Sebelas.

340 6 0
                                    

***

Sang mentari sudah datang menampakkan sinarnya.

Bianca masih terlelap dalam tidurnya.

Sudah sekitar pukul 9 pagi, Bianca masih juga tidak bangun. Ia masih belum beranjak dari tempat tidurnya.

"Bianca! Bangun! Udah jam berapa ini?" teriak Bunda Bianca.
"Bianca! Bukannya kamu ada janji mau keluar sama Rival?" tanya Bunda Bianca.
"Rival udah dateng nih!" ucap Bunda Bianca.

Bianca terkejut. Ia melihat jam. Masih menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Mengapa Rival sudah datang? Padahal ia janji akan pergi pukul 10. Ah sudahlah.

Bianca pun beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi.
.
.
.
.
.
Setelah sekitar 10menit, Bianca pun bersiap diri untuk pergi.

Ia menuruni anak tangga dengan cepat, takut jika Rival menunggunya lama.

Sesampainya di Ruang makan, ia melihat Rival sedang mengobrol bersama Ayah serta Bundanya.

Bianca terkejut. Apa yang mereka bicarakan? Bianca takut Rival memberi tahu Ayah serta Bundanya kalau mereka sudah jadian.

"Sini, Bi." panggil Rival.
"Pagi, Bi." ucap Rival.
"Pagi juga, Val." balas Bianca.

"Rival doang nih yang diucapin? Masa ayah sama bunda enggak?" tanya Bundanya.
"Emm. Pagi yah, bun." ucap Bianca.
"Kamu mau kemana, Bi?" tanya Ayahnya.
"Mau kerumah Rafa, yah." jawab Bianca.
"Oh yaudah, Bi. Hati-hati ya." ucap Ayahnya.
"Ok." jawab Bianca.

Setelah sarapan, mereka berpamitan dan pergi menuju rumah Rafa.
.
.
.
.
.
Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 15menit, mereka sampai di depan rumah Rafa.

Bianca mengetuk pintu rumah yang berada di depannya itu.

Terdengar suara seseorang didalam sedang membuka kenop pintu.

Yap.

Raga.

Bianca senang karna bisa menemui salah satu anggota keluarga rumah ini, walaupun ternyata itu bukan Rafa.

"Kak Bianca?" ucap Raga kaget.
"Raga!" jawab Bianca.
"Lo ngapain kak?" tanya Raga.
"Gue mau ketemu Rafa, Ga. Dia dimana?" jawab Bianca.
"Dia gak ada dirumah, Kak." ucap Raga.
"Dia dimana, Ga?" tanya Bianca.
"Dia, ke Singapur kak." jawab Raga.
"Lo serius?" tanya Bianca kaget.
"Iya gue serius." jawab Raga.
"Lo gak boong kan?" tanya Bianca.
"Gue gak boong." ucap Raga.
"Ngapain disana, Ga?" tanya Bianca lagi.
"Hmm." Raga berdehem. Ia bingung akan menjawab pertanyaan Bianca apa.
"Jawab, Ga." ucap Bianca.
"Nemenin Mama, kak." jawab Raga gugup.
"Mama lo kenapa, Ga?" tanya Bianca dengan terkejut.
"Mama sakit, harus berobat. Dan gak bisa berobat disini." jelas Raga. Ia berbohong pada Bianca.

Pernyataan Raga bohong.
Ya. Ia membohongi Bianca soal penyakit Rafa.
Karna ia sudah berjanji pada Rafa untuk tidak memberi tahu Bianca secepat ini.

"Kok lo gak pernah bilang sama gue?" tanya Bianca dengan nada memelas.
"Sorry, Kak. Gue gak sempet ngabarin lo sama keluarga lo. Karna gue sama bang Rafa juga sibuk disana. Sibuk ngurusin pengobatan Mama." jelas Raga. Ia berbohong lagi.
"Kenapa Rafa gak pernah bilang sama gue?" tanya Bianca dengan nada kecewa.
"Dia gak sempet ngabarin lo, kak." jelas Raga.
"Rafa baik-baik aja kan, Ga?" tanya Bianca.
"Dia baik-baik aja kok kak." ucap Raga.
"Gue khawatir, Ga. Perasaan gue gak enak terus." jelas Bianca.
"Lo gak perlu khawatirin dia, Kak. Dia bakal baik-baik aja." jawab Raga.
"Gue kangen Raf, Ga! Gue kangen dia! Gue pengen ketemu sama dia!" tangisan Bianca pecah. Ia menangis sejadi-jadinya. Sakit. Hatinya sakit. Bianca menangis sambil memeluk Raga.

Rival terkekeh melihat Bianca dan mendengar ucapan Bianca yang barusan ia katakan.

'Apa Bianca memiliki rasa sayang yang lebih untuk Rafa? Apa ia menyimpan hati untuk Rafa? Bagaimana bisa ia sangat khawatir pada Rafa?' tanya Rival dalam hati.

"Udah kak. Lo gak perlu nangisin dia. Toh dia baik-baik aja kok." ucap Raga dengan meyakinkan Bianca.
"Lo serius kan kalo dia baik-baik aja?" tanya Bianca.
"Gue serius, Kak. Gue pastiin sama lo." jawab Raga.
"Oke. Gue pegang omongan lo." ucap Bianca.
"Sip." balas Raga.
"Mama lo kira-kira balik kesini kapan, Ga?" tanya Bianca.
"Belum tau, Kak. Kenapa?" tanya Raga balik.
"Sabtu depan udah balik belum?" tanya Bianca.
"Nanti gue tanya." jawab Raga.
"Gue ada acara dirumah. Bilang Rafa ya Ga, dia harus dateng. Tapi kalo gak bisa, yaudah Ga gak apa-apa. Usahain dateng ya, Ga. Bilang Rafa." ucap Bianca sambil tersenyum pada Raga.
"Iya kak, gue yakinin bang Rafa dateng ke acara lo." jawab Raga sambil tersenyum balik pada Bianca.
"Gue minta kontaknya Rafa, Ga." ucap Bianca.
"Nanti gue sms ke nomer lo ya, Kak." jawab Raga.
"Oke. Kalo gitu gue baik ya, Ga. Udah mendung juga." pamit Bianca.
"Iya kak sip." jawab Raga.
"Lo dirumah sendiri?" tanya Bianca.
"Iya." jawab Raga.
"Yaudah lo hati-hati ya. Kalo ada apa-apa, telpon gue aja ya Ga." ucap Bianca.
"Iya kak, pasti. Lo juga ya, hati-hati dijalan." balas Raga.
"Sip. Bye, Ga!" ucap Bianca sambil melambaikan tangannya pada Raga.
"Bye, kak!" balas Raga.

***

"Bi?"
"Kenapa, Val?"
"Ke taman yuk?"
"Boleh."

Sesampainya di taman..

"Bi?" panggil Rival.
"Iya?" balas Bianca.
"Aku mau tanya." ucap Rival.
"Tanya apa?" tanya Bianca.
"Kamu sayang sama aku?" tanya Rival.
"Sayang banget." jawab Bianca.
"Gak boongan kan?" tanya Rival.
"Enggaklah. Kenapa nanya gitu?" ucap Bianca.
"Aku takut kamu gak sayang sama aku." jawab Rival.
"Aku sayang kamu, Val. Aku selalu serius sayang sama orang." ucap Bianca.
"Kamu sayang sama Rafa?" tanya Rival.
"Sayang banget." jawab Bianca.
"Apa sayangnya kamu ke dia sama kayak ke aku?" tanya Rival.
"Aku sayang sama dia buat seorang sahabat, Val." ucap Bianca.
"Kalo ke aku?" tanya Rival.
"Sayang sebagai-" ucapan Bianca terpotong oleh Rival.

Rival memeluk Bianca erat. Bianca sangat nyaman. Nyaman sekali.

"Aku sayang sama kamu, Bi." bisik Rival.
"Me too, Val." balas Bianca.

Rival melepas pelukannya pada Bianca. Mereka saling berhadapan. Mereka saling menatap satu sama lain. Mata mereka bertemu.

Bianca menatap lekat mata hitam pekat itu. Seperti tidak percaya ucapan Rival tadi.

***

Bad FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang