Chap 9

2.3K 142 2
                                    

"Apa salah jika aku membenci orang itu? Walau pun mungkin, dia adalah orang yang telah berkorban banyak hanya untukku."~Naraya.
***

Nara kini tengah duduk di kursi panjang halaman belakang rumah Daffa. Dia tidak sendirian. Dia bersama Dytha yang juga duduk di sampingnya.

Malam ini terasa sunyi bagi mereka. Tentram. Sungguh, bahkan bagi Nara, ini adalah malam terbaik yang pernah ada.

"Coba aja ya Ra. Kalo seandainya saat saat gini tuh lagi sama keluarga. Seru kali ya?" Ujar Dytha. Dia memandang lepas langit malam yang membentang luas. Berharap bahwa orang tuanya melihat bintang yang sama seperti yang saat ini Dytha lihat.

Mungkin, keluarganya masih utuh. Tapi tidak menyatu. Dytha tinggal sendiri di Jakarta, sedangkan Ayah Bundanya? Mereka sibuk dengan pekerjaannya. Mementingkan urusan mereka, dan akhirnya memilih tinggal di luar negeri untuk bekerja. Mungkin ini terdengar klise. Dytha hidup sendiri, tanpa didampingi Ayah Bundanya.

"Gatau kapan saat kayak gitu bisa kejadian Tha. Gue gamau terlalu ngarepin juga." ujar Nara tak perduli. Benar kan ucapannya? Untuk apa dia perduli? Tidak ada gunanya. Membuat sakit hati saja.

Dytha yang mendengar ucapan Nara menghembuskan nafas berat. Nara terlalu sensitif ketika membahas tentang hal yang berbau 'keluarga'

"Gue juga nggak terlalu ngarepin Ra. Gue cuma ngayal doang."

Putus asa. Sungguh, seolah Dytha sedang bermimpi melihat salju turun di Jakarta. Bahkan monas berubah menjadi menara eiffel secara tiba tiba. Benar benar mustahil. Tidak mungkin. Dan kenyataan itu, membuat Dytha merasakan sakit yang entah mengapa begitu menyesakkan.

Nara mengelus pundak Dytha pelan. Menyalurkan semangat yang mungkin Nara sendiripun tak punya.

"Gausah sedih Tha. Hal kek gini tuh nggak pantes dibawa sedih. Udahlah. Nunggu kebahagiaan yang sesungguhnya tuh capek. Buat apa? Mending lo bikin kebahagiaan lo sendiri. Percaya sama gue. Percuma." ujar Nara. Yang malah, membuat Dytha tersenyum kecut. Dalam hatinya berkata sedih. Bahkan sahabatnya lebih menyedihkan dari dirinya sendiri.

Dytha mengangguk kecil, "See? Menyedihkan ya? Sempurna banget hidup."

Tentunya bukan hanya untuk Dytha sendiri. Tapi untuk sahabat sahabatnya. Hidup mereka menyedihkan, entah kenapa. Dytha dengan keluarga-utuh-nya. Nara dan Raja dengan mama-papanya. Dan Daffa dengan single parentnya.

Tidak ada yang lebih bahagia diantara mereka. Percaya lah. Walaupun mungkin mereka masih tercukupi dengan segala kebutuhannya. Tapi mereka merasa kurang.

"Kalo suatu saat gue ketemu papa gimana ya Tha? Apa papa gue udah nikah lagi? Apa papa gue udah punya keluarga lagi? Apa papa gue udah punya anak lagi?" pertanyaan beruntun Nara membuat Dytha merasa sedih. Dytha sangat amat tau apa yang dirasakan Nara saat ini. Pasti kangen. Rindu.

Dytha memaksakan tawa kecil, "Haha, yakali Ra. Jahat banget papa lo sampe tega teganya kawin lagi. Terus punya anak lagi. Dia juga nyadar kali kalo dia udah tua. Udah gapantes buat punya anak bayi."

Kini giliran Nara tersenyum, miris. "Gak ada yang tau Tha. Bahkan, papa gue masih idup pun kita gak ada yang bisa ngejamin."

"Gue yakin kok Ra, dimanapun papa lo berada. Dia masih bisa ngehirup oksigen dengan bebas."

"Semoga aja."
***

Nara dan Raja membuka pintu utama rumah mereka. Rasa kantuk dan lelah mereka rasakan saat ini. Tadi di rumah Daffa mereka mengobrol banyak. Dan bercanda.

Lampu rumah telah gelap gulita. Tidak ada lampu yang menyala. Mungkin orang rumah sudah tidur. Secara, malam sudah semakin larut. Mama tidak mungkin menunggu mereka pulang.

NarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang