Pada sore harinya, Harry memutuskan kalau itulah saat kita pergi. Aku memeluk Anne dan Gemma untuk mengucapkan selamat tinggal. Sebenarnya aku merasa sedikit bersalah karena tidak membawa apa-apa untuk mereka, tapi sepertinya tidak ada yang mempersalahkan hal itu.
"Thank you so much for the food, it's delicious," aku mengucapkannya pada Anne sebelum pergi meninggalkan rumah itu.
Aku melihat Harry menerima kunci dari Anne. Gemma langsung meledek Harry, "Lelaki macam apa yang pergi kencan dengan meminjam mobil ibunya?"
Aku tertawa gugup, "It's not a date."
"Aku meninggalkan mobilku di London," balas Harry sambil masuk ke dalam mobil Anne, "Come on, Edelweiss. It is definitely a date."
Kakiku juga mengikuti Harry melangkah masuk dengan pipi yang memerah, "Kau bilang kita hanya jalan-jalan."
"Ya, agenda kencan kita memang jalan-jalan," ucap Harry, mobil ini sudah mulai melaju.
Aku meliriknya sebelum menjatuhkan pandanganku pada pangkuanku, "Okay."
Mengingat perkataan Harry tentang betapa buruknya seleraku, membuatku menjadi tidak bersemangat lagi rasanya.
"Harry, can I ask something?"
Harry menjawab tanpa memalingkan pandangannya dari jalanan, "Sure."
Aku menarik dan menghembuskan napas perlahan sebelum melontarkan pertanyaanku, "Apakah kau benar-benar berpikir kalau seleraku jelek?"
"No, why would you even think like that?" tanya Harry dengan kaget bercampur bingung.
Aku berkutik dengan jemariku, "You know, the other day when we went shopping for your family's Christmas present," jelasku.
"Kalau kau memang benar-benar berpikir seperti itu, mungkin itu karena kesenjangan sosial kita berbeda jauh dan seleraku terkesan murahan. Mungkin kita tidak cocok untuk berteman, atau mungkin kita tetap menjadi orang asing saja-- Tunggu, kenapa kau berhenti di tepi jalan?" aku terheran.
"Edelweiss," Harry kini memusatkan seluruh perhatiannya padaku, "Don't say something like that, okay?" tatapannya melembut.
"Tapi terkadang aku merasa begitu rendah saat bersamamu. I don't know, but you seem so perfect and I'm just--"
"Shh," Harry menangkup wajahku dengan tangan hangatnya, "Kau tak serendah itu, lagipula bunga edelweiss kan tumbuh di dataran tinggi."
"But, I--"
"Do I have to kiss you so I can shut you up?" bisik Harry.
...aku tidak salah dengar, bukan?
Saat wajah Harry semakin mendekat, aku baru tahu kalau jantungku bisa berdetak secepat ini. Aku bahkan tidak tahu hal yang akan terjadi nanti benar atau salah. Aku tidak tahu!
But, one kiss wouldn't hurt, right?
Tanganku naik dan bertengger pada leher Harry yang tersembunyi oleh syal rajutanku. Tubuhnya begitu hangat. Maybe it's just because he's hot.
Aku menutup mataku dan merasakan terpaan napas Harry pada kulitku. Aku terus memejamkan mataku dan menunggu.
Kemudian, aku merasa Harry menjauh dari tubuhku. Mataku terbuka, hanya untuk melihat Harry mengindari pandanganku. Harry kembali menyalakan mesin dan menyetir.
"I can't do that. I'm sorry. Not now, Edelweiss, I'm so sorry," ucapnya dengan dingin, seperti dia sedang menahan semua emosi yang ada.
Aku menghela dan menatap jalan yang ada di luar jendela, "I'm sorry too, for hoping too high."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanficEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister