Chap 16

2K 127 3
                                    

"Tolong, jangan buat aku yang sedang jatuh, merasakan sakitnya patah." ~Jonathan Rivano.
***

Dytha menyender pada bahu Daffa. Ia mulai merasa sedikit bosan karena menunggu lama. Vano sudah pulang ke kostnya. Teringat bahwa dari pagi Naza sudah ditinggal olehnya. Sedangkan mereka berdua, masih setia menunggu Nara. Mama Nara tadi izin untuk pulang dan menitipkan Nara pada mereka.

"Ngantuk gue nih Daff."

Daffa tersenyum. Lalu menaruh kepala Dytha di bahunya. "Tidur aja lah. Ntar gue bangunin kalo udah pagi. Haha."

Dytha menggerakkan kepalanya, mencari kenyamanan di bahu Daffa. "Serah lo deh Daff, ngantuk banget. Selamat tidur." lalu menutup mata dan mulai menjelajah mimpinya.

Daffa terdiam. Lalu menatap ke dinding putih rumah sakit. Mengingat kepingan masa lalu yang entah kenapa harus diingat kembali olehnya. Bukan, tentu Daffa tak memiliki kenangan dengan Rumah Sakit ini atau Rumah sakit lainnya. Tapi, dinding putih yang mengingatkannya akan kenangan di masa lalunya.

Orang bilang, putih itu suci. Bersih. Tapi menurut Daffa, putih itu dingin. Dia tak suka warna putih. Tapi semua hal yang berhubungan dengannya harus berhubungan juga dengan warna putih. Kulitnya putih, Seragam sekolahnya putih. Bayangkan saja, dia hampir menempuh pendidikan wajib belajar dua belas tahun. Dan dia, harus menggunakan seragam berwarna putih. Mulai dari sekolah dasar. Hingga kini ia sudah kelas dua SMA.

Kenapa harus putih? Kenapa tidak hitam? Yang sekotor apapun, tak akan terlihat kotornya. Dia benci putih. Mengingatkannya akan hal buruk di masa lalunya. Teringat ketika dulu dirinya dikurung di dalam kamar serba putih ketika orang tuanya bertengkar. Dan melihat orang tuanya bercerai. Saat itu, di pengadilan. Ibu Ayahnya menggunakan kemeja putih. Membuat dia semakin tak menyukai warna putih. Dan yang  hingga saat ini masih bisa diingatnya dengan jelas. Ketika cinta pertamanya, mengembalikan mawar putih yang diberinya saat ia menyatakan cintanya. Gara gara mawar putih itu, cinta pertamanya menolaknya.

Putih itu memang suci. Tapi jangan lupakan bahwa putih itu juga netral. Dia mudah dicampur dengan warna lain. Mudah terpengaruh.
***
Sudah sekian lama Nara duduk. Menunggu Raja yang belum juga membuka matanya. Melirik jam yang sudah menunjukan pukul sebelas malam. Hampir tengah malam. Tapi, entah kenapa kantuk belum datang. Matanya tetap setia terbuka.

Mamanya pulang dulu sebentar. Tadi izin untuk mengambil sesuatu di rumah. Melihat jam yang sudah larut, mungkin mamanya takkan kembali kerumah sakit.

Nara termenung, mengingat apa yang telah dilakukannya hari ini. Mengendarai motornya lagi, duduk sendiri seperti orang gila di taman rumah sakit. Dan menangis seperti orang gila di bawah guyuran hujan yang deras.

Dia tersenyum menyadari tingkah bodohnya hari ini. Sadar sekali bahwa hidupnya drama sekali. Bahkan, tadi dengan tololnya mengajak Raja bicara. Yang jelas jelas sedang tak sadarkan diri.

Dia menatap Raja. Melihat hidungnya di beri selang oksigen. Ya Tuhan, bahkan untuk bernafas, dia harus di bantu.

Dia mengusap wajahnya pelan. Bahkan dia baru mengingat sahabatnya. Daffa, Dytha dan Vano. Mereka seharian ini menemaninya. Dan Nara tak mengingat mereka.

Dia lalu beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar dari kamar rawat Raja. Dia menghela napas lega, ketika melihat Daffa dan Dytha masih menunggunya.

"Vano mana Daff?"

Daffa menoleh. Lalu tersenyum melihat Nara. "Pulang beb, kasian Naza sendiri di kost nya."

Nara terdiam, merasa dirinya menyusahkan. "Kalian nggak pulang?"

Daffa membuat ekspresi kesal, "Lo ngusir gue beb?"

NarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang