Aku mengunci laci lemariku dan meletakkan kuncinya di tempat rahasia --yaitu di bawah bantalku. Di dalam laci itu ada koleksi pensil-pensilku. Hanya untuk berjaga-jaga saja, siapa tahu Edelweiss tergoda untuk tidur di kamarku.
Lagipula, siapa juga yang tidak tergoda?
Dalam sekejap, semuanya gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa, suara gemuruh angin dan salju yang sebelumnya terabaikan kini membuat rambut halus di tanganku berdiri.
"Harry?" suara feminim milik Edelweiss terdengar.
Aku berjalan menuju pintu, kemudian merentangkan tanganku dan menyentuh lengan Edelweiss, "I'm here," balasku tenang.
Tanganku merosot ke telapak tangan Edelweiss dan menggandengnya, tanganku yang lain mengeluarkan ponsel dan menyalakan aplikasi senter sebagai penerangan.
"I want to take a look at Mom," ucapku pada Edelweiss yang langsung mengangguk setuju padaku.
Aku terus memegang tangannya, penghangat ruangan yang mati karena listrik tak menyala membuatku sedikit bergidik kedinginan. Aku membuka pintu kamar Mom dan mendapatkannya sedang tertidur pulas.
Aku melepas tangan Edelweiss dan melapisi Mom dengan selimut tambahan agar tidak kedinginan nanti. Kukecup kening Mom sebelum kembali ke kamarku bersama Edelweiss, "I love you, Mom," bisikku.
"It feels amazing to grow up with a mother, isn't it?" tanya Edelweiss saat sampai di kamarku.
"It feels amazing to grow up with a father, isn't it?" balasku berbalik tanya.
Edelweiss terlihat murung, "Anne told me once about the divorce. I'm sorry," sesalnya.
"Tak apa. Lagipula, kita harus menghargai apa yang kita miliki selagi masih ada bukan?" aku membongkar kamarku untuk mencari lampu darurat, saat menemukannya aku langsung menekan tombol sehingga kamarku diterangi cahaya remang.
Edelweiss mengangguk setuju, "Kau benar juga."
Cahaya lampu remang itu menerpa Edelweiss. Wah, aku mendapat ide brilian.
"Kau tidur di kamarku saja, daripada gelap begini tidur sendirian," aku menghasutnya.
Jangan salah sangka dulu, aku bukannya ingin berbuat yang aneh-aneh. Aku hanya ingin sekedar memeluknya saja kok, tapi kalau lebih pun aku tidak menolak.
Dahiku berkerut melihat Edelweiss hanya memperhatikanku dari ambang pintu dengan wajah kikuk nan kebingungan. Rasanya aku bisa melihat pikirannya, aku berani bertaruh kalau dia sungkan untuk masuk ke dalam kamarku.
"Edelweiss, it's okay," ucapku sambil merapihkan selimutku.
Edelweiss memakai piyama milik Gemma --kakak perempuanku yang sebenarnya adalah nenek sihir menyebalkan. Edelweiss melangkah ke dalam kamarku, tetapi langkahnya terhenti begitu saja.
"What's wrong?" tanyaku bingung. Tak mungkin kamarku bau sampai Edelweiss tidak mau masuk kan? Aku ingat sudah mengganti spreiku kemarin saat aku mimpi..... Umm, you know?
Mata Edelweiss menatapku dengan diselimuti rasa ragu, "Aku takut."
Aku duduk di kasurku, "Takut kenapa?"
Edelweiss menolak untuk menemui mataku, mengedarkan pandangannya ke lantai yang dingin, "Aku tahu ini bodoh," katanya gelisah, "Aku takut kau berbuat hal-hal yang tidak pantas padaku."
Apa?! Semesum itukah wajahku?!
Aku berdiri, "Aku buka pria seperti itu, Edelweiss," langkahku berjalan mendekatinya, "If I touch you inappropriately, just kick me in the balls. I'm okay with that."
Tawa halus dari bibir Edelweiss mengalun lembut, "Really?"
Suara tawanya dalan sekejap membuat bibirku tersenyum, "You have my words, Edelweiss like the flower."
"Okay," dia tersenyum malu.
"Okay."
Aku melihat Edelweiss memeluk dirinya sendiri dengan erat, aku meraih salah satu baju hangatku dan melemparnya pada Edelweiss.
"Thanks," angguknya sambil memakai baju hangatku yang terlihat longgar dan kebesaran di tubuh mungilnya.
Aku naik ke tempat tidur dan merebahkan tubuhku, "Lebih baik kita tidur saja sebelum mati kedinginan," aku mengibaskan selimut di sampingku agar Edelweiss masuk ke dalamnya.
Edelweiss melepas kuncirannya dan rambut coklatnya tergerai sampai melewati punggungnya, dia menghempaskan tubuhnya di sampingku.
Kami berdua belum memejamkan mata, namun tak juga bersuara. Hanya tenggelam di dalam kesunyian dan cahaya remang yang semakin meredup.
"Edelweiss," panggilku.
Dia menolehkan kepalanya ke arahku, "Hmm?"
"Apa kau tahu kalau suhu tubuh pria lebih hangat daripada wanita?" tanyaku sedikit malu, aku berharap setidaknya bisa memeluknya. Kepala Edelweiss mengangguk kecil.
"For your information, aku tak keberatan untuk memelukmu kalau kau masih kedinginan. Tapi aku juga tidak memaks--"
Mulutku terhenti saat Edelweiss mendekatkan tubuhnya padaku. Napasku tertarik tajam karena gugup, "W-well umm.."
"Shh..," tukas Edelweiss, tangannya merambat memegang dada kiriku. Walau penerangan ini tidak optimal, aku dapat melihat senyumannya terbentuk, "Jantungmu berdetak dengan cepat," kemudian di menempelkan telinganya di dadaku--yang tentu saja membuatku lebih gugup, "Aku bahkan mendengarnya dengan jelas."
Kemudian dia mengadah menatapku dan tersipu malu, "Sorry."
"That's fine," aku mendekapnya dengan erat, "Good night, Edelweiss like the flower," ucapku pelan sebelum menutup mataku dan menyelami kegelapan.
Kemudian aku mendengar bisikan Edelweiss, "Good night, Harry."
_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
So it's been a month since the last time I updated.
Dan sekalinya update pun ga bagus :')) entah masih ada yang baca atau engga
Aku mau minta maaf banget banget, kemaren aku sibuk kerja karena mau keluar buat lanjut kuliah. Dan aku juga ngerjain tugas buat ospek dan persiapan gitu, kan aku kuliah di Purwokerto jadi kayak pindahan gitu ribet wkwk
Jadi gitu deh, sosmed aku jadi terlantar. Maaf ya semuaa dan makasih banyak buat yang masih baca :)
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanficEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister