Capter 2

55 1 0
                                        

Diberita banyak tersiar tentang kabar kebakaran didaerah Kemayoran. Sekitar 10 rumah terbakar. Bahkan saat disekolah ramai dibicarakan karena kakak yang ngemos dikelasku, salah satunya ada yang ikut terbakar rumahnya.

Disekolahku ini, setiap hari selasa akan ditariki uang untuk dana sosial. Misalkan, jika ada murid yang terkena musibah, orangtuanya meninggal, atau apalah itu. Kalau hari jum'at, itu beda lagi karena amalnya akan disumbangkan atau digunakan untuk fasilitas masjid.

Saat istirahat pertama, banyak segerombolan kakak kelas XI yang datang kedepan kelas. Aku yang memang termasuk cuek, bodoamat bahkan tidak tahu, sampai salah satu teman sekelasku memanggilku.

"Nina, lo dicariin sama kakak kelas didepan tuh!"

Aku langsung melotot kaget. Kok aku jadi ciut? Rasanya takut.

Dengan satu tarikan napas aku mencoba memberanikan diri untuk mendatanginya dengan wajah secuek-cueknya. Tapi yang aku dapati saat didepan kakak kelas cowok tersebut, ia malah memperhatikanku dari atas sampai kebawah. Sungguh sangat menyebalkan.

"Lo bendaharanya?" tanya kakak kelas yang tadi memperhatikanku tersebut.

"Iya. Kenapa?"

"Gini, lo tau kan yang kemaren kebakaran di Kemayoran? Tolong tarikin duitnya dong. Kan kakak kelas kita ada yang kena musibahnya, jadi minta bantuannya ya. Bilang seikhlasnya aja. Nanti kalau udah kasih ke gue ya, Mika XI IPS 3."

Dengan cueknya aku hanya menganggukan kepala dan mulai apa yang ia suruh. Teman-teman sekelasku pada bertanya tapi aku hanya mengangkat bahu tak acuh sampai ada yang nyeletuk.

"Kan udah ada dana sosial, kok dimintain lagi? Wah, gak beres nih!"

Aku langsung menepuk dahi. Tidak ingat akan hal tersebut saking tidak pedulinya.

"Tradisi kali. Mereka cari duit pake alesan klasik gitu." salah satu cowok teman sekelasku menyeletuk.

Dipalak.

Kata-kata itu kok kayaknya bikin empet aja gitu ya?

Aku langsung memintamaaf dan tidak menyelesaikan berkeliling untuk memintai uang. Langsung saja aku keluar kelas dan mencari kelas kan Mika walaupun aku tidak tahu.

Beruntunglah saat turun tangga kelantai 2, aku bertemu dengan temannya kak Mika. Aku memang tidak tahu namanya, tapi aku ingat wajahnya.

"Kak, temennya kak Mika ya?" tanyaku dengan sotoy dan berusaha tetap kalem.

"Iya. Kenapa?"

"Enggak, mau ngasih ini doang yang tadi suruh narikin duit buat yang kena musibah." aku memberi sebuah plastik yang berisi uang. Kok rasanya aku kayak bocah SD banget yang polos?

"Ohh.. Iya iya. Yaudah ntar gue kasihin anaknya. Makasih ya!" aku hanya balas mengangguk dan kembali lagi kekelas.

Sesampainya dikelas, aku hanya duduk kembali dimejaku dan mengecek hp. Faktor beda sekolah dan faktor zaman, semua bisa dilakukan hanya dengan chat dijejaring sosial. Selama disekolah ini, aku belum pernah sama sekali kekantin. Malas rasanya naik-turun tangga dan berdesak-desakan dikantin. Kalau dulu saat SMP ada sesuatu yang membuatku ingin cepat kekantin agar bisa bertemu dengan Billy, sekarang siapa yang menjadi alasanku kekantin?

Billy: msh puasa ga km?

Karena bell masuk jam istirihat belum juga berdering dan kebetulan masih bulan puasa, jadi suasana kelas menjadi ramai karena jarang anak murid yang turun kekantin.

Karenina Adj: masilah. km?

Billy: alhamdulillah. msh jg hehe. ntar plg mau dijmpt?

Karenina Adj: trsrh. kl ngerepotin gak usah.

Billy: nggak lah. yauda tar kbrn aja ya.

Bell masukpun telah berbunyi dan segera kumasukan hp kedalam saku rokku. Billy, pacaran sudah lama denganku, tetapi kalau ada apa-apa masih saja selalu bertanya dan tidak langsung ambil tindakan. Aku menghela nafas dan tetap berusaha bersyukur. Aku memang tidak bisa jauh dari orang yang aku sayang, bukannya lebay atau apa, tapi memang itulah diriku. Aku sulit kalau harus pacaran beda sekolah.

******

Karena ini bulan puasa, jadi hari ini disekolahku akan diadakan buka bersama.

Sebagai bendahara kelas, aku yang paling sibuk mengurusi menu makanan untuk menu buka kelasku, X IPA 3.

"Na, sekarang udah jam 4 sore. Makanannya belom dateng juga? Katanya jam 4." si gendut, Eja, mulai protes. Padahal kalaupun makanannya datang jam 4 juga ia masih harus menunggu 2 jam lagi.

"Sabar bang, Eja. Ngaret dikit gapapa-lah, mungkin banyak orderan juga. Ntar kalau udah sampe abangnya juga nelfon gue."

Dan benar saja, abang-abang salah satu makanan Jepang favorit yang ada di Indonesia, menelfonku dan mengabarkan kalau sudah ada didepan sekolah. Aku segera kedepan sekolah minta ditemani Riri.

Aku dan Riri sibuk mengecek makanannya takut-takut kurang, sedangkan abangnya sibuk menghitung uang yang aku beri.

"Ri, mending lo panggil anak cowok suruh bawain ini deh. Udah, gue yang urus semua." Riri haya mengangguk dan pergi mengikuti apa yang aku sarankan.

Tak lama, datanglah 4 orang cowok teman sekelasku termasuk Eja. Kurasa ia benar-benar tak sabar. Ngomong-ngomong, uang patungan kelas masih sisa, jadi kumasukan ke uang kas dan sepertinya anak-anak kelas setuju.

Satu ikat box, ada 10 bungkus makanan. Jadi, setiap cowok membawa satu ikat box. Sedangkan aku dan Riri masing-masing membawa kardus yang berisi minuman.

******

Billy tidak bisa menjemputku. Jadi, aku pulang bersama Deby. Rada bete, sih. Tapi, yaudalah.

Sekarang sudah pukul 21:47. Tapi, dari pukul 19:36 Billy tidak ada kabar yang ku pastikan main.

Billy mempunyai sekumpulan teman yang suka nongkrong disebuah warkop. Warkop tersebut adalah tempat tongkrongannya. Biasanya kalau sudah main, Billy tidak mengabariku. Sekalinya dibalas mungkin setengah jam sekali. Aku sering menunggunya pulang sampai jam 2 pagi hanya sekedar ingin chat atau memastikan ia sudah pulang. Tapi, kali ini aku sudah sangat mengantuk. Mungkin karena kecapean hari ini sekolah dan sorenya buka bersama. Dan tidak ada semenit, aku langsung tertidur dengan posisi handphone didekat kepalaku.

Black White OreoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang