End

14.8K 369 17
                                    

Deviana's POV

"Suprise!" Suara wanita menggema diseluruh ruangan ketika pintu apartemen ini baru saja kubuka. Cahaya mulai muncul bersamaan dengan teriakan itu. Seseorang menghidupkan lampu ruang tamu ini. Aku menatap satu persatu orang diruangan ini yang aku tau wajahnya. Terutama Farah yang tampak terkikik dengan wajah menyebalkannya itu. Didinding sebelah kanan ada spanduk ukuran satu kali dua meter dengan tulisan Welcome Home Bachelor. Jadi ini alasan Farah memaksaku untuk ke apartemen malam ini juga?
"Selamat datang di acara malam bujanganmu, Dev!" ucap Farah sambil mendekatiku. Disematkannya dikepalaku mahkota kecil yang sedari tadi dipegangnya. Aku tersenyum pada semua wanita diruangan itu. Mereka sebagian besar adalah rekan kerjaku dikantor. Tidak akan susah untuk Farah mengumpulkan mereka.
"Terima kasih banyak! Kalian membuatku terharu!" ucapku jujur.
Mereka lalu mengucapkan selamat karena aku akan menikah esok hari, satu persatu. Mungkin ada sekitar dua puluh wanita disini. Aku tidak ingin susah-susah untuk menghitungnya. Dan aku tidak akan menyebutkan nama mereka satu persatu.
Mereka menyeretku duduk di sofa dan mulai menanyai bagaimana perasaanku sekarang. Aku menjawab dengan jujur dengan senang. Tentu saja, besok adalah hari pernikahanku kan!
"Saatnya pesta!" teriak Tika, salah satu rekan kerjaku dari bidang yang berbeda. Dia membawa dua botol bir dari dapurku, yang entah sejak kapan ada bir di apartemen ini, mungkin mereka yang membelinya. Satu persatu gelas kecil mereka diisi air dari botol tersebut. Dan mulailah musik yang menghentak dibunyikan. Mengingatkanku selalu pada diskotik. Kisah lama.
Satu persatu menari memalukan membuat siapapun di ruangan ini tertawa. Begitu pun aku. Sangat terhibur dengan mereka disini saat ini. Besok aku akan benar-benar melepas masa lajangku. Bayangkan! Setelah selama ini, akhirnya diumurku yang ke dua puluh delapan, aku akan menikah. Dengan seorang pria yang jelas-jelas menerimaku apa adanya. Aku bukan wanita baik-baik dan dia tidak peduli dengan itu.
Aku tidak pernah berfikir akhirnya seorang wanita sepertiku akan menikah dengan pria baik seperti Vicky. Yang setia pada satu wanita dan akhirnya aku bisa memalingkannya dari wanita yang sudah bersuami itu. Kami yang akhirnya bersahabat dengan saling memenuhi kebutuhan masing-masing, saling melengkapi, saling menjaga, akhirnya berada pada satu titik dimana kami adalah pelabuhan terakhir. Layaknya kebiasaan, dia adalah kebiasaanku yang tidak bisa ku pungkiri. Aku mencintainya, mugkin dari dulu. Sejak pertama kali mengenalnya. Tapi entahlah, bahkan aku belum bisa memastikan sejak kapan perasaan itu muncul. Yang jelas, dia sudah menjadi kebiasaanku yang tidak akan pernah hilang.
"Hei, kau melamun!" teriak Farah berusaha mengalahkan musik, ditengah tariannya. Aku mendongak melihatnya yang berdiri didepanku yang duduk di sofa. Sepertinya hanya Farah yang menyadari aku sudah tidak menari lagi.
"Ah tidak!" elakku.
"Apa kau senang?" tanyanya sambil mengambil duduk disebelahku.
"Senang! Aku bahkan terharu, sungguh! Kalian sangat baik. Terutama kau!" jawabku sambil memeluknya dengan erat.
Farah tertawa. "Tentu. Semuanya untukmu, Dev."
Aku tersenyum di pelukan ibu satu ini. Sudah kesekian kalinya dalam hidupku aku berterima kasih memiliki ipar sebaik dia. Beruntung sekali kakak kandungku itu bisa mengenal dan menikahinya. Sungguh!
"Omong-omong, bagaimana kalo kita memesan pria penari striptise?" bisik Farah dengan senyuman genitnya.
Aku membesarkan bola mata terkejut. "Tidak! Aku melarang. Serius! Vicky akan marah kalau tau!"
"Ayolah, dia pasti juga sedang pesta bujangan dan menikmati satu wanita dipangkuannya!"
"Jangan menakutiku Farah! Vicky tidak akan melakukan itu," ucapku berusaha meyakinkan diri.
"Benarkah?" Farah tersenyum jahil. Oh, batalkan ucapanku tadi tentang bersyukur memiliki ipar sepertinya. Terkadang dia bisa menjadi sangat-sangat menyebalkan.
"Pokoknya tidak ada pria striptise!"
Farah menghembuskan nafas kecewa. Dia membuat bibirnya manyun dan mengatakan ya sudahlah, lalu berdiri meninggalkanku.
Sepeninggalannya, aku segera melirik ponselku diatas meja. Yang sudah bercampur dengan botol minuman, gelas-gelas, rokok dan sampah-sampah plastik entah makanan siapa. Sedari tadi ponsel itu tidak berbunyi. Memang, Vicky sudah mengatakan kalau dia akan mengadakan pesta bujangan malam ini. Aku mengizinkannya karena tadi Vicky benar-benar menepati janjinya menemaniku seharian mengurus pernikahan. Jadi tidak ada salahnya dia diberi kebebasan untuk sedikit nakal, jika perkataan Farah itu benar. Tapi kenapa aku gelisah?
Aku memutar bola mataku. Tampaknya aku memang wanita pencemburu. Yah, setidaknya aku tau bagaimana kabar priaku ini malam ini.
Kuputar nomor telefonnya dan mencoba menghubunginya. Aku hanya tersambung dengan bunyi tut-tut yang tak henti hingga operator yang menjawab. Dan panggilan ketiga, aku benar-benar menyerah. Vicky ternyata memang tengah bersenang-senang sehingga melupakanku. Baiklah, ini tidak menyenangkan.
Kuletakan ponsel itu kembali ke meja. Kulipat tanganku didepan dada, kesal. Tapi kulihat kembali temanku yang bersenang-senang. Ah, setidaknya ada mereka disini.
***
Vicky's POV

You're My HabbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang