Nara berjalan meninggalkan cafe dengan perasaan kesal. Bagaimana tidak? Ia merasa tersindir dengan buku yang bodohnya dia beli tadi. Lalu dengan latte yang paitnya minta ampun. Dan lebih lebih menyebalkan lagi karena dia malah tidak membawa roti bakarnya. Padahal ia belum makan sama sekali tadi. Ah, sia sia saja sepertinya dia membeli makanan dan minuman tadi.
"Nyebelin banget sih. Kenapa penulisnya bikin cerita kek gitusih? Gaada ide lain apa? Terus juga, latte kok paitnya minta ampun. Dia kira gue diabet apa? Sampe sampe gaada rasa manisnya sedikit pun."gerutu Nara kesal.
Nara tiba tiba berhenti sejenak ketika melewati toko buku tadi. Dia berfikir sejenak, "Apa ya yang aneh? Kek ada yang kelupaan gitu." Nara berfikir lagi. Lalu tiba tiba menepok jidatnya, "Astaga! Pinter banget sih! Novel gueee. Omegat!"
Nara segera berlari kembali menuju ke cafe yang tadi ia kunjungi. Tak perduli dengan beberapa orang yang melihatnya heran. Tak perduli dengan orang yang ia tabrak saat ia berlarian. Yang terpenting sekarang adalah nasib Novel novel barunya. Sayang jika hilang atau diambil orang. Masih baru itu. Bahkan segelannya masih ada. Itukan sayang, baru juga berapa menit dia membelinya. Kan ga lucu kalo diambil orang. Masalahnya harganya tuh mahal. Setidaknya 280 ribu telah ia habiskan untuk membeli buku buku itu. Kan sayang.
Ketika cafe sudah mulai terlihat, dia berlari dengan tergesa dan memasuki cafe tersebut. Dia mencari meja yang tadi ia duduki. "Sial! Ada yang dudukin lagi. Ah bodoamat. Yang penting novel gue." Nara membulatkan tekadnya. Lalu berjalan mengahampiri meja yang Sudah berisi 2 laki laki beda usia. Yang satu sepertinya seumuran dengannya. Dan yang satu mungkin seumuran dengan putrinya atau mungkin lebih tua.
"Ehm, misi, saya mau ngambil kantong saya. Ketinggalan disini." ucap Nara tanpa ekspresi dan tanpa melihat wajah orang yang sedang menduduki meja itu. Dia mengambil kantong plastiknya yang berada di meja. Setelah mengambilnya, dia lalu bergegas pergi meninggalkan meja itu.
"Nara!" Ia menoleh dan mendapati pria yang tadi duduk di mejanya memanggilnya. Setelah di cermati wajahnya baik baik ternyata itu Vano. Nara masih diam ditempatnya. Tanpa tertarik untuk kembali ke meja.
Vano terlihat mengajak Nara untuk duduk. Nara terlihat ragu. Lalu dia berjalan kearah Vano. "Apaan?" tanya Nara ketika sudah berada dihadapan Vano.
Vano tersenyum, lalu mengajak Nara duduk. "Sini, ngikut makan." ajak Vano.
"Nggak, makasih. Gue abis makan disini tadi." tolak Nara.
Vano terlihat menganggukan kepalanya tanda mengerti. Lalu menoleh ke arah anak kecil yang sedari tadi disampingnya. "Naza, salam dulu. Ini kak Nara namanya." ucap Vano memerintahkan adiknya untuk bersalaman dengan Nara.
Naza terlihat mengangguk, lalu menjabat tangan Nara, "Naza, adiknya kak Vano." ujar Naza datar.
"Nara, temennya Vano."
"Yaudah, gue pergi dulu ya Va. Dah!" Nara melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Vano dan adiknya.
"Siapa kak?" tanya Naza ketika Nara pergi meninggalkan mereka.
"Kayak yang dia bilang tadi, temen." ucap Vano, lalu melanjutkan makannya.
"Suka ya kak?" tebak Naza.
Vano mengernyit, lalu menggeleng. "Nggak,"
"Oh, dikira suka. Tapi menurutku jangan deh kak, dia jutek soalnya."
Vano menggeleng pelan. "Situ nggak ngaca? Kalo dia jutek terus kamu apa? Cuek? Flat? Sama aja kali."
"Tampan."
Vano sontak tertawa kencang mendengar ucapan adiknya. Membuat orang orang melihatnya, "hahah, pede banget kamu ya. Masih kecil juga."
"Aku udah SMP kak. Cuman beda 2 tingkat sama kakak." ujar Naza tenang. Memang benar Naza smp. Nazala adalah murid akselerasi. Saat dia berumur 5 tahun yang seharusnya TK, dia sudah menginjak kelas 2 sd. Umur 6 tahun dia sudah menginjak kelas 4 sd. Umur 7 tahun dia kelas 6 sd. Dia lalu berhenti sekolah pada umur 8 tahun, karena ia tak mau langsung masuk smp. Setelah dengan segala bujuk rayu dari sang ibu dan kakaknya, pada umur 10 tahun lebih 8 bulan (yang artinya saat ini). Dia masuk menjadi siswa SMP terkenal di daerah puncak, Bogor dan nggak main main, dia sudah terdaftar sebagai murid kelas 3 SMP. Dia mulai masuk hari senin besok. Karena dia baru menyelesaikan berkas berkasnya dari Sd. Bahkan hari jum'at kemarin dia baru mendapatkan ijazah sd nya. Sebenarnya, otaknya pun bisa mengerti dan memahami pelajaran SMA. Tapi dia merasa tak enak pada kakanya yang baru masuk SMA kelas 2. Kan ga lucu kalau dia dan kakaknya bertemu di kelas yang sama?
"Iyadeh, yang baru masuk SMP. sok jenius." ucap Vano.
"Faktanya, aku memang jenius." Ralat Naza tenang, membuat Vano diam mengalah. Atau memang sudah kalah?
***
"Daff, lo tau nggak?" tanya Nara lalu bersender pada bahu Daffa.Daffa mengedikkan bahunya, membuat kepala Nara ikut naik seirama dengan pergerakan bahu Daffa, "Ya nggak tau lah beb, kan lo belum ngasih tau."
Nara menghembuskan nafasnya, "Gue tuh lagi kesel. Masa tadi gue beli buku yang isinya tuh nyindir gue banget."
"Buku apaansih? Tentang bocah SMA yang udah nggak perawan ya?" goda Daffa.
Mendengar godaan Daffa membuat Nara menjewer telinga Daffa, "Yakali Daff, lo tuh kalo ngomong suka gitusih, suka bikin kit ati."
"Halah. Biarin aja. Kan lo bebep gue." jawab Daffa santai.
"Kapan ya Daff gue punya rumah sungguhan?" ucap Nara membayangkan dirinya mempunyai 'rumah sungguhan'. Pasti akan menjadi sumber bahagianya.
"Lo juga udah punya kali beb. Gak usah nunggu kapan." ucap Daffa.
Nara menoleh ke arah Daffa, mengernyit bingung, "Maksud lo?"
Daffa beralih menatap manik coklat Nara, manik coklat yang membuat tatapan Nara terlihat begitu indah, "Iya, lo udah punya rumah sungguhan, lo punya kita. Gue, Dytha, Vano, Raja, dan Oel. Kita semua rumah lo Ra. Kita keluarga lo. Jadi, lo nggak perlu pergi jauh buat nyari rumah idaman, lo juga nggak usah nunggu beribu ribu tahun buat nunggu lo dapet rumah yang seaungguhnya. Ada kita Ra, kita."
Apa yang dikatakan Daffa membuat Nara terhenyak. Daffa benar, Nara sudah mempunyainya. Tak perlu jauh jauh dia mencarinya, rumah itu sudah ia punya. Memang tak berbentuk. Tapi, apakah rumah selalu mempunyai bentuk? Rumah sebenarnya yang ia punya adalah hati yang mereka berikan untuk Nara. Hati yang akan selalu menyayangi Nara, hati yang selalu menguatkan tekad Nara. Hati yang selalu menjadi tempatnya bersandar.
Nara lalu tersenyum, Ia bergegas memeluk erat tubuh Daffa. "Makasih Daff, lo selalu ada buat gue. Makasih..."
***
"Tak perlu sebuah rumah mewah untukku, cukup sebuah rumah yang bisa menerimaku dalam keadaan susah maupun senang. Bagiku itu... Cukup." ~Naraya
***
TBC
Vote & Comment. Penulis butuh kritik dan saran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Naraya
أدب المراهقينTentang Nara, gadis dingin yang tak mau mengenal cinta. Yang tak pernah percaya cinta itu ada. Bukan karena dia tak pernah merasakannya, tapi justru karena cinta yang telah ia rasakan. Raja, Adik besar yang sangat di cintainya. Adik besar yang jadi...