Menata Masa Depan

813 50 12
                                    

Rintik hujan membasahi bumi, menghapus dahaga pada tanah yang sempat kering kekurangan nutrisi. Ritmenya semakin cepat dan deras, terdengar seperti balapan liar. Tidak ada lagi orang berlalu lalang dijalanan, mereka memilih diam berteduh didalam rumah.
Begitu juga dengan Rahma dan para pemain juga para kru yang tidak bisa melanjutkan proses syutingnya. Mereka berkumpul didalam rumah ketua RT itu, menanti hujan reda.

"Rahma, mau minum wedang jahe tidak? Ini om tadi beli di warung depan." om Surya menawarkan segelas wedang jahe pada Rahma, meletakannya diatas meja. Ia sadar, mungkin Rahma masih kecewa padanya, karena kejadian yang dilihat Rahma kemarin. Tapi mau bagaimana lagi, memang begitu kenyataannya.

Rahma melihat gelas yang diletakan om Surya diatas meja itu, lalu beralih memandang om Surya. "kenapa harus Ibu sih? Apa tidak bisa, om belajar menerima istri om sendiri?" ucap Rahma lirih, tidak ingin didengar oleh banyak orang, yang sedang berbincang diruang tamu. Sedangkan Rahma dan om Surya di teras belakang, melihat hujan yang kian semakin deras, menyamarkan suara-suara lain.

Om Surya yang sebelumnya hendak pergi meninggalkan Rahma, kembali duduk di kursi kayu yang berjejer mengitari sebuah meja ditengahnya. Ia duduk disebelah kanan Rahma. "kamu tidak akan mengerti, karena kamu tidak berada dalam posisiku... Dimana dulu kami selalu bersama, hari-hari yang ku lalui terasa penuh warna. Kamu mirip dengan Ibumu, selalu bisa membuat orang lain tersenyum, serta tidak mudah menyerah. Tak pernah lelah untuk belajar dan terus mencoba, hingga mampu menggapai mimpi. Aku tidak berani merusak persahabatan kami dengan mengungkapkan perasaanku padanya, tapi aku selalu menjauhkan dia dari laki-laki yang berniat mendekatinya. Karena aku ingin menjadi satu-satunya orang yang selalu ada untuknya. Aku ikuti semua mimpinya, hingga aku melupakan mimpiku sendiri... Saat dia memilih bersama Ayahmu, kamu tau apa yang aku lakukan ketika itu?" ia bertanya pada Rahma, namun Rahma hanya diam. Rahma tidak ingin memotong cerita om Surya yang menurutnya belum selesai itu.

Gelengan pelan dari Rahma, membuat om Surya melanjutkan ceritanya. "aku baru mengatakan perasaanku saat Ayahmu dengan serius hendak menjadikan Ibumu sebagai istrinya. Yang ada dipikiranku hanya keyakinan bahwa Ibumu pasti lebih memilihku daripada orang yang belum lama dikenalnya. Tapi ternyata dugaanku salah. Ibumu terlanjur jatuh hati pada Ayahmu, dan menganggapku sebagai sahabatnya, tidak pernah lebih, hingga saat ini..."

"seharusnya tidak sulit untuk om melupakan Ibu, apalagi Ibu juga tidak pernah memberi harapan pada om, kan?" Rahma mulai sedikit menaikan nada suaranya, bersaing dengan derasnya suara air hujan.

"kamu hanya mendengar, tanpa merasakan seperti apa menjadi om. Om tidak punya mimpi lain, selain bersama Ibumu. Hidup bersamanya adalah satu-satunya mimpi om. Apa kamu pernah, memimpikan sesuatu, hingga kamu menjadikan itu sebagai satu-satunya tujuan hidupmu? Seperti apa rasanya saat kamu tidak bisa menggapainya?" suara om Surya juga mulai naik, mengikuti nada suara Rahma sebelumnya. Rahma menengok kearah pintu, karena dirasanya ada seseorang yang sedang berdiri disana. Dan ternyata memang benar.

Eko terlihat sangat kecewa mendengar pembicaraan mereka. Jadi selama ini Rahma tau tentang wanita yang masih diharapkan oleh Ayah tirinya itu? Lalu kenapa Rahma tidak pernah membahas itu dengannya?
Secepat kilat Eko berbalik arah, pergi meninggalkan Rahma dan om Surya yang tidak tau harus berbuat apa untuk menjelaskan pada Eko.
Perlahan Rahma bangkit dari duduknya, lalu berjalan sedikit berlari mengejar Eko yang saat ini sudah menaiki mobilnya. Rahma masuk dikursi penumpang, dan Eko sadar akan keberadaan Rahma. Namun hanya diam tanpa menyapa ataupun menyuruhnya turun. Eko malah menstarter mobilnya, kemudian melajukannya dengan cepat.

Rahma memejamkan matanya, sambil tiada henti merapalkan doa-doa dengan sesekali beristighfar agak keras. Membuat Eko sedikit mengurangi laju mobilnya. Dan tidak lama kemudian, menepikan mobilnya ke salah satu tempat parkir.
"mau sampai kapan kamu mejemin mata kayak gitu?" pertanyaan dari Eko menyadarkan Rahma dari ketakutannya yang sedari tadi terasa menghantuinya. Rahma segera membuka matanya, melihat mobil sudah berhenti, dan Eko menatapnya dari kaca spion tengah.

Karena hati, memilihmu {ending}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang