Aku merasa hangat, biasanya di musim salju aku selalu terbangun dalam rasa dingin yang memilukan. Tapi sekarang aku tidak merasakannya. Aku membuka mataku yang terpejam. Cahaya terang membutakan mataku untuk beberapa detik, aku berkedip berulang kali dan mengingat kalau aku bermalam di sini karena ada badai salju.
Tubuhku merasa berat karena sebuah tangan melintang di tubuhku, aku melihat banyak tato menghiasinya. Di samping kiriku, Harry masih tertidur pulas.
Kucoba untuk membebaskan diriku dari Harry tanpa membangunkannya, tapi Harry memutuskan untuk menghancurlan rencanaku dengan mempererat pelukannya.
Tubuhku kembali dijalari oleh rasa hangat. Bukan hanya karena suhu tubuh Harry lebih tinggi dariku, tetapi juga karena jantungku berdegup dengan sangat cepat dan keras. Aku bisa merasakan jantungku memompa darah ke seluruh tubuh dan paru-paruku dengan sangat bersemangat sehingga peredaran darah dan oksigenku lancar tanpa hambatan.
Dan aku merasakan sesuatu yang aneh di perutku. Tapi aku yakin itu bukan perasaan saat aku mau buang air besar di pagi hari.
"Harry, ini sudah pagi." aku menyibakkan rambut Harry dari dahinya.
Harry menyambar tanganku dan terus memegangnya sambil tersenyum, "Masih gelap, sayang," suaranya terdengar lebih berat dan serak.
Aduh, kedua kakiku terasa lemas mendengarnya.
Kelopak mata Harry mulai terbuka, memunculkan kedua bola matanya. Warna hijau pada iris mata Harry tidak begitu mencolok seperti batu emerald, namun aku menyukainya. Menurutku, hijau pudar pada matanya justru seperti warna yang membawa ketenangan.
"Ternyata tadi aku belum membuka mataku, pantas saja semuanya gelap," Harry terkekeh.
Aku tertawa mendengarnya, "Kau ini bodoh sekali sih," candaku dengan ringan.
Harry menjawil hidungku, "Hey, walau begini, aku mahasiswa kedokteran ya."
"No way," aku memutar kedua mataku karena aku tahu Harry sedang bercanda.
Harry duduk dari posisi tidurnya, "Aku serius."
Dan kali ini aku tahu kalau apa yang barusan meluncur dari mulut Harry adalah sebuah kejujuran, bukan bualan konyolnya.
Aku duduk dan menyandarkan punggungku pada kepala tempat tidur, "That's wonderful."
Aku merenung tentang betapa inginnya aku memasuki fakultas kedokteran saat masih sekolah dulu. Tapi sekarang hal itu terdengar seperti mimpi yang tak akan pernah terwujud, tak peduli berapa banyak uang yang selalu kusisihkan dari gajiku setiap bulan untuk kuliah.
Tetap saja uangku bagaikan setetes air di tengah samudra. Terlalu sedikit untuk biaya kuliah kedokteran.
Jentikkan jari Harry membawaku keluar dari lamunan, "Kau kenapa diam, eh?"
"Nothing," aku mengembangkan senyumanku, "Memangnya kenapa kalau aku diam?"
"Hmm.. Mungkin aku sedikit merindukan suaramu, apalagi saat kau tertawa," akunya dengan senyuman yang memikat hatiku, "Baiklah, mungkin banyak."
Aku menggelengkan kepalaku karena tak habis pikir.
"Tertawalah, Edelweiss like the flower."
Aku menaikkan bahuku, "There's nothing funny. I can't laugh."
Tiba-tiba wajah Harry terlihat seperti dia mendapat pencerahan di tengah hutan rimba, "Knock knock."
"Hah? Kau ini kenapa sih?" tanyaku bingung.
"Don't you know knock knock jokes?" Harry berbalik tanya padaku.
Aku menjawabnya dengan heran, "Aku tidak tahu."
Harry melipat kedua tangannya di dada. Dengan dahi yang berkerut, dia berlagak seolah sedang berpikir keras mengerjakan soal ujian yang sulit.
"Berarti hanya tersisa satu cara yang bisa membuatmu tertawa," gumamnya serius.
Aku hanya bisa menatapnya dengan aneh, "Apa?"
Harry menengok ke arahku dan menatapku dengan tajam, semakin lama bibirnya yang datar membuat lengkung senyuman.
Selanjutnya, yang aku sadari adalah aku kembali terbaring dengan Harry yang mengambangi tubuhku. Jemari Harry menggelitik pinggangku sehingga aku menjerit karena kegelian.
"Harry, stop it!" tawaku menyembur bebas.
Harry ikut tertawa tanpa berniat untuk menghentikan aksinya. Aku berusaha mendorong tubuhnya, tetapi otot perut yang berjejer terasa di balik kaus yang ia kenakan sehingga aku merasa teralihkan oleh imajinasiku tentang Harry tanpa kaus atasan.
Harry hanya membutuhkan satu tangan untuk mengunci kedua tanganku di atas kepalaku. Tangannya yang lain bertumpu di samping tubuhku agar aku tidak tertindih oleh tubuhnya.
Then we just lost in the moment.
Everything feels like it was freezing. Seolah jam berhenti berhenti berdetik, kita hanya diam menatap mata satu sama lain. Tanganku masih tertahan oleh Harry hingga aku tak bisa berbuat apa-apa.
Lagipula sejujurnya, aku tak terlalu berminat untuk menghancurkan posisi ini.
Jantungku berdetak seperti dia berontak ingin keluar dari tulang rusukku karena saking kencangnya. Harry menggigit bibirnya sambil menatap bibirku.
Apakah dia berpikir tentang apa yang aku pikirkan?
"Harry, apa kau sudah bangun? Edelweiss ada di kamarmu ya?" sebuah ketukan terdengar dan disusul dengan suara Anne.
Harry membebaskan tanganku dan turun dari tempat tidur, "Y-Yeah, we just woke up."
"Ternyata kau sudah terpikat pada Harry, Edelweiss," ucap Anne yang sepertinya ditujukan padaku.
Harry menertawakanku, "I know I'm irresistable, baby."
Dari balik pintu, suara Anne terdengar lagi, "Baiklah. Mungkin kalian bisa secepatnya melihat halaman belakang yang diterpa badai, kita harus cepat membereskannya untuk pesta besok."
"Copy that," sahut Harry sambil tersenyum jahil padaku.
Aku membalas senyumannya dengan malu.
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
Hai semuaa aku update lagi hehe seneng banget ternyata masih ada yang bacaa duh makasih yaa
Oh iya, selamat ulang tahun ibu pertiwi! :)
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanficEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister