1 · Edelweiss

503 35 13
                                    

Alarm jamku berbunyi nyaring, memaksaku untuk membuka mata dan menyambut udara dingin pada awal November.

Aku beranjak dari tempat tidur dan menjalani rutinitasku seperti biasa. Setelah itu, aku pergi ke dapur yang juga merangkap sebagai ruang makan dengan sebuah meja dan dua kursi.

Aku melihat Dad menumpahkan sereal ke dalam mangkuk. Melihat kehadiranku, Dad tersenyum, "Hey, pumpkin."

"Morning, Dad," balasku menuju kulkas tua yang tidak lagi sedingin dulu. Aku mengambil karton berisi jus jeruk segar dan meneguknya langsung.

"Kau masih mengantar susu?" tanya Dad walau sudah tahu jawabannya.

Aku menyambar topi dan memakainya sambil berjalan ke luar apartemen yang sama sekali tidak mewah, "Iya. Aku berangkat dulu," kemudian aku menutup pintu.

Aku pergi ke pabrik susu murni tempatku bekerja sebagai pengantar susu ke perumahan sebelah. Aku bertemu dengan atasanku dan mengambil porsi bagianku. Setelah itu, sepedaku melesat dengan membawa dua lusin botol susu hangat di keranjangnya.

Dari entah berapa rumah yang aku antarkan, ada satu rumah yang menjadi favoritku.

Di dalamnya tinggal wanita seorang diri, orangnya begitu ramah. Bahkan tak jarang aku berbincang dengannya, biasanya dia membahas kedua anaknya yang sekolah di kota London.

Dan ini rumah yang kumaksud, cat putih melapisi dinding rumah itu. Aku membuka pagar kayu yang mengurung halamannya dan meletakkan dua botol susu di teras rumahnya.

Suara kayu berdecit mengusik pendengaranku. Kupikir suara itu karena angin yang berhembus kencang, tetapi saat aku berbalik seorang pria tinggi bermantel hitam berdiri menutup pagar.

Pria asing ini terus berjalan mendekatiku, badannya tegap membuatku menciut merasa terintimidasi.

Suara berat menyelip keluar dari bibir merah mudanya, "Who are you?" tanyanya sambil menatapku dengan tajam, bola matanya berwarna hijau pudar.

"I-I umm--"

Pria itu menungguku menjawab, tapi wangi tubuhnya menyergap rongga hidungku sehingga pikiranku teralihkan.

Dia melewatiku begitu saja dan mengetuk pintu.

"Mom?" panggilnya.

Mom? Mungkinkah dia putranya Anne? Kalau begitu bukannya dia sedang kuliah di London?

Suara pria itu terdengar lagi, "Mom?" ulangnya dengan lebih keras, begitu juga dengan ketukan pintunya.

Tanpa banyak berpikir aku menyahut, "Setiap hari Sabtu, Anne mengikuti kelas yoga di pagi hari."

Pria itu tertegun mendengarku, bahkan sepertinya dia lupa kalau aku dari tadi masih menunggu di sini.

"Who are you?"

Aku melirik sepedaku dari balik pagar, "Pengantar susu."

Dia memperhatikanku, pandangannya menerkam tajam mulai dari sepatu sampai topi yang kupakai, "Who are you?" dia mengulang pertanyaannya.

Aku mulai jengkel karena dia hanya melontarkan pertanyaan yang sama, "Aku sudah bilang, aku pengant--"

Bibir lelaki itu terangkat, sebuah senyuman hangat terukir di wajahnya, "Maksudku namamu," jelasnya.

"Edelweiss. Edelweiss Vasquez."

"Edelweiss like the flower?"

Aku tertawa malu, "Yes. Edelweiss like the flower."

Pria itu melangkah mendekatiku, dia mengulurkan tangannya, "Aku Harry."

Nama itu sungguh tak asing bagiku, Anne seringkali mengangkat Harry menjadi topik pembicaraan. Aku dapat merasakan getaran rindu yang teramat sangat saat Anne bercerita tentang Harry --dan juga kakaknya Gemma-- padaku. Sehingga membuatku bertanya, apakah Mom akan melakukan hal yang sama kalau saja Mom masih hidup?

Sudahlah Vay, tak ada gunanya berandai-andai seperti itu, batiku mengingatkan.

Aku melihat tangan Harry masih terambang di depanku, tangannya terlihat bersih tanpa noda. Aku melihat tanganku sendiri yang pastinya kotor --setelah berkeliling perumahan besar ini, tentu saja aku sudah tidak bebas kuman. Aku mengelap tanganku ke celana jeans yang kupakai sebelum menjabat tangan Harry.

"Nice to meet you, Harry."

"Nice to meet you too, Edelweiss like the flower," balasnya dengan nada jenaka, senyumannya makin melebar, sepasang lesung pipi tampil di wajahnya.

Aku melepas genggaman itu.

"Apa kau tahu kapan Mom akan pulang?" tanya Harry seraya memasukkan kedua tangannya ke saku mantelnya.

Aku mengeluarkan ponselku dan melihat jam, "Kurasa sekitar lima belas menit dari sekarang."

Harry menganggukkan kepalanya, "Baiklah kalau begitu."

Aku melirik sepedaku lagi, masih ada tiga buah botol yang bertengger di keranjang sepedaku.

"I'm sorry, but I think I should go," ucapku sebelum berjalan keluar pekarangan rumah Anne.

"Oh, baiklah," jawab Harry yang juga ikut berjalan menemaniku.

Aku menaiki sepedaku, sebelum mengayuhnya kulambaikan tanganku pada Harry.

Dia mencerminkan gerakan yang sama, "Bye, Edelweiss like the flower."

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

A/N

Just a reminder bagi yang ga tau, Edelweiss itu di bacanya Ei-del-veis hehe

Maaf ya updatenya lama ._. Gua lagi magang biar bisa ikut Revival Tour :'))

The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang