"Gue tau. Gue cuma cewek bego dan gatau diri yang entah kenapa masih di beri waktu untuk hidup di dunia ini."~Naraya.
***
Nara berjalan kesal menuju kelasnya. Ekspresinya datar tanpa menunjukkan emosi yang sedang dirasakannya. Bahkan, dari 20 menit yang lalu sebelum dia sampai di sekolah rasa kesal itu masih terasa."Gue tuh gamau ngerasain hal kek gini. Sumpah."
Nara berucap untuk kesekian kalinya. Jujur, dia tak ingin terus menerus merasakan hal yang mungkin disebabkan oleh masalah yang sama. Ini terasa berulang. Nara bosan merasakannya. Hanya membuatnya semakin hancur saja.
Nara memperlambat langkahnya, merasa jalanan di koridor sekolah terasa lebih jauh kali ini. Dia lalu berhenti dan tangannya mengacak rambut panjangnya pelan. Lalu merapihkan rambutnya kembali setelah itu.
Pukul 6.45. Limabelas menit lagi bel masuk pasti berbunyi. Membuat Nara semakin kesal. Dia lalu kembali berjalan menuju kelasnya dengan sedikit tergesa. Mengabaikan panggilan panggilan genit yang di ucapkan oleh para siswa yang melihatnya.
Diujung koridor, sudah terlihat belokan menuju kelasnya. Membuat Nara semakin mempercepat laju langkahnya. Membayangkan kursinya yang berada di dua paling belakang.Bruk! Tubuh Nara sukses terdorong kebelakang. Membuat Nara semakin badmood. Tapi masih bersyukur karena tak sampai mencium lantai koridor yang ramai. Bisa bisa Nara di tertawakan oleh para siswa yang melewati koridor ini.
Nara menggerutu, lalu mendongak untuk melihat orang yang telah menabraknya. Adit. Membuat Nara men-datar-kan wajahnya.
"Ups, maaf. Gak sengaja. Ada yang sakit?" ucap Adit yang entah mengapa ekspresinya terlihat menjijikan di mata Nara.
"Gak. Minggir, mau lewat." jawab Nara dingin. Entah kenapa, Nara begitu muak melihat wajah Adit. Padahal, dengan mantan mantannya yang lain, Nara tak ada rasa seperti ini. Nara dan mereka masih menjalin pertemanan hingga saat ini. Tapi kenapa ada pengecualian untuk Adit? Seperti seolah olah hati dan otaknya menyuruhnya untuk menjaga jarak dari Adit.Mendengar ucapan Nara, sontak membuat Adit tertawa. Seperti inikah yang di tunjukan Nara ketika hubungan mereka telah berakhir?
"Kenapa? Kok jutek banget. Ada masalah sama gue? Hm, mantan?" tanya Adit menekankan kata mantan terhadap Nara.
Nara menggeleng, lalu berusaha berjalan melewati Adit. Tiba tiba tangannya di tahan oleh Adit. Membuat Nara menatap Adit tajam. "Mau apa lo?" ucapnya sarkatis. Nara benar benar tak ingin berurusan dengan Adit. Nara merasa bahwa Adit harus ia jauhi.
"Weiss, selow beb. Gue gamau minta apa apa. Cuma satu hal."
Ucapan Adit membuat Nara mengernyit heran. Ini maksudnya apa? Bilang gak mau apa apa tapi minta satu hal. Dan lagi, kata beb membuat Nara merinding. Geli.
"Apa?" tanya Nara ogah ogahan.
Adit mendekat, membuat tangan kiri Nara yang tak di tahan menahan tubuh Adit agar tidak semakin mendekat. "Balikan yuk?"
Nara tertawa renyah, "Apa? Balikan? Ogah."
Cekalannya tiba tiba menguat. Membuat Nara mau tak mau meringis menahan rasa sedikit perih yang di timbulkan.
"Oh. Lo nggak mau? Lo bakal nyesel Ra."
Nara menatap Adit tajam, "Lo ngancem gue ha? Gatau diri lo."
Cekalannya semakin kuat, "Lo nyesel karena udah nolak permintaan gue Ra. Lo tuh bego. Lo tuh yang gatau diri. Dan dengan lo nolak permintaan gue, itu sama aja lo nyerahin sesuatu berharga yang lo punya ke gue."
Nara meneguk ludahnya. Cukup kaget dengan ancaman Adit. "Gue tau. Gue mungkin cewek bego dan gatau diri yang gatau kenapa masih dibiarin idup sampe saat ini. Terus, emang kenapa? Cewek bego dan gatau diri ini sama sekali gak takut sama ancaman seorang Aditya Jonshon." ucapnya seolah tak gentar.
Adit tertawa pelan, lalu melepas cekalannya. "Bagus deh, besok lo bakal ngelihat kejutan apa yang bakal gue berikan."
Adit mendekat. Lalu mengecup pipi Nara, "Bye sweetheart!" Lalu berjalan pergi meninggalkan Nara sendiri dengan tatapan bertanya setiap murid yang lewat. Mungkin mereka tidak sengaja melihat adegan Adit mencium Nara tadi.
Nara terdiam. Kaku. Kaget. Bukan karena kecupan singkat di pipi. Tapi ancaman yang seolah olah terdengar seperti benar akan di lakukan. Nara tidak tau sifat Adit seperti apa. Dia hanya tau bahwa Adit cowok tampan yang jago karate di SMA Pelita. Selain itu, tak ada yang ia ketahui dari seorang Aditya Jonshon. Nara sedikit takut. Takut jika suatu saat ancaman Adit benar benar menjadi nyata.
Hingga suara bel masuk membuat Nara tersadar akan lamunannya. Dan berjalan menuju kelas dengan ekspresi tenang. Berusaha menutupi raut kecemasan di wajahnya.
***"Lo tadi kok nyampenya telat? Untung tadi pak Karso belom masuk. Kalo udah pasti lo udah di suruh ngelakuin hal gila ama dia." cecar Dytha ketika mereka berempat sedang makan di kantin.
Tadi, setelah kejadian bertemu Adit, Nara jadi telat masuk kelas. Untungnya, kelasnya belum di masuki guru killer pak Karso. Murid sering menyebutnya pak Kumis. Jelas saja, kumis hitam yang mulai ditumbuhi uban di ujungnya begitu lebat. Seperti hutan. Nara curiga, ada kutu bersarang di kumis pak Karso.
"Ketemu fans tadi." jawab Nara tak perduli.
"Siapa? Orang yang nembak lo lagi?" tanya Daffa.
"Lo di tembak lagi Ra?" tanya Vano, tidak menyangka bahwa Nara selaku itu.
Nara diam. Tak berminat menjawab pertanyaan dua temannya yang paling ganteng ini.
"Iya apa Ra? Kok lo gak cerita?" huft. Nara menghembus nafas kesal. Sekarang pertanyaan yang sama harus di ulang oleh Dytha. Seperti kaset rusak.
"Enggak. Tadi ketemu Adit." ucap Nara datar. Menyebutnya saja Nara ogah.
"Terus terus? Kok lo bisa ketemu Adit lagi?" Daffa yang kebetulan duduk di sampingnya memperpendek jarak duduknya.
Nara tersenyum. Lalu meletakkan sendok yang dia pegang. "Gak sengaja ketemu di belokan. Gue dan dia tabrakan. Terus ngobrol bentar."
Daffa dan Dytha melongo, "Hah?!" ucap mereka berbarengan.
"Lo ngobrol apa sama dia Ra?"
"Lo gak di sakitin sama dia kan beb?"
"Adit itu siapa sih?" tanya Vano membuat Dytha dan Daffa melotot gemas ke arah Vano. Ya ampun! Apasih yang Vano tau?
Nara tertawa pelan. Lalu menyenderkan kepalanya ke bahu Daffa. Ke dua tangannya memegang sebelah tangan Vano dan Dytha. Membuat Daffa mengelus rambutnya pelan dan Dytha menggenggam balik tangan Nara. Sedangkan Vano? Dia mati matian menahan rasa aneh di hati dan pikirannya.
Nara menatap Dytha, Daffa dan Vano bergantian, "Vano, Adit itu mantan gue yang terakhir. Dan kalian tau? Dia tadi ngajakin gue balikan. Dan gue gamau, terus Adit ngancem gue. Dia bilang, katanya gue bego karena udah nolak dia. Terus, gue bakal nyesel dan besok, dia bakal ngasih kejutan buat gue." jelas Nara tenang.
"Gue yakin, kejutan yang Adit maksud bukan hal yang bagus." ujar Dytha. Sok sokan memasang tampang serius.
"Apapun itu, mulai dari sekarang, jangan ada yang menjauh dari Nara." tukas Daffa. Membuat Dytha dan Vano mengangguk.
"Justru kalian yang jaga diri kalian. Gue yakin. Disini, yang dia incer bukan gue. Tapi orang terdekat gue." ucap Nara ketika dia ingat ucapan Adit tentang sesuatu berharga yang dia punya.
"Gak perduli siapa yang dia incar di sini. Yang penting, kita semua tetep sama sama." Kini Vano yang bicara. Benaknya tak tau kenapa merasa kesal ketika ada seseorang yang sedang berusaha menyelakakan teman temannya. Terutama Nara. Vano yakin, orang yang bernama Adit itu akan melakukan hal yang bisa membuat Nara sedih, mungkin hancur.
Dytha menggenggam erat tangan Nara, lalu menatapnya. "Percaya sama kita Ra. Semuanya bakal baik baik aja. Lo, gue, Daffa, dan juga Vano. Sama semua orang yang berada di sekitar kita. Semuanya. Kita semua pasti bakal baik baik aja." Ucap Dytha tegas, berharap bahwa yang dia katakan barusan benar. Berharap bahwa besok ataupun lusa, semuanya akan berjalan seperti biasanya. Karena Dytha sendiri, bahkan tak yakin akan ucapannya.
***
To be continued.Update lagi! Maaf kalo Naraya membosankan ataupun jelek. Vote dan commentnya jangan lupa. Tolong beri saya support.

KAMU SEDANG MEMBACA
Naraya
Teen FictionTentang Nara, gadis dingin yang tak mau mengenal cinta. Yang tak pernah percaya cinta itu ada. Bukan karena dia tak pernah merasakannya, tapi justru karena cinta yang telah ia rasakan. Raja, Adik besar yang sangat di cintainya. Adik besar yang jadi...