Sembilan.

369 5 0
                                    

***

"Bang." panggil Raga pada Rafa yang tengah duduk di kursi roda.
"Apa?" balas Rafa.
"Lo mau sampe kapan kayak gini terus?" tanya Raga.
"Sampe waktunya tepat." jawab Rafa.
"Lo selalu jawab itu. Apa selama ini waktunya belum tepat?" tanya Raga.
"Dia berubah, Ga." ucap Rafa.
"Berubah?" tanya Raga bingung.
"Iya." jawab Rafa.
"Maksud lo berubah gimana?" tanya Raga penasaran.
"Dia udah gak butuh gue lagi, Ga." ucap Rafa.
"Gak mungkin, bang. Dia sahabatan sama lo udah lama." jawab Raga.
"Dia punya kehidupan baru, Ga." jelas Rafa.
"Gue gak ngerti." jawab Raga.
"Gue sama dia renggang, Ga. Udah cukup lama. Gue jarang ngobrol sama dia. Chattingan pun jarang. Dia deket sama Rival, cowok yang dia sukain dari dulu. Dia kayak gak nganggep gue ada. Gue bingung, Ga. Apa sih salah gue? Apa gue salah kalo sayang sama dia? Bahkan kalo cinta sekalipun? Apa gue yang harus ngalah juga? Gue gak mau dia berubah. Gue gak mau dia ngejauh dari gue. Gue gak mau dia pergi dari gue. Gue gak mau kehilangan dia. Gue gak bisa abis pikir kalo nanti dia tau gue cowok penyakitan-cowok lemah, dia bakal bener-bener ngejauh dari gue. atau mungkin sebentar lagi gue yang akan jauh dari dia. Gue bakal ninggalin dia. Gue bakal ilang. Gue gak bisa jadi tempat buat senderan dia lagi. Gue bakal pergi jauh dari kehidupan dia. Dan mungkin dia gak bisa ketemu gue lagi. Untuk selamanya." ucap Rafa panjang lebar. Pernyataan dari Rafa tersebut membuat Raga terkekeh. Bagaimana tidak? Bisa dikatakan, Rafa telah berbicara asal. Rafa benar-benar tidak memiliki semangat hidup lagi.

Karena, semangat hidupnya telah hilang. Telah pergi untuk yang lain. Untuk menyemangati orang lain.

"Bang, dengerin gue. Gue tau lo sayang sama dia. Tapi lo sama dia itu sahabat, lo ngerti kan maksud gue. Mungkin lo harus lupain dia Bang, perlahan lo pasti bisa. Gue bukannya gak suka kalo lo pertahanin dia, tapi apa gak nyakitin diri lo? Lo perjuangin ini sendiri. Lo pertahanin ini sendiri. Lo sayang sama dia lebih dari sahabat, tapi enggak bagi dia. Bang, gue ngerti gimana ada di posisi lo saat ini. Gue mau lo perlahan lupain dia, lo pasti bisa. Lo harus relain dia kalo lo beneran sayang sama dia. Cinta itu gak harus memiliki, Bang. Cinta itu mampu ngelepasin dan ngerelain dia buat yang lain, demi kebahagiaan dia. Lo pasti bakal selalu jadi tempat senderan dia, Bang. Lo itu udah segalanya buat dia. Segalanya buat sahabat dia, Bang. Lo gak bisa terus-terusan mikirin dia kayak gini. Kalo gini terus, kondisi lo malah makin memburuk, bukannya makin membaik. Bunda sama Ayah ngebawa lo kesini kan buat bikin kondisi lo semakin stabil, Bang. Lo fokus sama sakit lo dulu. Urusan Bianca, nanti aja belakangan. Lo bisa pahamin yang barusan gue bilang kan?" jelas Raga panjang lebar.
"Iya, Ga. Gue usahain gue bisa lupain dia, relaim dia, dan lepasin dia. Gue usahain, tapi gue gak janji kalo gue bisa. Malasih, Ga. Gue yang udah lebih gede dari lo malah kayak anak kecil gak tau apa-apa gini." jawab Rafa.
"Udahlah Bang, gak usah diomongin lagi ya." ucap Raga.
"Sip." jawab Rafa.

***

*Flashback*

Bianca dan Rafa berada di balkon rumah Bianca. Mereka duduk bersebelahan di kursi yang telah tersedia. Mereka sama-sama menatap bintang yang ada di langit. Sambil mendengarkan lagu kesukaan mereka -Ed Sheeran_Thingking Out Loud-.

Bianca duduk dengan menyender di bahu Rafa. Bianca merasa sangat nyaman berada disamping Rafa. Rafa pun demikian. Ia tak ingin Bianca meninggalkannya.

"Bi."
"Iya, Raf?"
"Gue sayang sama lo."
"Sama, Raf. Gue juga."
"Gue gak kehilangan lo."
"Gue juga gak mau kehilangan lo."
"Kalo gue pergi gimana?"
"Gak boleh."
"Kenapa?"
"Lo harus ada disamping gue terus, selamanya."
"Gue gak bisa, Bi."
"Gue gak mau tau."
"Gue bakal pergi. Kapanpun."
"Gue bakal ikut."
"Lo gak bisa ikut."
"Gue bakal nunggu lo balik."
"Kenapa gitu?"
"Lo sahabat terbaik gue, Raf. Lo segalanya buat gue, sahabat gue."
"Tapi gue bakalan pergi. Gue gak bisa terus ada buat lo."
"Emang lo mau kemana? Kalo bisa ikut, gue bakal ikut."
"Entahlah, Bi. Kemanapun."
"Nanti kalo gue capek, gue senderan kemana?"
"Lo cari orang yang bisa bikin lo bahagia, selain gue. Dan dia harus bisa jadi tempat lo senderan."
"Gue maunya elo, Raf."
"Tapi gue-"
"Lo harus selalu ada buat gue. Gue gak peduli. Kalo lo pergi, gue bakal nungguin lo balik. Kita harus bareng, Raf. Lo sahabat gue, udah kayak keluarga gue, bahkan segalanya buat gue."
"Kalo gue pergi lama, apa lo bakal kangen sama gue?"
"Pasti. Pokoknya kalo lo pergi, gue orang pertama yang kangen sama lo."
"Gue gimana sih di mata lo?"
"Segalanya."
"Jelasin."
"Lo baik banget, care banget, ngertiin gue banget, ada terus buat gue, kebahagiaan gue, tempat senderan gue yang paling nyaman, lo sahabat gue yang paling terbaik. Segalanya ada di elo, Raf."
"Kalo gue dibilang cowok lemah, apa lo bakal jauhin gue?"
"Engga."
"Kalo lo deket sama cowo lain, apa lo masih anggep gue?"
"Pasti. Gue gak akan lupain lo."
"Kalo gue jadi bintang di langit, apa lo pengen nyusul gue?
"Pasti. Gue bakal nyusul lo kesana."

"Bi."
"Ya?"
"Gue gak bisa janji kalo gue bakal bisa ada terus buat lo."
"Kalo lo ngingkarin itu, gue bakal marah besar sama lo."
"Semuanya bakal berubah, Bi. Entah siapa duluan yang berubah. Dan semuanya juga bakal pergi perlahan, entah siapa duluan yang bakal ninggalin."
"Lo ngomong apa sih, Raf? Gue gak ngerti."
"Nanti juga lo bakal ngerti."

Bianca terlelap dalam tidurnya dengan keadaan menyender di pundak Rafa.

Memang itulah kebiasaan Bianca, selalu tertidur pulas di pundak Rafa.

Nyaman.

Memang nyaman.

Menurut Bianca, pundak Rafa merupakan pundak ternyaman untuk menghilangkan semua beban yang dialaminya.

Rafa pun demikian.
Ia sangat mencintai Bianca.
Tapi ia tahu, Bianca tidak akan membalas cinta-nya.
Karena bukan Rafa yang Bianca mau, tetapi Rival-lah yang Bianca mau.

***

Vote & Comment!!!!

Bad FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang