3 · Edelweiss

305 32 23
                                    

Hari ini aku merasa beda, seperti tidak ada semangat yang memancar dari tubuhku. Semua yang aku inginkan hanyalah tidur untuk memanjakan raga.

Tapi dengan keadaan hidup yang seperti ini, berleha-leha adalah sesuatu yang tidak mungkin bukan?

Aku terus mengayuh, mengayuh, dan terus mengayuh sepedaku. Napasku tersenggal-senggal seperti ikan yang terdampar di daratan. Sepotong roti yang sedang dicerna di dalam lambungku ingin aku lontarkan keluar saja rasanya.

Ayolah, Vay, tinggal tiga rumah lagi. Setelah itu kau bisa pulang untuk istirahat. Just three more houses, aku menyemangati diriku sendiri.

Aku menekan rem pada jari kananku dan berhenti di depan rumah Anne. Aku mengambil dua botol dan meletakkannya di teras rumah itu.

Kedua tanganku meremas pangkal rambutku, kepalaku terasa sakit dan pening. Aku tetap berjalan menuju pagar tetapi pergelangan kakiku seolah tak mau berkompromi. Aku memaksakannya untuk bergerak, akibatnya aku tersungkur di atas salju.

Dingin.

Rasa dingin menyergap tubuhku sampai aku sulit untuk bernapas. Aku merasa terlalu lelah untuk berdiri, terlalu lemah untuk menghadapi kenyataan. Aku menutup mataku, menerima takdir jikalau saja aku mati membeku sekarang.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

Tubuhku terasa sedikit lebih hangat. Ada lapisan lembut yang memeluk tubuhku, and it feels much better than snow. Aku mencoba untuk menggerakkan jemari tanganku, tapi aku tidak bisa merasakan jari manis dan kelingking kananku.

Perlahan, aku membuka mataku. Aku berada di dalam kamar, sedikit berantakan tapi bersih dan wangi. Hidungku terasa familiar dengan wangi ini, tercium seperti bau parfum Harry.

Sebentar, kenapa aku bisa ingat wangi parfumnya Harry? Bertemu saja baru satu kali.

Aku duduk dan sebuah sapu tangan hangat jatuh ke selimut berwarna coklat tua di pangkuanku. Pintu di ujung kamar terbuka, Harry masuk dan matanya langsung tertuju padaku.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Harry dengan lembut, kemudian dia duduk di sampingku.

Jantungku mulai berdegup kencang, "Better," aku mengangkat tangan kananku, "Tapi aku tak bisa menggerakkan beberapa jariku."

Harry memegang tanganku dan memperhatikan kedua jariku tadi, dahinya berkerut begitu serius, "It's frostbite. Coba lihat, jari manis dan kelingkingmu terlihat lebih pucat dan biru daripada yang lain, kan?"

"I-Iya," jawabku dengan gugup.

"Tadi kau terkena hipotermia dan aku juga bisa menebak kalau kau kelelahan."

Aku menunduk menatap tangan kananku. Tapi Harry langsung mendekap tanganku itu, "Kalau dibiarkan hangat seperti ini, lama-lama jarimu akan normal kembali."

Harry mendekatkan tanganku ke bibirnya, dia menghembuskan napas hangat yang menerpa tanganku. Saat itu juga, kehangatan bukan hanya berada di tanganku, tetapi juga diam-diam merambat ke pipiku.

"Sudah, kau lanjutkan sendiri dulu ya, aku mau membantu Mom untuk membuatkanmu sup ayam," Harry melepas tanganku.

Kupikir dia akan terus memegang tanganku, seharusnya kuusik pikiran itu dari awal. Harry hanya membantuku, tidak lebih.

Tidak lebih.

Waduh, kenapa aku jadi berpikir yang aneh-aneh ya? Pasti akibat hipotermia ini, atau mungkin kepalaku terbentur sesuatu sebelum jatuh tadi.

Harry menutup pintu dan membiarkan aku sendiri di kamarnya. Orang macam apa dia berani membiarkan gadis jelata asing untuk singgah di kamarnya yang luas?

Orang yang terlalu baik, perhaps.

Bodoh sekali aku ini, mengantar susu saja sampai terserang hipotermia.

Mataku terbelalak lebar, "Susu-susuku!" aku menjerit karena aku masih sangat ingat kalau aku masih harus mengatar susu ke beberapa rumah.

Pintu kamar terbuka lagi, "Kenapa kau menjerit seperti itu?" tanya Harry dengan wajah merona.

"Susuku, Harry!" aku berjalan cepat mendekatinya.

Harry berdeham canggung, wajahnya semakin memerah, "Susumu yang mana?"

"Yang di keranjang sepedaku! Memang kau pikir susuku yang man-- Oh," aku menutup mulutku malu. Jeritanku tadi terdengar begitu rancu.

Pantas saja reaksi Harry seperti orang malu dan canggung.

"Tadi aku yang mengantar umm-- susu-susumu," dia menghindari tatapanku karena malu, "Di keranjangmu ada daftar alamat pemesan, jadi aku mengantarkannya pada mereka."

Aku tersenyum, hatiku terasa tersentuh, "Terima kasih, Harry."

"You're welcome," Harry memperlebar pintu kamarnya dan mengisyaratkanku untuk keluar, "Kau lapar? Aku yakin Mom sudah selesai memasak."

Aku mengangguk malu tanpa bersuara. Suara tawa geli Harry terdengar, dia mengacak rambut pada puncak kepalaku dengan telapak tangannya yang besar.

"You're so innocent, Edelweiss like the flower," katanya sambil tersenyum.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

A/N

Hai lama tak berjumpa! Maaf baru sempet update sekarang (ya walaupun ga ada yang nungguin juga sih hahaha)

EH EMANG BENER YA NIALL PUNYA PACAR? Gua kudet banget gara gara sibuk ngurusin registrasi ulang buat kuliah anjir pas buka TL ada rumor gitu wtf gua diselingkuin lagi :(

Yaudah deh makasih ya udah baca maaf updatenya ga teratur terus ceritanya masih flat ._. Tinggalin jejak dong hehe :)

Love, Karen xo

The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang