Tanganku menyelam di antara baju hangat yang tergantung di pusat perbelanjaan kota. Aku sedang mencari kado untuk Dad, keinginanku sudah bulat untuk membelikannya sweater baru, tapi aku belum terpikir tentang warnanya.
Abu-abu? Atau biru tua?
Sepertinya warna abu-abu akan lebih cocok dengan warna kulit Dad. Aku melihat label harganya dan memutuskan kalau memakai sedikit uang tabunganku tidaklah menyakitkan.
Suara nyaring yang sedikit norak menggetarkan membran timpaniku, aku merogoh tas dan mengambil ponselku.
Harry is calling.
Aku menekan tombol dengan gambar telepon berwarna hijau dan membawa ponselku mendekati telinga, "Hello?"
"Hello, Edelweiss like the flower," sahut Harry dengan nada jenaka.
Sepertinya aku sudah mula terbiasa di panggil Edelweiss like the flower oleh Harry, aku bahkan sama sekali tidak berniat untuk menuai protes padanya.
I feel like hearing my name rolls from his mouth is kinda comforting.
"Apa kau sedang sibuk?" tanya Harry dari seberang jaringan telepon.
Aku membawa sweater tadi ke kasir sekaligus berbicara dengan Harry, "A little bit, aku sedang membeli kado untuk Dad."
"Kebetulan! Baru saja aku ingin mengajakmu menemaniku mencari kado untuk Mom dan Gemma. Kau ada dimana? Aku ingin menyusulmu," serunya terlalu bersemangat, malah sedikit terkesan agresif untukku.
"Okay, I'll text you the place," aku memutuskan panggilan sebelum membayar pada kasir dan melesat ke food court sambil menunggu Harry.
Sekitar lima belas menit aku lewati bersama jus apel, pandanganku mendadak gelap. Wajahku terasa hangat karena ada dua telapak tangan besar yang menutup mataku. Hanya mencium aromanya, aku tahu siapa orang ini.
"Harry, don't be silly," aku tertawa geli.
Dia duduk di hadapanku, "Harry, don't be silly," ledekknya menirukanku, "Kau beli apa untuk Ayahmu?"
"Sweater," jawabku singkat.
"Hmm.. Baiklah. Berarti kau bebas untuk menemaniku kan?"
"Yeah?" jawabku yang lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan.
"Baiklah, habiskan jus apelmu. Kita akan ke toko pakaian dalam."
What?
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
Aku dapat merasakan pipiku terbakar oleh rasa malu saat Harry bolak-balik menarik tanganku mengitari toko pakaian dalam.
Harry bertanya pada salah satu pegawai toko itu, "Tidak adakah g-string berwarna merah terang?"
Mataku melotot menatapnya aneh.
Pegawai itu langsung mencari barang yang sesuai dengan permintaan Harry yang menyeringai geli. Tanganku masih menyatu dengan tangannya, hal itu membuatku merasa seperti sepasang kekasih.
Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Harry membawa g-string itu ke depan wajahku, "What do you think?"
"I think you've got a very weird taste in buying present."
Harry tertawa, "Perfect. Selanjutnya toko perhiasan."
Harry kembali menarik tanganku dengan lembut, aku hanya mengikutinya tanpa mempertanyakan jalan pikirannya yang sedikit --baiklah, mungkin sangat-- aneh.
Ternyata benar, jenius dan gila itu beda tipis.
Saat di dalam, Harry menyodorkanku ke depan meja tampilan kalung yang berkilauan. Dari belakang Harry merangkulku tenang seolah dia sudah terbiasa melakukannya.
Namun, bayangan tentang Harry merangkul perempuan lain membuatku tidak senang.
"Menurutmu, yang mana yang paling bagus, hm?" tanyanya dengan wajah yang begitu dekat dengan pipiku.
Apa kabar, jantungku..........
"Uhh.. Umm I don't know."
"Ayolah, bantu aku memilihkannya untuk Mom," pimta Harry padaku.
"Well," mataku memindai berbagai macam kalung yang terpampang, mereka sangat berkilauan di bawah sinar lampu yang saling terpantul pada cermin.
Sebuah kalung mengambil perhatianku, kalung itu terbuat dari emas putih dengan liontin berbentuk hati yang kecil. Entah kenapa kalung itu lebih menarik daripada kalung lain yang bertaburan batu mulia dan permata yang lebih besar.
Aku menunjuk kalung itu, "I think that one is good."
Pegawai toko itu mengeluarkan kalung itu dan meletakkannya di atas meja, Harry memperhatikannya dengan cermat setiap detailnya, bola mata hijaunya berbinar lebar. Harry berpaling menatapku, "I don't like it," ucapnya singkat sembari mengembalikan kalung itu.
Aku jadi merasa seperti teman yang buruk.
Pada akhirnya aku hanya bertopang dagu menunggu Harry memilih kalung untuk Anne. Aku mendadak merasa sedih, tapi aku tidak tahu apa alasannya. Sudahlah, yang penting aku bersama Harry sekarang.
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
First of all, I'm extremely sorry for the long delay of update.
My dad got into the ICU for 11 days before he passed away. It's hard to cope with, I still miss him sometimes it drives me crazy.
It feels like everything is fucked up.
So I hope you understand why I don't show up much lately. I'm really sorry. Did someone even still read this ff? I don't even know.
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanfictionEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister