"I swear to God, Gem, kalau kau berbicara yang aneh-aneh tentang masa kecilku, aku akan menjepretmu dengan g-string," aku mengancam Gemma yang datang tadi siang dari Liverpool.
Mom menceritakan Edelweiss pada Gemma dan betapa tergila-gilanya aku pada Edelweiss dengan cara yang berlebihan.
Ternyata perempuan itu sangat lihai dalam melebih-lebihkan suatu cerita.
Melihat Gemma menyeringai iseng, aku tahu kalau aku akan mati kutu pada pesta taman malam ini. Mendadak aku ingin memonopoli Edelweiss saja tanpa memerkenalkankannya pada kakakku yang juga mendapat peran sebagai nenek sihir.
"And speak of the angel," Gemma melempar pandangannya ke belakangku, "Itu Edelweiss, bukan?"
Aku berbalik mengikuti pandangan Gemma. Dan beridirilah di sana seorang Edelweiss dengan gaun putih yang menjuntai sampai di lututnya, kardigan berwarna nila menutupi tubuh atasnya dari salju.
Tatapanku memelas pada Gemma, "Tolonglah Gem, jangan permalukan aku di depannya."
"Hello, Harry," panggil Edelweis hingga membuatku tersentak gugup. Dia melihat kakakku dan mengulurkan tangannya, "Kau pasti Gemma. Aku Edelweiss, temannya Harry."
Gemma melirikku dengan senyuman iblisnya sebelum menyambut tangan Edeweiss, "Teman, ya?"
Edelweiss menjawabnya dengan anggukan kecil.
"Kau mau sampanye?" tawarku untuk membuat Edelweiss menjauh dari Gemma.
Gemma mengetahui siasatku dan merespon, "I'd love champange, Harry."
"Umm.. Sure," Edelweiss menyetujui tawaranku.
Aku menyeringai penuh kemenangan dan menjulurkan lidahku pada Gemma, "I'm not asking you."
"Oh, shut up, Hazza."
Mataku membulat karena kaget dan malu. She did not just call me by my childhood nickname. Aku mendelik pada Gemma yang sekarang penuh dengan aura kemenangan.
Lihat saja nanti, akan kupastikan ada g-string yang akan melayang ke dahinya.
Kening Edelweiss berkerut, "Hazza?" kemudian bibirnya membentuk sebuah senyuman, "Oh my God, it's cute," pekiknya sambil menangkup kedua pipinya sendiri karena gemas, "Why don't you tell me your nickname?"
"Yeah, Hazza, why don't you tell her?" ledek Gemma dengan senang.
"Come on, love, let's get you champange," aku merangkul Edelweiss yang tertawa kecil melihatku di tindas oleh Gemma si nenek sihir.
"Aku menyukai nama panggilanmu tadi," ucap Edelweiss sambil mengambil sampanye dari tanganku, "Dan kakakmu terlihat sangat menyenangkan."
Aku meneguk sedikit cairan itu dan membalasnya, "Shut up, pumpkin."
Dia tertawa geli, "No. You shut up."
Suara dentingan gelas memecah keramaian orang-orang berbincang sehingga menjadi sepi, Mom meletakkan gelas yang tadi dia ketuk dengan sendok. Semua perhatian keluarga besarku tertuju padanya.
"Good night, everybody," salamnya dengan senyuman lebar.
Kami semua membalasnya dengan menggumamkan kata yang sama.
"Aku ingin mengucapkan selamat kepada Gemma yang berhasil memenangkan kasus besar pertamanya sebagai pengacara," Mom melihat Gemma yang tersenyum, "I'm so proud of you, sweetheart."
"And Harry," Mom menatapku, "Kuharap kau bisa tetap mempertahankan nilaimu yang fantastis itu dan lulus secepatnya," Mom tertawa sambil menahan air matanya, "Kemudian pulanglah ke sini untuk menemaniku, rumah terasa sepi tanpamu, Haz."
Mom mengangkat gelas sampanyenya, "For our family."
Aku tersenyum bangga dan mengikuti gerakan Mom serta keluargaku yang lain dengan mengangkat gelas sampanye dan bersorak serentak, "For our family!"
Semua bertepuk tangan dan kembali duduk. Aku dan Edelweiss duduk bersampingan dan siap menyantap hidangan utama makan malam ini di meja putih yang sudah aku siapkan bersama Mom tadi pagi di halaman belakang.
Usai makan bersama, bibiku tersenyum pada Edelweiss dan berkata padaku, "Aku tak percaya kalau kau sudah besar, Harry. Rasanya seperti kemarin aku melihatmu di kereta bayi dengan bubur yang memenuhi wajahmu saat kau menyemburnya," kemudian bibi menghela napasnya menatap Edelweiss, "And now you're all grown, brought a lovely young woman as your girlfriend. It's too much to handle."
Okay, I don't know if family night means a night full of embarassing moments and tears.
Aku bersumpah mata bibi mulai berkaca-kaca seperti ingin menangis karena terlalu emosional.
Aku merasakan tangan Edelweiss meremas tanganku pelan di balik meja, aku menoleh dan melihatnya tersenyum padaku dengan mata coklatnya yang berbinar. Tidak satupun dari kami menyangkal pernyataan bibiku kalau aku berpacaran dengan Edelweiss.
Somehow, I love the idea of having Edelweiss as my girlfriend.
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
Aku abis re-watching OTRAT dengan background suaraku yang mirip kayak hybrid kucing campur kodok kecekek, and I just realized how much I miss my fangirl life wow
Apalagi setelah baca komentar kalian semua --which is soooo nice i swear you people got me in tears. Makasih banget banget sumpah ga ngerti lagi kalian semua baik banget :') Kalian pengertian banget ga kayak doi wkwk ape sih
Internet people are the bestest omg
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanficEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister