Part 26

7.6K 310 6
                                    

Ternyata aku ngga bisa nepatin janji buat selesaiin cerita ini sebelum kkn, dan selama kkn aku ga bisa update, baru hari ini (hari libur kkn) aku bisa update. Maaf banget ya yang nungguin Vicky Deviana!

Deviana's POV

Setiap Sabtu dan Minggu kantor ku libur. Jadi, untuk mencukupi kebutuhanku lagi, aku tetap bernyanyi di kafe. Ini kali kedua aku menyanyi di kafe ini setelah minggu lalu aku bernyanyi disini. Beruntung lagi, disini dibayar perlagu yang dinyanyikan, jadilah tidak ada ikatan apa-apa dalam pekerjaan sambilanku ini. Dan ditambah, para pemusiknya sangat profesional sehingga dengan mudah masuk kedalam lagu yang ingin siapapun nyanyikan.
Aku baru saja sampai dikafe ini dilindungi payung merah jambu. Malam ini hujan dan aku tidak ingin penampilanku menganggu pandangan penonton. Notabene-nya aku adalah orang yang tidak terlalu peduli dengan hujan jika mengguyurku, tapi untuk sekarang singkirkan dulu pikiran remajaku itu.
"Devi! Ku kira kau tidak akan datang!" seru seorang pria saat aku tengah meletakan payung pada tempat yang telah disediakan. Aku menoleh dan terkejut melihat Pak Bowo berada disini.
"Oh, hai Pak. Saya tidak menyangka bertemu anda disini," ucapku jujur. Aku meneliti busananya yang rapi, tapi bukan seperti biasa dia kekantor. Ini jelas lebih santai.
"Ya, aku sedang mencarimu."
Aku tergelak. "Anda bisa menghubungi saya pak, jika anda membutuhkan saya. Lagian, saya bekerja setiap hari senin sampai jumat di kantor anda."
Pak Bowo mengangguk. "Benar. Tapi ini sangat mendesak hingga saya tidak bisa menunggu lama lagi untuk berbicara. Dan saya sudah menghubungimu. Tapi nomormu tidak aktif."
Aku menepuk jidatku menyadari ponsel itu tidak ku isi baterainya sejak tadi sore sehabis pulang dari pasar. Aku melupakan benda yang sekarang lebih banyak diam itu.
"Baiklah, pak. Jadi sebenarnya ada apa?" tanyaku berusaha memperjelas keadaan.
"Sandra!" Seseorang meneriaki namaku. Aku menoleh kesamping. Ricky, gitaris band tetap di kafe ini melambai sambil mendekatiku.
"Ada apa, Ricky?"
"Cepatlah! Pelangganmu sudah menunggui!" serunya sambil menahan tawa.
"Jangan mulai Ricky. Mereka hanya menikmati suaraku, ingat itu!" Aku menegaskan dengan mengacungkan telunjukku. Ricky malah menangkup telunjukku dan menurunkan tangan kami.
"Yang jelas bos sudah marah karena kau terlambat. Ayo, panggung kosong!"
Aku mengangkat bahu. Beralih sebentar pada Pak Bowo. "Bisa kita bicarakan nanti, pak? Saya bicara pada bos saya dulu."
Pak Bowo mendesah kecewa. "Ya sudah. Saya tunggu kamu di meja saja."
Aku mengangguk cepat. Tanpa menunggu apa-apa lagi, atau karena anak ini memang kurang kadar kesopanannya, dia menarik tanganku menjauhi Pak Bowo. Aku setengah berlari mengikutinya keruangan bos. Semata hanya untuk memberitahu bahwa aku sudah datang.
Setelah bos sedikit menceramahiku, yang akhirnya dimenangi pembelaanku yang terlambat karena hujan, beliau menyuruhku untuk segera menuju panggung. Akhirnya aku bisa menginjak panggung kecil itu dan mulai mengambil posisiku.
"Selamat malam," ucapku pada pelanggan yang sibuk dengan makanan mereka sendiri-sendiri. Tapi aku cukup salut pada bagian pojok sebelah kanan dimana anak muda berkumpul. Mereka yang menjawab salamku paling kencang.
"Maafkan keterlambatan saya menghibur kalian. Hujan diluar sana memang kadang menyebalkan, tapi itu juga mendatangkan rezekikan? Jadi, bagaimana kalau kita sedikit bernyanyi tentang hujan?"
Aku menoleh kebelakang memberi aba-aba pada pemain musik untuk memulai musik mereka. Intro lagu hujan-utopia terdengar mengalun. Aku tersenyum pada Ricky sebelum kembali menoleh kedepan. Tepat saat itu, aku tertegun melihat seseorang masuk kedalam kafe ini dengan baju setengah basah.
***
"Awesome night!" seru Key sambil mengangkat tangannya nya ke udara untuk ku tos. Aku menyambut tangannya dengan malas-malasan. "Aku tidak menyangka kau akan menyanyikan sepuluh lagu yang isinya galau semua!"
Aku memutar bola mataku mendengar ucapannya. "Hanya untuk malam ini mungkin."
Ricky tertawa. "Apa ada pria itu malam ini?"
Aku menoleh padanya yang kini tengah memasukan gitarnya ke sarung gitar. "Pria yang mana?"
"Itu, yang selalu kau pandangi fotonya setiap selesai tampil."
Aku mendengus. "Jangan membuat gosip, Rick!"
"Jangan membuat gosip, Rick!" Key menirukanku. "Ah, sudahlah kalian tukang gosip. Aku duluan ya. Istri sudah minta dikeloni."
Key melambaikan tangannya pada kami. Pria yang merupakan pemain piano di band ini sudah menikah satu tahun yang lalu. Jadi mereka masih mesra-mesranya dalam hubungan mereka.
"Mau pulang bersamaku?" tanya Ricky padaku.
"Aku bawa payung sendiri. Percuma jika aku berboncengan denganmu. Nantinya aku malah kehujanan."
Ricky mengangkat bahunya menanggapi jawabanku. "Kalau begitu, aku duluan." Ricky menyampirkan tas gitarnya. Dia menepuk puncak kepalaku sebelum akhirnya berlalu dari ruangan ini.
Setelah merapikan alat dan tasku, dan berharap pria itu sudah pulang, aku keluar dari ruangan yang memang dipersiapkan untuk penyanyi dan pengisi acara. Kafe masih terlihat ramai walau sekarang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Satu lagi keuntungan bekerja dikafe ini, kami diperbolehkan pulang jika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas.
Tak ku pungkiri mataku masih mencuri pandang ke tempat duduk dimana pria itu duduk tadi. Menerka-nerka apakah pria yang bersama Pak Bowo itu sudah pulang atau belum, karena tidak mungkin dia menungguiku sampai selarut ini. Tapi sialnya, mataku malah bertumbukan dengan mata pria itu. Aku segera melangkah cepat sebelum dia menyapaku.
"Ana!" Terlambat!
Ku putar kepalaku menoleh padanya. Bermain peran dimulai.
"Pak Vicky? Kebetulan sekali." Aku mendekati meja itu perlahan. Mataku bergeser ke Pak Bowo yang menatapku sambil tersenyum. Persis saat pertama kali dia memperkenalkanku pada Vicky di kelab malam saat itu. "Jadi anda bersamanya, Pak? Ada urusan pekerjaan ya?"
"Duduklah dulu Devi!" sahut Pak Bowo sambil merintangkan tangannya ke kursi sebelahnya. Aku mengangguk lalu mengambil duduk dikursi itu. Lebih baik dibanding aku harus duduk di kursi sebelah Vicky.
"Jadi begini," ucap Pak Bowo memulai pembicaraannya. Aku berusaha menjaga kontak mata dengan bosku itu pada saat Vicky jelas-jelas menatapku lurus-lurus. Tanpa ekspresi! "Kau dipecat."
Apa? Tunggu dulu! Aku baru saja menyebutnya bos dan dalam hitungan detik, walaupun aku tidak konsentrasi dengan kalimatnya yang lain, tiba-tiba dia sudah melayangkan kalimat seperti itu padaku? Ini bercanda.
Dengan tenang, aku bertanya. "Bisa anda jelaskan kenapa saya dipecat pak? Saya baru bekerja beberapa hari."
Pak Bowo bergidik. "Pak Vicky memintamu kembali."
Aku langsung melayangkan tatapan menuntutku pada Vicky. Dia terlihat menang dengan senyum jahat di bibirnya. "Saya tidak bisa menerima ini pak. Saya berhak memilih pekerjaan saya sendiri!"
"Maafkan saya Dev." Pak Bowo menarik nafas panjang. "Kau bisa bicarakan berdua dengannya."
Pak Bowo berdiri. Aku hanya ternganga melihatnya pergi tanpa bersalah dan meninggalkanku berdua dengan Vicky. Aku beralih padanya. Masih dengan penguasaan diri yang bagus, aku menatap matanya dan mulai berbicara.
"Maaf, Pak Vicky yang terhormat. Saya rasa anda sudah lancang melakukan ini pada saya dan pekerjaan saya."
Vicky menaikan sebelah alisnya. Ditariknya tubuhnya untuk bersandar dikursi dan tangannya terlipat didada. Benar-benar seperti Bos!
"Saya ingin anda kembali sebagai sekretaris saya, Ana."
"Kenapa? Banyak orang yang bersedia menjadi sekretaris anda, Pak. Dan saya tidak tertarik lagi."
"Kembalilah, atas dasar keluargamu." Vicky mulai menurunkan tangannya.
"Mereka tidak mempersalahkan aku bekerja dimanapun!"
"Ya memang. Tapi mereka masih berharap kau kembali."
Aku menyatukan gigiku kuat-kuat akibat kesal padanya. "Jika saya kembali, saya akan mempersulit keadaan hidup anda Pak."
Vicky menggeleng. Ditariknya tubuhnya kedepan lebih dekat kemeja. Aku sampai harus menahan nafas beberapa detik untuk menenangkan jantungku.
"Hidupku sudah berantakan sebelum bertemu kau, Ana. Dan sejak kau hadir, kau membuatku melihat sesuatu dengan pandangan berbeda. Pada akhirnya, aku bisa membuka hati untuk Angela."
Aku menatap Vicky sedikit gentar. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tak tampak mencekik leherku dan membuatku susah bernafas.
"Tapi, dia sudah membatalkan pertunangan kami."
Aku membulatkan mata tidak percaya. Ini benar-benar berita baru. Apakah sampai segitu parahnya hubungan mereka sehingga Angela tidak percaya Vicky?
Mulutku yang terbuka kembali kukatup. Tidak tau harus menjawab apa padanya.
"Dan sekarang aku tidak tau apa yang harus ku perbuat."
"Kejar dia." Hanya kalimat itu yang meluncur tanpa komando dari mulutku. Setelahnya aku hanya meremas tanganku yang berada dipangkuanku.
Vicky tersenyum dan menggeleng. "Sampai kapan kau bersembunyi Ana?"
Aku mengernyit mencoba memahami perkataannya. Dia menatapku lembut tanpa bisa kuelakan lagi.
"Kembalilah. Kita ulang semuanya bersama."
Aku menggeleng cepat. Jangan! Ini tidak boleh terjadi!
"Kita lebih baik sendiri-sendiri Vick. Hidup kita jelas berbeda," ucapku meyakinkannya. Hilang sudah keformalan yang ku bangun tadi.
"Berbeda? Jelas! Bagaimana putri seorang Lampard sangat berbeda denganku yang hanya beruntung karena kerja kerasku."
Aku tersentak saat Vicky mengucapkan hal itu. Bukan, bukan bagian dia tau aku anak dari pengusaha terbesar di sini, tapi aku terkejut akan pemikiran sempitnya itu. "Bukan. Aku tau, kau mengerti maksudku."
Vicky menutup matanya. Menahan entah apa itu. Lalu saat dia menatapku kembali, matanya menunjukkan penyesalan. "Kita sudah kembali disini. Kau juga lebih baik dari sebelumnya, saat pertama kali aku bertemu padamu dikota ini. Lalu kenapa kau masih memikirkan hal itu?"
Aku baru akan membuka suara ketika Vicky menyambung ucapannya. "Maaf sebelumnya, aku tidak menyadari sesuatu yang sengaja kau tinggalkan untukku. Aku sudah membaca suratmu."
Malu. Itu yang pertama kali kurasakan saat Vicky menyatakan kejujurannya. Aku berharap tidak pernah meninggalkan surat itu pada hari itu.
"Aku sudah tau perasaanmu." Nah, inilah masalahnya. Aduh! "Terima kasih sudah mencintaiku selama ini."
"Tidak untuk sekarang," bantahku cepat. Kutelan ludah sebelum berbicara lagi, "aku sudah melupakanmu dan memang sebaiknya kita hidup sendiri-sendiri. Lupakan juga masalah surat itu. Terlalu kadaluwarsa."
"Belum. Tidak ada kata kadaluarsa untuk pernyataan itu, Ana."
Aku terdiam. Memutus kontak mataku kembali. Kembali tidak kuat untuk menatap mata yang masih sama membuat hatiku bergetar.
"Ana, menikahlah denganku."
Pertanyaan itu seperti pernyataan bagiku yang membuatku segera mengangkat wajahku menghadap pria didepanku. Wajahnya masih sama datar seperti tadi. Terdengar seperti bercandaan sekarang.
"Jangan bercanda tentang pernikahan, Vicky," ucapku sambil bangkit berdiri. Vicky yang akan menjawabku menutup mulutnya kembali. Aku menggeleng sebelum pergi dari hadapannya berlalu meninggalkannya.
"Ana, tunggu." Suara itu akhirnya terdengar setelah aku mendekati pintu. Tanpa menoleh kebelakang, aku mencari payungku yang kutitip di tempatnya. Tapi mana? Sial!
"Ana!" Suara itu semakin dekat. Aku tau dia pasti sudah beberapa langkah dibelakangku. Persetan dengan payung!
Aku keluar setengah berlari dari kafe. Baru saja aku meninggalkan teras kafe, air hujan langsung mengguyurku. Yang kulakukan hanya terus berlari menuju rumahku sambil memeluk tasku.
Tiba-tiba seseorang menarik sikuku dari belakang membuatku berputar ke arahnya. Aku membelalakan mata melihat Vicky sudah berada dihadapanku sekarang.
"Kenapa kau hujan-hujanan?" tanyaku menyebutkan apa yang terlintas dipikiranku.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!" Vicky menaikan pegangannya ke kedua lenganku. Aku masih sempat-sempatnya menatap tangan itu yang tidak ditarik oleh pemiliknya.
"Aku serius masalah menikah," katanya lagi.
"Kau bisa menikah dengan siapa saja asal tidak denganku," ucapku setengah berteriak karena hujan malah semakin deras.
"Kenapa? Kenapa harus orang lain jika aku menginginkanmu, Ana?"
Aku mengerjap mendengar pertanyaannya itu. Pria ini serius ya?
"Jangan.."
"Kenapa Ana?"
Aku menunduk. Menatap jalan basah yang ku pijak.
"Kenapa?" tanyanya lagi sambil mengguncang tubuhku. Kali ini aku mengangkat wajahku. Mencoba memberanikan diri mengungkapkan kebenarannya.
"Aku tidak mau keluargamu tau masalah kita."
"Masalah apa?" tanya Vicky semakin penasaran. Aku menelan ludah menatapnya sebelum bicara. "Aku hamil."
Vicky menatapku dengan wajahnya yang tidak bisa kubaca. Seharusnya dia melepasku sekarang dan mengatakan bahwa dia lebih baik mundur. Tapi, yang terjadi dia hanya menatapku lama, hingga detik terus berlalu dengan kami yang hanya saling tatap.
"Jadi, lebih baik kau tinggalkan aku," ucapku akhirnya daripada menunggu Vicky yang tidak jelas ini. Aku melepaskan tangannya dari lenganku. Tangan itu jatuh disamping pemiliknya seperti tidak bertenaga. Entah bagaimana, air mataku jatuh begitu saja bergabung dengan hujan yang mengguyurku. Merasakan kekecewaan yang besar dengan sikapnya yang apatis. Beruntung, hujan menyembunyikan tangisku dihadapannya.
Aku berbalik, bersiap meninggalkannya ketika tubuhku dipeluk dari belakang. Tubuh besarnya melingkupku sehingga menyingkirkan kedinginanku sedikit. Aku tersentak kaget saat dia melakukan itu, apa lagi saat dia mengetatkan tangannya di perutku. Samar, kudengar dia berbisik, "kita besarkan anak ini bersama."
***
Pintu didepanku terbuka lebar. Aku bersama Vicky memasuki ruangan itu. Aku tertegun mengingat bagaimana pertama kali aku terbangun dikamar dihotel ini dengan dia yang melihatku tidur. Rasanya seperti de ja vu ketika dia malah memilih hotel ini kembali untuk menginap.
"Dingin ya? Kau mau mandi duluan?" tanyanya setelah menutup pintu dibelakang kami. Aku menoleh padanya.
"Kau keberatan?"
"Tentu tidak. Masih banyak handuk dan peralatan mandi baru di dalam lemari. Gunakanlah," ucapnya lagi sambil menuntunku ke kamar mandinya. "Atau kau mau kita mandi berdua?"
Aku membulatkan mata mendengar bercandaannya itu. "Tidak. Terima kasih!" Ku tutup pintu kamar mandi tepat didepannya yang terkekeh melihat raut wajahku yang berubah kemerahan. Mungkin.
Ternyata benar, ada satu bathrobe dan beberapa alat mandi didalam lemarinya. Aku menggunakan alat-alat itu saat mandi dan menarik bathrobe ku pasang ditubuhku setelah mandi shower. Kini aku menatap cermin dan melihat wajahku yang pucat karena kedinginan. Rambutku yang kukeramas jatuh dibahuku, tampak sangat berantakan.
Kenapa aku harus mengangguk saat dia mengajakku menginap di hotelnya? Kenapa aku tidak pulang saja?
Uh, pikiranku berkecamuk. Rasa-rasanya aku ingin kabur darinya sekarang. Dia lebih baik tidak tau apa-apa ketimbang harus menikahiku karena hanya tanggung jawab. Setidaknya aku bisa seperti ibu yang membesarkanku seorang diri tanpa suami. Jika ibu bisa, kenapa aku tidak?
Selesai berdebat didepan cermin sambil menyisir rambut dengan tangan, aku keluar kamar. Disalah satu kursi kayu, Vicky tengah duduk sambil melihat ponselnya dengan kening berkerut. Badannya masih basah dengan kemeja yang sama yang melekat di tubuhnya.
Aku berdehem. "Aku sudah selesai."
Vicky mengangkat wajahnya dari ponsel. Dia tersenyum padaku, manis sekali, hingga tanpa sadar aku membalas senyum itu. "Aku akan mandi sebentar," ucapnya sambil bangkit dan meletakan ponsel dinakas.
Aku hanya mengangguk. Memberikannya jalan untuk masuk kedalam kamar mandinya. Sebelum dia benar-benar masuk kedalam kamar mandi, dia berkata lagi, "jangan kabur!"
Aku mengernyit, apa dia baru saja membaca pikiranku? Ah, sudahlah. Percuma. Aku sudah sampai disini dan kurasa tidak ada salahnya untuk menginap semalam. Toh, kami sudah biasa seranjang dan besok aku juga bisa kabur.
Aku menuju lemari pakaian, membukanya dan kembali tercengang. Kosong. Vicky tidak membawa apa-apa kesini?
"Vick?"
Kudengar gumaman dari kamar mandi.
"Aku boleh meminjam bajumu?"
"Didalam koper, didekat ranjang!" teriaknya.
Kunaikan satu alisku. Apa dia tidak sempat memindahkan bajunya ke lemari dulu?
Aku beralih ke kopernya. Oh, sialan lagi. Aku tidak punya dalaman. Bagaimana ini?
Ketika aku akan bertanya lagi pada Vicky, kulihat ponselnya berkedip dan memunculkan pesan baru yang ditujukan padanya. Ku lirik pesan itu dimana pesan dari Pak Bowo yang mengabari bahwa bawahannya sudah menuju kesini. Penasaran, kubuka pesan itu.
Vicky : saya sudah bersama Deviana, Pak. Tapi saya masih membutuhkan bantuan anda. Bisa anda tolong belikan dalaman untuk Deviana? Mohon maaf, ini terdesak pak
Pak Bowo : haha kau sangat tepat meminta bantuanku soal itu. Lima belas menit lagi bawahanku akan sampai disana
Vicky : terima kasih banyak atas bantuan anda. Kamar saya nomor 313
Pak Bowo : Vicky, bawahan saya sudah di hotel anda. Pesanan segera sampai dikamar. Kabarkan saya.

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang