6 Bintang

1.9K 188 0
                                    

Aku sedang mengerjakan tugas yang diberikan Bu Rita --guru Matematika-- yang diberikan sebelum istirahat. Sesekali aku mengetuk-ngetukkan pulpen kekepalaku.

Tiba-tiba aku mendengar suara tertawa dari depan kelasku. Aku mengalihkan pandanganku dari buku. Dan hal itu membuat hatiku sakit, Bintang dan Lady tertawa bersama bahkan tanpa melirikku sedikitpun.

Kalau aku boleh memilih, lebih baik aku tak memiliki rasa ini.

Setelah bel masuk berbunyi, seluruh siswa masuk kembali kedalam kelas masing-masing, termasuk Bintang. Ia yang duduk disampingku tanpa henti tersenyum.

Berkali-kali ia mencubit pipiku. Aku hanya mendengus kesal atau mendecak. Aku tahu apa yang ada dibalik senyum Bintang. Aku tahu Ntang, aku tahu. Alasannya pasti Lady.

Aku selalu menepis tangannya yang hendak mencubit pipiku. Kesal.

"Haduu.. Binta kenapasih? Sensi banget sama babang?" tanyanya.

"Au ah gelap."

Bintang hanya menghela nafas panjang dan kembali memperhatikan guru yang sedang menjelaskan. Bel pulang berbunyi dan seluruh murid mulai berhamburan keluar kelas.

"Binta, ayo pulang." ajak Bintang.

"Gue nanti aja, masih nyatet tadi ketinggalan. Duluan aja, Nta." jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari buku.

Kulirik, Bintang mengangguk-ngangguk dan langsung menghilang dari penglihatanku. Aku sengaja berdiam dibangku, menunggu yang lain pulang. Kalau aku beranjak sebelum sepi, sudah dapat dipastikan Bintang akan memaksaku pulang bersamanya.

Kulirik jam yang melingkar ditanganku. Sudah menujukkan pukul 2. Sekitar satu jam aku disini, mungkin sudah sepi. Aku segera membereskan barang-barangku dan beranjak dari dudukku.

Saat keluar dari kelas, koridor sudah sepi. Aku menyusuri koridor sekolah sambil mengeratkan tali tasku.

"Ih, lama banget sih,"

Aku mencari-cari asal suara.

"Gue kira bentar, taunya lama. Ngeselin dasar,"

Tiba-tiba kepalaku ada yang memegang. Kudongakkan kepalaku untuk melihatnya. Dan itu dia, Bintang.

"Loh? Lo ngapain masih disini?" tanyaku bingung.

Bintang berdecak. "Please ya Binta, dari jaman lo masih ingusan juga kita pulang bareng terus, mana mungkin gue ninggalin elo."

Tanpa kusadari, ia masih menungguku diparkiran sekolah. Aku kembali mengingat masa-masa lampau dimana aku selalu menangis kalau Bintang sudah keluar kelas lebih dulu daripada aku. Seperti dapat membaca pikiranku, ia tersenyum dan menepuk-nepuk kepalaku.

"Udah inget kan gimana manjanya dulu lo sama gue? Ah bukan cuman dulu, bahkan masih sampe sekarang," ujarnya.

Luluh, akhirnya aku tersenyum dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Mengapa aku tak bisa marah pada Bintang?

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang