya."
"Selamat! Kau akan mendahuluiku, bro!"
"Bukan itu masalahnya, Liam," ujarku geram. Apa aku salah menghubungi orang untuk bercerita?
"Jadi, apa masalahnya? Dia menolak lamaranmu?"
"Tidak. Dia menerimanya. Tapi dengan syarat, restu dari orang tuaku. Dan dia memintaku untuk memberitahu mama papa tentang apa yang sebenarnya terjadi."
"Kalau begitu, lakukan!"
"Tidak segampang itu. Yang kutakutkan mama tidak menerimanya. Ana memintaku untuk meninggalkannya jika ternyata mama menolaknya menjadi menantu."
"Berat masalahmu, bro. Jadi apa yang akan kau lakukan?"
"Tentu memberitahu mama. Setidaknya besok aku sudah mengabari. Kami harus menikah dengan cepat."
"Bagaimana kalau Tante Viena menolak?"
Aku menelan ludah mengingat satu hal berat ini. Aku sangat-sangat tidak bisa memikirkan apa yang langkahku selanjutnya jika itu terjadi. Aku tidak ingin kehilangam Deviana untuk kesekian kalinya.
"Aku tidak ingin kehilangannya, Liam."
Suara tawa khas Liam terdengar membuatku mengernyit. Lucu darimana perkataanku ini?
"Kau jelas jatuh cinta padanya. Kalau begitu pertahankan. Usahakan mama dan papamu menerimanya. Kau pasti bisa."
"Sejujurnya aku takut."
"Jangan jadi pecundang Vicky. Deviana saja bisa bertahan tanpamu jika kau melepasnya. Dan aku yakin dia wanita tangguh yang tidak akan memohon belas kasih seorang pria untuk menghidupinya."
"Sial. Kenapa aku malah tergila-gila padanya, sih?"
"Tergila-gila pada siapa, Vick?"
Aku menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Deviana dengan wajah mengantuknya berdiri disana dengan selimut yang melingkar ditubuhnya. Dia tampak setengah sadar.
"Suara siapa itu?" tanya Liam setengah menggodaku. Aku mengabaikannya memilih menaruh perhatianku pada wanita dihadapanku ini.
"Kau terbangun?" tanyaku sambil berjalan kearahnya.
Dia mengangguk. "Aku tidak bisa tidur tanpamu."
"Oalah, ada yang ditinggal tidur rupanya," teriak Liam dari seberang telefon kesenangan.
"Brengsek kau!" desisku lalu mematikan sambungan telefon kami.
"Siapa itu?" tanya Deviana lembut. Aku menggeleng dan memeluknya dengan sebelah tanganku.
"Orang idiot. Tak perlu dipikirkan. Ayo, kita tidur."
Deviana mengangguk di dadaku. Lalu aku menuntunnya kembali ke ranjang kami.

29Juli2016

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang