It feels really nice to be back.
Aku membayar argo taksiku dan berjalan memasuki perumahan kampung halamanku. Bibirku tersungging naik memikirkan reaksi Mom saat nanti beliau melihatku pulang lebih awal. Begadang semalaman untuk menyelesaikan tugas kuliahku rasanya terbayar lunas sekarang.
Dari jauh, aku melihat sebuah sepeda merah muda yang terparkir di depan rumahku. Tanpa kusadari, langkahku berjalan semakin cepat menuju rumahku.
Tapi, itu sepeda siapa ya?
Saat sampai di depan rumahku, seorang wanita muda --mungkin seumuran denganku atau bahkan lebih muda-- berdiri membelakangiku. Aku mendorong pagarku yang sudah terbuka setengah, suara mendecit dari kayu membuat wanita itu berbalik.
Aku berjalan mendekatinya, "Who are you?"
"I-I um--" alunan lembut melewati bibirnya yang pucat dan pecah-pecah karena dingin.
Dia tidak melanjutkan perkataannya. Aku mulai berpikir kalau wanita ini gagu. Sudahlah aku sudah tidak sabar untuk bertemu Mom. Aku berjalan melewati wanita itu dan langsung mengetuk pintu, "Mom?" panggilku.
Tidak ada jawaban. Mungkin Mom masih tidur? Aku mencoba mengetuknya lagi dengan lebih keras dan berseru memanggil Mom.
"Setiap hari Sabtu, Anne mengikuti kelas yoga di pagi hari," suara wanita itu terdengar tanpa terbata-bata seperti sebelumnya.
Tapi, darimana dia tahu kalau Mom mengikuti kelas yoga? Aku saja baru tahu sekarang. Cukup mengejutkan sebenarnya.
Karena penasaran, aku bertanya lagi, "Who are you?"
Wanita itu melirik ke balik pagar, mungkin dia melihat sepedanya, "Pengantar susu," setelah itu dia menunduk malu.
Aku mengangkat alisku. Bola mataku mulai memindai perawakan wanita itu dari bawah sampai atas.
Sepatu putihnya terlapisi noda lama kekuningan, celana denim yang memeluk kakinya sudah sangat pudar, sweatshirt yang membungkus tubuhnya berwarna biru lusuh. Topinya pun tidak lebih bagus juga.
But despite all of that, I think she looks breath-takingly beautiful.
"Who are you?" tanyaku lagi.
"Aku sudah bilang, aku pengant--"
"Maksudku namamu," aku menjelaskan sambil tersenyum geli.
Di kedua pipinya, terbayang kilatan merah muda, "Edelweiss. Edelweiss Vasquez."
"Edelweiss like the flower?" candaku.
Pipinha semakin merona saat dia tertawa, "Yes. Edelweiss like the flower."
Aku maju dan mendorong tanganku kepada Edelweiss, "Aku Harry."
Awalnya Edelweiss hanya melongo melihat tanganku. Entah berapa menit sebelum dia menyeka tanganya ke celana jeans-nya dan menjabat tanganku, "Nice to meet you, Harry."
"Nice to meet you too, Edelweiss like the flower," godaku sambil tersenyum iseng.
Aku terus menggenggam tangan mungilnya yang sangat dingin, aku tidak mau menjadi orang pertama yang melepas genggaman ini, mungkin saja kehangatan tubuhku bisa sedikit bertransfer ke tubuhnya yang sepertinya dingin bak ratu es --memang sih aku tidak tahu apakah suhu tubuh ratu es benar-benar dingin, lagipula memangnya ada ratu es?
Tapi Edelweiss memang terlihat ringkih, rasanya sekali sentilan jariku, dia akan tersungkur karena saking lemahnya.
Akhirnya dialah yang pertama melepas tanganku.
Aku terdiam mencari topik untuk berbicara, setidaknya aku tidak sendirian menunggu Mom pulang. Oh, iya.
"Apa kau tahu kapan Mom akan pulang?" aku memasukkan kedua tanganku yang mulai tersengat dingin.
Aku sedikit heran kenapa Edelweiss tidak terlihat kedinginan. Mungkin dia sudah biasa, pikirku.
Tapi entah kenapa ide tentang Edelweiss yang menembus cuaca dingin demi mengantarkan susu membuat hatiku mencelus.
"Biasanya sekitar lima belas menit dari sekarang," ucap Edelweiss yang terpaku pada layar ponselnya yang sebesar dan setebal bongkahan batu, aku yakin kalau Edelweiss dalam bahaya ponsel itu akan sangat berguna. Bukan hanya untuk menelpon polisi, tetapi juga untuk menghantam kepala penjahat dengan satu kali lemparan.
Aku mengangguk mendengar jawaban Edelweiss, "Baiklah kalau begitu."
"I'm sorry, but I think I should go," Edelweiss menunduk sebelum berbalik menuju pagar.
Secepat itukah? Huh, aku sendirian lagi.
"Okay," aku menghela napasku sehingga ada asap keluar dari mulut dan hidungku.
Haha, I'm a dragon. Rawr.
Aku mengantar Edelweiss sampai ke ujung pagarku, sebenarnya aku mau meletakkan tanganku di punggungnya, tapi kita kan baru kenal. Sepertinya hal itu tidak sopan.
Edelweiss naik ke sepedanya dan melambaikan tangan sebelum mengayuhnya.
Aku membalas lambaiannya, "Bye, Edelweiss like the flower."
-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-
A/N
Hai kaliaann, apa kabar? :)
Udah mendekati bulan ujian bukan sih? Semangat yaapp hehe gua mah udah bebas
Makasih ya udah bacaa, ayo ayo tinggalin jejak, nanti gua doain semoga mimpiin Harry
Love, Karen xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
Fiksi PenggemarEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister