Semenjak aku jadi panitia Squel, waktuku jadi tersita banyak. Tak hanya untuk Billy, bahkan keluarga dan sekolahpun juga jadi terbengkalai. Tugas jadi keteteran, akibatnya mataku menjadi tambah berkantung karena begadang.
Hari ini aku bertengkar dengan Billy. Ia marah karena aku selalu mementingkan Squel dan sekarang udah gak pernah bisa kalau ia ajak main kerumahnya. Padahal, selain dengan alasan Squel, aku juga seperti menghindar dan mencari alasan agar tidak hanya dirumahnya saja. Aku juga sudah tidak bertemu dengannya hampir seminggu.
Billy: na, aku cmn pgn luangin wkt km buat aku sedikit aja. aku kgn na main sm km. kita udah hampir seminggu gaketemu.
Nina: aku Squel mau gmn bil? km gangertiin sikon aku yg sibuk karena osis?
Billy: aku ngertiin tp km jd mentingin osis.
Nina: ini jg cmn sebulan. sbr kek.
Ya, seterusnya aku bertengkar. Entahlah, hawa lelah dan pusing mendorong amarahku keluar.
Untuk mengejar KKM disekolahku yang paling kecil 77, serta tugas yang selalu diberikan oleh setiap guru, menyita waktu SMAku dan makin membuatku gak betah bersekolah di Meridian.
******
Jumat, 26 September
Seluruh panitia Squel hari ini memakai baju ungu. Hari jumat memang hari paling melelahkan kalau Squel.
Karena aku sering tidak ada kerjaan jadi perlengkapan, aku dan Bagas sering berdua bergantian dengan kak Nidy menjadi dokumentasi.
Sore ini, aku melamun duduk dibawah pohon berdampingan dengan Bagas. Tapi, tidak ada satu katapun yang keluar dari kami berdua. Hening. Angin sepoy-sepoy menghembuskan rambutku yang ku kuncir kuda. Matahari sore nampak orange cerah. Tidak ada yang aku sukai selain suasana pagi dan sore.
Aku dan Bagas larut dengan pikiran masing-masing. Kalau aku, memikirkan hubunganku dengan Billy. Dengan rasa bosan ini, dengan waktu, dengan jarak ini, aku gak ngerti gimana cara menyelesaikan teka-teki ini. Aku gak tau, aku gak pernah belajar bagaimana menyelesaikan masalah perasaan seperti ini. Billy yang pertama kali bisa pacaran lama denganku, tapi Billy juga yang pertama kali memberikan rasa bosan itu padaku.
"Gas," akhirnya aku mencoba membuka suara, "Kalo kita lagi bosen sama seseorang tu harus gimana?"
Bagas sejenak diam menyerapi pertanyaanku. "Menurut gue, lo jujur terus lo omongin. Wajar sih, hubungan ada bosennya."
Omongin ya? Aku bertanya sendiri dalam hati.
"Susah, Gas. Gue tipe orang mendem ketimbang ngomong atau jujur. Walaupun terbuka, kalo jujur soal perasaan gitu gue paling ciut."
"Kadang, lo harus berani ngomong. Kalau lo gak pernah ngelawan rasa takut lo, keadaan gak akan berubah. Taruhan sama gue, gak ada yang lebih lega selain lo udah jujur dengan apa yang lo pendem lama."
Giliranku yang diam oleh jawaban Bagas.
"Seenggaknya dia tau, Na. Mau dia lakuin apa enggak, mau dia berubah apa enggak, dia harus denger dan harus tau."
Lagi-lagi aku hanya bisa diam.
"Cari hal baru yang bisa lo lakuin, Na biar gak bosen."
"Udah, Gas. Gue udah berusaha. Gue 'SELALU' ngajak dia jalan, ngajak dia ini-itu pake duit gue, gue ngasih dia ini-itu bela-belain gak jajan biar gue gak bosen sendiri, tapi apa? Usaha gue sia-sia. Selalu gue yang berusaha dan berkorban, Gas."
"Semua orang beda-beda, Na."
"Ya, tapi, apa harus gue selalu pacaran dirumahnya aja? Dia gak mau gue ajak jalan. Gue diprotect dia, gue nurut. Tapi, dia gue ingetin yang baik-baik aja dia gak pernah nurut."
Giliran Bagas yang diam.
"Gue gak mau terlalu ikut campur sampe dalem banget hubungan lo sama Billy, Na. Cuman lo berdua yang tau dalem-dalemnya hubungan lo."
Aku dan Bagas kembali sama-sama diam. Kak Nidy menghampiriku dengan Bagas. "Gantian dong, Dek. Capek nih, hehehe.." aku dan Bagas mengambil kameranya bersamaan hingga kami rebutan seperti anak kecil. Kak Nidy hanya tertawa.
Aku segera berlari kepinggir lapangan dengan tawa puas sambil membawa kamera dan Bagas mengejarku.
"Lo lagi galau, udah gue aja yang foto-fotoin. Batu banget sih, lo!" Bagas menjitak kepalaku.
Aku balas memeletkan lidah. "Enggak. Gak galau. Gak guna. Hahahaha.."
Bagas hanya geleng-geleng kepala dan akhirnya mengalah. Ia berdiri disampingku. Biasanya juga begitu, ia akan menemaniku kalau aku sedang menjeprat-jepret kamera. Tapi, kalau sedang gilirannya foto aku hanya sekali-duakali menemaninya.
Aku duduk diatas aspal yang dijadikan lapangan. Lebih tepatnya dipinggir lapangan.
Sekarang pertandingan antara SMA Meridian Tim C dengan SMA Mutiara. Tim C adalah anak futsal kelas XI maka dari itu, sore ini lapangan Meridian ramai anak kelas XI.
Suara bangku ditarik membuat telingaku ngilu. Bangku panjang yang biasa ada didepan kelas, digeret oleh sebagian anak kelas XI kepinggir lapangan. Cewek kelas XI duduk dibangku sedangkan cowoknya ada yang berdiri dibelakang bangku, ada juga yang dipinggir bangku.
Tapi, ada satu kakak cowok kelas XI yang menarik perhatianku. Ia memakai kaos berwarna biru donker polos, celana jeans panjang, dan sepatu conversenya yang warnanya sudah pudar. Ia berada dipinggir bangku dan sedang serius memperhatikan pertandingan. Kulihat ia dari sisi samping yang memperlihatkan hidungnya yang mancung dan alisnya yang tebal. Rambutnya sedikit gondrong.
Kakak kelas yang ini kece juga. Batinku dalam hati. Lalu, aku alihkan pandanganku pada pertandingan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black White Oreo
Teen FictionKarenina Andjani, adalah gadis gendut yang tidak terlalu tinggi karena sangat suka makan oreo. Gadis berwajah cantik oriental ini ketahuan suka dengan Arsyah, seniornya yang menjadi wanna be. Seiring berjalannya waktu, banyak yang harus dikorbankan...