"Your turn."
"My turn?" aku memastikan giliranku pada Edelweiss yang mengangguk semangat.
Saat seperti itu, Edelweiss terlihat sangat menggemaskan. Mata coklatnya berbinar dengan kilatan rasa senang, seolah dia kembali menyelami masa kecilnya. Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Hmm... Favorite food?"
Ada jeda lama sebelum Edelweiss menjawabnya, "I don't have a favorite food, I like a lot of food," bahunya terangkat ringan, "I love everything that's food," dia tertawa geli.
Sementara aku membawa sepeda merah mudanya yang ternyata lebih ringan dari yang kubayangkan.
Senyum Edelweiss memudar saat kami menginjak lingkungan pinggiran kota yang berada tepat di belakang perumahanku.
Edelweiss mengambil sepedanya dari tanganku, "Cukup di sini saja kau mengantarku, Harry. Terima kasih."
"Hey, it's okay. I'll walk you home," aku meyakinkannya, berharap aku bisa membantunya sampai tuntas, lagipula aku penasaran dengan tempat tinggal Edelweiss.
"Lingkungan di sekitar sini kumuh," dia tertunduk malu setelah memperingatkanku.
"I don't care. Aku tidak bisa membiarkan seorang wanita berjalan sendirian seperti ini. Lagipula Mom menyuruhku."
"I love your Mom," kata Edelweiss, "She's an amazing woman. Like a mom that I'll never have," mata Edelweiss menerawang jauh, seperti mengingat suatu kenangan.
Aku mengambil kesempatan itu untuk mengambil sepedanya dan berjalan membawanya, Edelweiss pun mengikuti.
"Where is your Mom, by the way?" aku bertanya sambil menelusuri jalanan bersalju yang sudah ternodai dengan warna hitam, entah apa itu aku tidak tahu.
Walau tidak terdengar, aku bisa mengatakan kalau Edelweiss baru saja menghela napas, terlihat dari kepulan asap keluar dari mulutnya, "Cancer took her away when I was twelve."
"I'm sorry."
"That's fine," dia menatapku dengan sebuah senyuman. Terpaksa atau tidak, senyuman itu tetap terlihat indah di wajahnya.
Aku terus berjalan bersama Edelweiss dan berbicara tentang banyak hal, aku yakin Edelweiss seorang wanita cerdas yang berwawasan luas.
Kami melewati tempat prostitusi wanita, beberapa dari mereka melihatku seperti hewan buruan. Tatapan menggodanya membuatku sedikit mual, bahkan beberapa dari mereka ada yang sengaja memamerkan belahan dadanya yang tidak seberapa.
Paling-paling ukuran cup branya tidak lebih dari A.
Aku jadi ingat kejadian tadi saat Edelweiss berteriak panik tentang susunya. Aku sudah berpikir yang aneh-aneh saja.
Sudah, sudah, jangan dibahas.
"Itu tempat tinggalku," Edelweiss menunjuk sebuah apartemen --yang terlihat seperti mau rubuh-- dengan cat yang mulai mengelupas, "Not much, but it's home."
"Kau mau mampir dulu?" tawar Edelweiss saat sampai di depan.
Aku berpikir sejenak, "Tentu saja."
Edelweiss meninggalkan sepedanya dan menggandeng tanganku untuk menarikku masuk, aku menaikki tangga sampai lantai dua.
Di depan pintu dengan nomor 15, Edelweiss memutar gagang pintunya, "Dad, aku membawa teman," serunya seraya masuk.
"Siapa? Louis?" suara ayah Edelweiss terdengar sebelum menampakkan diri.
"Aku Harry Styles. Temannya Edelweiss," aku memperkenalkan diri dengan gugup.
"Hello, young man," ayah Edelweiss menepuk pundakku dengan santai, "Pumpkin, kau pulang di saat yang tepat. Aku mendapat panggilan untuk membangun jembatan," ucapnya pada Edelweiss.
Edelweiss terlihat senang, "Great. Take care, Dad."
Ayah Edelweiss menghilang di balik pintu. Aku menatap Edelweiss geli, "He calls you pumpkin?"
Edelweiss memutar bola matanya dan tertawa, "Aku tahu itu sedikit memalukan."
"Kau duduk saja dulu, aku akan mengambilkanmu minum," perintahnya sebelum lenyap ke belakang.
Bukannya duduk, aku malah berkeliaran melihat foto Edelweiss yang menarik perhatianku. Cat bingkainya sudah tidak lagi rapih, tapi fotonya terlihat belum lama.
Foto Edelweiss pada hari kelulusan sekolah menengah atasnya. Dia memakai jubah dan topi toga, senyuman lebar menghiasi wajahnya. Tangannya memegang sertifikat berbingkai.
Aku memicingkan mataku, berusaha untuk membaca tulisan pada sertifikat itu.
'BEST STUDENT OF THE YEAR: WITH 3.87 AVERAGE SCORES'
Wow.
Almost perfect.
Aku mengdipkan mataku dan tulisan itu tidak berubah.
"Hey, you do make yourself comfortable," Edelweiss menahan senyuman, "I made you a cup of tea."
Aku duduk di sofa reyot yang hampir tak berbentuk, "Kau pintar?"
"Not really?" jawabnya ragu.
Aku tahu Edelweiss hanya merendah, jelas-jelas dia murid terbaik satu angkatan. Ujung bibirku naik saat mendapat ide.
Aku merenggangkan lenganku, "Baiklah," aku melemparkan tatapan jenaka pada Edelweiss, "Berapa 7 log 343?"
Edelweiss berpikir sejenak, "3."
"Berapa kecepatan cahaya?"
"3 kali 10 pangkat 8 kilometer per detik."
"Nama bakteri nitrifikasi?"
"Nitrosomonas sp. What is this? A science olympiade?" Edelweiss tertawa geli karena pertanyaanku yang bertubi-tubi.
"Kau kuliah?" tanyaku pelan, berharap kalau pertanyaanku tidak lancang.
Edelweiss menaikkan bahunya, "No," di bangkit dari sofa dan masuk ke ruangan lain --menurut tebakanku, dia memasuki kamarnya-- kemudian dia keluar membawa sebuah kertas.
"No time and no money for college," dia menyerahkan kertas itu padaku. Aku membaca kertas berwarna merah muda itu dengan teliti.
MENGANTAR SUSU // 6AM TO 9AM // EVERYDAY -except Tuesday-
MENJAGA KASIR // 11AM TO 19PM // MONDAY-FRIDAY
"Kau memiliki dua pekerjaan?" aku bertanya tanpa berusaha untuk menyembunyikan rasa kagetku.
"Yup," jawab Edelweiss mantap, "Berusaha keras untuk bertahan hidup, you know? Tak semua orang terlahir dalam keadaan kaya raya. Bahkan upah semua perkerjaan itu tidak seberapa."
Aku memberikan kertas itu kembali kepada Edelweiss, "Berarti nanti kau kerja lagi?"
"Ya."
"Kau tidak lelah?"
"Tentu saja. But life must go on. It's like swimming. Once you stop, you'll drown."
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
This is the worst chapter ever ugh i hate it
Maaf ya udah update lama, hasilnya ancur pula
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanfictionEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister