Canda Tawa

847 55 0
                                    

Terpaan angin sepoi-sepoi menyapa setiap insan yang saat ini sedang berada ditengah hamparan perkebunan teh, melakukan kegiatan syuting mereka. Matahari yang semakin siang semakin terasa menyengat, sinarnya menyilaukan mata, enggan untuk beradu pandang. Mereka memutuskan untuk menghentikan kegiatan syuting, matahari sudah berada tepat diatas kepala, menandakan tengah hari.

Nazar melihat Rahma beserta para kru yang lain sudah mulai beristirahat, kemudian dia mengambil sepedanya dan menghampiri mereka.

"ikut aku, yuk!" ajak Nazar, ketika sudah berada ditempat Rahma yang  sedang duduk santai bersama para kru, didalam sebuah rumah mungil, atau biasa disebut dengan nama 'pondok'.

"kemana?" tanya Rahma, berjalan keluar menemui Nazar.

"nanti juga tau... Ayo ikut saja!"

Rahma menurut, menaiki boncengan yang berada dibelakang sepeda itu. Lalu Nazar langsung mengayuhkan sepedanya menjauh dari perkebunan itu. Membawa Rahma ke tempat yang dulu sering mereka datangi, walaupun kini sudah tidak sama lagi dengan keadaan diwaktu dulu.
Ditengah perjalanan, Rahma meminta Nazar menghentikan ayuhannya, karena Rahma tertarik untuk mengabadikan potret pemandangan yang ada disekitarnya itu. Rahma segera turun dan mengambil ponselnya, kemudian membuat video menggunakan ponselnya itu. Rahma mengabadikan semua pemandangan yang ada dihadapannya itu dalam sebuah video, tidak lupa memasukkan dirinya dan Nazar menjadi salah satu objek videonya. Nazar tau apa yang sedang dilakukan Rahma, ketika mengambil gambarnya. Tadinya dia ingin protes seperti biasa, tapi saat melihat senyum dan kebahagiaan Rahma yang begitu sumringah, membuatnya secara tidak sadar ikut terbawa larut dalam senyumnya juga. Senyum balasan untuk Rahma, lebih tepatnya.

Disisi jalan yang terlihat adalah tanaman bunga tidak tertata dengan rapih, dengan jenis yang berbagai macamnya, namun tetap indah dipandang. Sedangkan disisi yang lain terlihat perkebunan teh yang sangat luas, dari kejauhan nampak elok. Perkebunan itu tidak hanya milik Nazar, tapi milik beberapa penduduk setempat.

"kamu tau gak? Aku selalu rindu dengan suasana desa ini... Aku selalu berdoa semoga bisa datang kesini lagi, dan Alhamdulillah terkabul juga." ujar Rahma, masih tetap dengan ponsel ditangannya, memotret gambar dan sesekali membuat video.

"apa hanya tempat ini yang kamu rindukan?" pertanyaan Nazar membuat Rahma menghentikan kegiatannya, lalu memandang kearah lawan bicaranya.

"iya..." jawab Rahma, lalu diiringi tawa kecil darinya. Sedangkan Nazar, hanya diam menunggu lanjutan kalimatnya, Nazar tau Rahma belum menyelesaikan ucapannya. "dan, kamu." lanjut Rahma, mengundang tarikan disudut bibir Nazar, hingga menghasilkan sebuah senyuman indah.

"aku kira kamu sudah lupa padaku, waktu pertama ketemu kan kamu gak ngenalin aku."

"bagaimana bisa aku ngenalin kamu, dulu kamu kan hanya seorang anak kecil, yang jorok dan suka ngupil. Tapi coba lihat sekarang? Beda banget! Nazar, tapi kok kamu bisa ngenalin aku?"

"enak saja ngatain aku suka ngupil segala! Kamu juga dulu suka kentut sembarangan." Nazar tertawa sejenak, mengingat masa kecil mereka dan kebiasaan buruk mereka. "gimana aku gak ngenalin, orang kamu sering muncul dilayar kaca. Semua orang juga pasti kenal sama kamu, Rahma."

"udah, udah, jangan buka aib, malu, hehe... iya juga ya, aku sampe  lupa!" mereka tertawa bersama, lalu Rahma kembali membuat video yang berisi mereka berdua, Nazar tidak menolak lagi. Kini malah mengikuti gaya Rahma, yang terkadang membuatnya malu sendiri melihat ekspresinya, agak-agak berlebihan memang.

Ditengah keasyikannya membuat video, tiba-tiba terdengar suara adzan berkumandang, Nazar segera mengajak Rahma menaiki sepedanya, dan menghentikan aktivitasnya kemudian membawanya pergi dari tempat itu dengan mengayuh sepeda.

Sesampainya dimasjid, Rahma shalat didekat seseorang yang ternyata sudah mengenalnya, tapi seakan menjaga jarak dengannya, orang itu tidak ingin menyapa Rahma, karena dia memang tidak suka pada Rahma.
Setelah selesai shalat, Rahma bersalaman dengan semua wanita yang berada didekatnya, tapi ketika sampai disamping seseorang, wanita itu malah berbalik hendak pergi.

"kamu Desy, kan?" tanya Rahma, menahan kepergian Desy.

"iya, kenapa? Aku gak ada urusan denganmu." jawabnya jutek.

"kamu gak ada urusan denganku, tapi jawabanmu seakan kita punya masalah! Kamu kenapa?" Rahma masih ingin tau alasan Desy selalu jutek padanya.

"jadi kamu mau tau? Setelah tau apa yang akan kamu lakukan? Bisakah kamu segera pergi dari desa ini, dan jangan ganggu Nazar lagi!" ucap Desy dengan suara pelan namun terasa menusuk kedalam hati Rahma.

"kamu tidak suka melihat aku dekat dengan Nazar? Dari kecil kami memang sudah berteman. Dan kalo kamu mau ikut bergabung dengan kami juga gak apa-apa kok.." Rahma berusaha bersikap setenang mungkin, menghadapi orang seperti Desy, sepertinya harus dengan kesabaran ekstra.

"gabung? Maaf, aku tidak tertarik." ucap Desy, lalu pergi meninggalkan Rahma. Dan Rahma berjalan dibelakangnya.

Mereka kini sudah berada diluar masjid, Nazar dengan sepedanya menghampiri mereka. "Rahma, sampai jam berapa break syutingnya?"

"jam satu." jawab Rahma.

Desy berjalan mendekati Nazar. "kapan kita belajar ngaji lagi, Nazar? Kamu terlalu sibuk dengan artis itu."

"nanti sore, setelah ashar ya, insya Allah aku ada waktu." terang Nazar pada Desy. Kemudian bertanya pada Rahma, "kita berangkat sekarang? Kamu kan juga belum makan... Ayo!"

Rahma melihat kearah Desy yang masih diam ditempatnya, disamping Nazar. "Desy, kamu mau ikut gak?" ajak Rahma dengan sopan.

"gak. Aku ada urusan lain, kalian berdua saja!" Desy berjalan cepat meninggalkan mereka, saking terburu-burunya sampai kakinya tersandung batu kerikil pinggir jalan. "auww!" pekiknya kesakitan, ternyata kuku kakinya ada yang berdarah, karena batu kerikil itu.

Rahma berlari menyusulnya, menuntun Desy berjalan, lalu menyuruhnya duduk disalah satu kursi terdekat dari tempat kejadian. Dilihatnya kuku kaki Desy yang sedikit terkelupas itu, Rahma mencari sesuatu didalam tasnya, kemudian mengeluarkan sebotol kecil obat merah. Meneteskannya pada kuku Desy yang berdarah itu. Desy meringis merasakan perih pada kakinya, tapi dia juga tidak menolak pertolongan Rahma.

Setelah Rahma selesai mengobati lukanya, "terimakasih.." ucap Desy.

"sama-sama... Coba kamu berdiri, bisa jalan gak?" usul Rahma, Desy berdiri tapi seperti masih menahan sakit. "kalo gak bisa biar nanti diantar pulang oleh Nazar saja."  Rahma melirik kearah Nazar, dan Nazar terlihat tidak terima dengan saran Rahma itu. "Nazar, tolonglah. Kasihan Desy kalo harus jalan, sementara kakinya pasti perih begitu. Kamu anterin dia ya!" kata Rahma, bukan lagi kalimat permintaan, tapi sudah menjadi kalimat perintah. Dan Nazar, tidak bisa menolak perintah teman kecilnya itu.

"terus, kamu gimana?"

"kamu gak usah khawatir, aku tau jalan kok. Jadi gak mungkin nyasar... Kamu tenang saja."

Akhirnya Desy pulang diantar oleh Nazar. Setelah melihat mereka pergi, dan menghilang ditelan kejauhan, Rahma berjalan mencari warteg, karena sebenarnya dari tadi Rahma menahan lapar.

"kamu dari mana saja? Aku nyariin, eh malah ketemu disini." sapa seseorang pada Rahma. Dia adalah Eko, lawan mainnya dalam film terbarunya itu.

"tadi habis dari masjid, terus sekarang mau nyari warteg nih." balas Rahma.

"ayo aku antar! Aku juga baru selesai makan. Dan aku tau tempat makan yang masakannya enak dimana." ajak Eko, dan langsung disambut anggukan oleh Rahma.

***___***

Karena hati, memilihmu {ending}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang