Aku memakai mantelku sebelum melangkah keluar kedai es krim tempatku bekerja. Aku mengeratkan mantelku itu saat hembusan angin menerpaku hingga dinginnya menjalar ke tulang.
Setidaknya ini akan menjadi hari terakhirku bekerja sebelum liburan natal. Mulai besok aku bisa bersantai sampai dua minggu. Nice.
"H-Hey, Edelweiss," sebuah suara bergetar menyapaku. Aku menoleh ke samping dan melihat Harry dengan hidung merah dan beanie yang menutupi kepalanya.
Aku kaget melihatnya, "Oh my God, Harry! Sejak kapan kau di sini? Kenapa kau tidak masuk saja?"
Sejak Harry tahu tempat kerjaku ini, hampir setiap hari dia datang menengokku. Terkadang mengajakku makan saat istirahat makan siang, atau hanya sekadar berbincang sambil di temani frozen yogurt dari kedai ini walaupun sekarang musim salju.
Sejujurnya, aku sedikit bingung kenapa Harry mau repot-repot melakukan semua ini.
"Aku tadi menemani Mom belanja, makanya tadi siang aku tidak mampir ke sini," dia berhenti sejenak untuk membasahi bibirnya yang kering karena dingin, "Saat sampai rumah, aku melihat televisi kalau hari ini akan ada badai salju. I worry about you."
"Aww Harry," aku menyentuh pipinya, tetapi rasanya seperti menyentuh bongkahan es, "You're so cold," aku melihatnya dengan penuh kekhawatiran.
Tangan Harry menimpa tanganku, matanya menatap bibirku sebelum naik menemui mataku dengan lekat, "Then keep me warm," hembusan asap keluar dari mulutnya.
Aku diam terpaku seperti patung.
"Let's just get you home, yeah?" aku mengalihkan pembicaraan, walaupun sebelumnya aku juga tidak yakin apa yang dimaksud Harry dengan membuatnya tetap hangat.
"Let me get you home first, Edelweiss. Kau ini perempuan," balasnya.
"I've gone through this a dozen times, Harry. I'll be fine."
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
Aku berjalan bersama Harry menuju rumahnya, menembus dinginnya salju dan jarak pandang yang semakin berkurang.
Saat melewati pagar kayu yang mengelilingi rumahnya, badai salju mulai mengamuk. Aku dan Harry berlari ke pintu depan dan mengetuknya.
Anne datang membuka pintu dengan wajah cemas dan menyuruh kami masuk. Sesampainya di dalam, sedikit rasa hangat mulai terasa di ujung jemariku. Aku melihat Anne yang memeluk Harry dengan erat.
"I'm fine, Mom," Harry mengusap punggung ibunya pelan.
Aku langsung mengedipkan mataku yang berkaca agar tak ada air mata yang menetes. Aku melihat keluar jendela, menyaksikan hebatnya kekuatan angin dan salju yang menyatu, bertebaran kesana-kemari membuat kekacauan dan menciptakan teror.
Aku mengeluarkan ponselku dan menelpon Dad yang langsung mengangkatnya pada dering pertama.
"Dad, where are you? Are you alright?" semburku tanpa berbasa-basi mengucapkan 'halo'.
"I'm home. Everything is fine. Kau yang ada dimana, pumpkin?" tanyanya dengan resah.
"Aku di rumah Anne, aku akan kembali secepatnya saat badai mereda. Aku baik-baik saja."
Aku merasakan tepukan di pundakku.
"Bye, Dad."
"Be careful, pumpkin."
Aku memutuskan telepon dan berbalik menghadap Harry, "Ya?"
"You can stay here, it's okay."
Aku menggeleng sangat tidak setuju, membuat Harry nyaris diterjang badai sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa tidak enak padanya. Apalagi kalau sampai menginap di rumahnya, "I'll just stay until the storm is over."
Anne ikut menapak ke dalam pembicaraan kami, tanganya meremas pundakku halus, "I insist, Edelweiss. Kau bisa tidur di kamar Gemma."
"Mom, aku saja dihantam bantal saat melangkah ke kamar Gemma dulu. Apalagi kalau ada yang tidur di sana, bisa-bisa saat Gemma pulang, Edelweiss sudah tidak jelas lagi bentuknya," protes Harry pada Anne. Aku tersenyum kecil mendengar kepolosan ceritanya.
"Itu kan kau, Harry. Bukan Edelweiss," tukas Anne.
Aku merasa canggung berdiri di tengah perdebatan mereka. Aku berdeham, "Aku tidur di ruang tamu saj--"
"No," potong mereka berdua dengan tegas.
"Ayolah Mom, selama Edelweiss bisa tidur nyaman di kamarku, untuk apa dia mengungsi ke kamar Gemma?"
Anne hanya melipat tangannya seraya melihat tingkah laku anak laki-lakinya itu.
"Please," Harry besedekap dan memasang wajah memelas yang membuatku menahan tawa setengah mati.
"Tidak," walau bola mata Anne berputar, aku melihat sedikit senyuman berformasi di bibirnya, "Entah kenapa naluri keibuanku mencurigaimu, Harry."
"Mom, kenapa kau kejam sekali? Aku merasa seperti anak tiri," Harry merajuk pada Anne dengan cara yang menurutku membuat Anne jengkel, aku menutup mulutku dan tertawa kecil.
"Sana ganti pakaianmu," perintah Anne dengan nada datar kemudian tersenyum padaku, "Kau juga, Edelweiss."
"Edelweiss. Bedroom. Now," Harry berkedip ke arahku.
"Harry!" Anne melotot sambil menarik telinga Harry seperti anak kecil, "I don't teach you to be impolite towards women. Awas kalau kau macam-macam, kubuang nanti koleksi pensil-pensil imutmu itu."
Aku menertawai Harry, sampai perutku terasa seperti ingin keram. Sepertinya malam ini tak seburuk yang kukira.
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
Don't even talk about Revival Tour in Jakarta. Just. Don't.
Btw makasih banget buat kalian semua yang masih bacaa, apalagi yang keliatan jejaknya hehe
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanfictionEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister