Capter 10

29 1 0
                                    

Entah apa yang terjadi. Aku jadi merasa baper ke kak Arsyah. Padahal sudah jelas kejadian saat itu aku saja yang terlalu ge-er. Tapi, entah mengapa rasa ini makin menjadi dan lebih menjadi daripada waktu sebelum tau namanya. Rasanya aku selalu ingin kekantin dan berharap bisa melihatnya saja. Itu sudah cukup bagiku. Bahkan, aku sendiripun tidak tau ia sudah punya kekasih atau belum.

Saat ini kelas kosong karena guru biologiku pergi. Aku dan Fatika sibuk bercerita satu sama lain. Fatika bercerita perihal gebetannya yang lain sekolah dan sering menjemputnya naik mobil. Aku sendiri jadi bingung mau menceritakan siapa karena menyebut nama Billy saja aku sudah malas. Entah, aku masih merasa bosan dan menjadi ketus kepadanya.

"Cing, buka twitter coba. Liat fotonya kak Firli." Firli itu gebetannya Fatika.

"Yaudah nih buka. Gue juga penasaran gimana mukanya."

Setelah ketemu, aku dan Fatika memperhatikan foto profile twitternya. Lumayan juga menurutku. Lalu, aku kembali ke beranda twitter. Tiba-tiba, muncul seorang yang sedang check in diPath bersama.... kak Arsyah. Otakku langsung berputar dan segera saja aku buka path. Aku coba mencari dengan nama panjangnya dan ketemu. Aku memandangnya lama. Ragu antara ingin menambahkannya ketemanku atau tidak. Aku malu. Sekarang malah jadi deg-degan sendiri.

Bismillah deh gak kenapa-napa. Aku bicara dalam hati sambil menambahkannya ketemanku. Semoga saja diterima.

"Cieee.. ngeadd kak Arsyah diPath hahaha.." ternyata Fatika melihat apa yang barusan kulakukan. Wajahku jadi merah.

"Gue udah kenal dia dari SMP tau, Cing."

"Kenal darimana?"

"Iya. Lo tau kan dulu gue SMP suka main sama anak SMP Taraka gara-gara mantan gue dulu anak situ? Nah, gara-gara itu gue jadi kenal sama kak Arsyah. Kadang suka nongkrong bareng."

"Serius lo?"

"Iya serius. Lo tanya aja Aira, Vian, sama Sonia. Gue berempat dulu suka nongkrong bareng. Malah si Aira sama Vian sempet suka sama kak Arsyah. Banyak yang nyukain kak Arsyah."

"Sekarang juga kan?"

"Iya, sih. Tapi, kalo menurut gue dia cakepan pas SMP. Jago main gitar lagi, Na."

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala. Jadi bertambah informasiku tentang kak Arsyah. Tapi, aku jadi minder sendiri semenjak Fatika bilang kalau ia banyak yang suka. Ya, wajar sih. Ia tampan dan multitalent.

******

Papan tulis putih yang sudah penuh dengan rumus trigonometri hanya kupandangi dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang setelah guru Matematikaku itu membicarakan soal orangtua. Hal yang sangat aku hindari.

"Ibu gak pernah marah kalau anak ibu nilainya jelek, Ibu wajarkan asal dia sudah belajar. Ibu juga selalu ngurusin anak Ibu secapek-capeknya Ibu abis kerja. Itu salah satu cara Ibu biar tetep deket sama anak Ibu."

Naaa, lupain. Aku membatin sendiri.

"Orangtua kalian pernah ngingetin kalian belajar gak tiap malem? Nanyain pr kalian? Hayo, jujur.. Orangtua yang bener pasti dia perhatian sama anaknya dan bakal ngurusin tentang sekolahnya."

Kuat, Na udah biasa dari kecil.

"Kadang Ibu suka bingung sama orangtua jaman sekarang, sebenernya anaknya itu jadi anak mereka apa anak pembantu? Mereka terlalu fokus mencari nafkah. Walaupun untuk anaknya, tapi tetap saja kedekatan anak dengan orangtua yang paling berharga. Kalian diberi makan, dirawat, dijagain, lebih sering oleh pembantu kalian. Peran orangtua kalian jadi berkurang."

Cukuuuuppp!! Aku meremas rambutku frustasi berusaha menutupi mataku yang sudah berkaca-kaca dengan menunduk dalam.

"Cing, lo kenapa?" ternyata Fatika menyadari gelagatku.

"Gapapa pusing aja." aku masih tetap menunduk dengan tangan menjambak rambut.

"Serius? Gue anterin ke UKS mau?"

Aku hanya bisa menggeleng saking tak sanggup berbicara. Kepingan-kepingan masa kecilku mulai tergambar dalam benakku. Ketika dahulu Papa masih kerja dikantoran, ketika dulu Mama juga sibuk kerja sehingga dari KB(kelompok bernain) sampai SMP kelas 1, aku selalu diantar dan kadang dijemput Eyang kung-ku. Aku tersadar kalau dari kecil aku selalu diasuh oleh baby sitter. Bahkan, ketika adikku masih kecil, dirumahku sampai ada pembantu dan baby sitter. Mengapa aku baru tersadar disaat aku sudah mengerti?

Aku ingat bagaimana dekatnya aku dengan Papa dahulu ketika aku belum sejauh sekarang. Walaupun Papa kerja dikantoran, tetapi jamnya masih 'lebih sedikit' bisa denganku, ketimbang Mama yang tidak bisa sama sekali.

Bell istirahat keduapun berbunyi. Aku bersyukur karena bell tersebut membuyarkan pikiranku. Kalau istirahat kedua, kelas sering sepi karena pada sholat dzuhur. Dan, tanpa alasan yang jelas, aku menangis dimejaku.

******

Seminggu sudah aku melupakan kak Arsyah. Perasaan kagum tersebut berangsur hilang dengan sendirinya. Apalagi aku juga sudah tidak pernah bertemu dengannya yang makin memudahkanku lupa dengannya.

Soal Billy? Hubunganku masih renggang. Entah, kesibukanku membuatku benar-benar jadi jarang bertemu dengannya. Perasaanku.. berangsur-angsur juga hilang. Aku jadi bingung sendiri harus bagaimana.

Black White OreoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang