"Mom!" aku mengagetkan Mom dari belakang sofa, membuatku mendapatkan tepukan maut di dahi.
Aku tertawa dan duduk di sampingnya, tapi Mom menarik telingaku, "Kau ini aneh-aneh saja. Untung saja aku tidak punya penyakit jantung," semprotnya.
Aku terkekeh menanggapi omelannya, setidaknya omelan Mom tidak setajam dan sekejam Gemma.
Gemma thinks she's the better Styles.
Hahaha no.
Harry is the best. Aku bisa memasukkan lima buah marshmellow ke dalam mulutku saat aku bermain chubby bunny melawan Gemma, dan dia hanya berhasil memasukkan empat buah marshmellow. So by that, I announce that I, Harry Edward Styles, is the better Styles.
Wink!
Aku memeluk Mom dengan erat sampai beliau mengerang sebal, "Mom, apa kau tahu dimana tempat Edelweiss bekerja sebagai penjaga kasir?" tanyaku.
"Tentu saja."
"Tell meee," aku merajuk kepadanya sambil berusaha terlihat seperti anak manis.
Mom mengangkat kedua alisnya.
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
Aku berjalan menuju kedai ice cream tempat Edelweiss bekerja, tempatnya berada di pertigaan jalan, sehingga aku harus berbelok untuk ke bagian depan kedainya. Sebelum itu, aku menunduk dan menyisir rambut panjangku dengan jemariku dan mendorongnya ke belakang agar tidak menutupi wajahku.
Aku melihat kaca kedai itu dan bercermin sebentar untuk melatih senyuman mana yang membuatku terlihat lebih tampan. Karena salah satu pengunjung memberikanku tatapan aneh, aku langsung memutuskan untuk memakai senyuman normalku.
Yaitu senyuman santai-tetapi-tetap-indah-nan-menawan-yang-menghadirkan-kedua-lesung-pipiku-dan-membuatku-mempesona.
Aku berbelok menuju pintu kedai itu, tapi langkahku terhenti seiring dengan mataku yang memicing tajam. Aku melihat Edelweiss berbincang bersama seorang pria. Mereka terlihat begitu akrab.
Aku memperhatikan pria itu dengan seksama. Jaket denim yang dia lipat sampai siku mempertontonkan entah-berapa-banyak tato yang terukir di lengannya.
Why would Edelweiss assosiate with something like that?
Baiklah, aku juga punya tato --bahkan mungkin saja lebih banyak. Tapi aku lelaki sejati yang baik hati. Aku terkadang berterima kasih kepada tumbuhan paku Mom karena sudah membantu memproduksi oksigen untuk membuatku bernapas.
If that wasn't nice, I don't know what is nice.
And that guy. I swear he looks like the kind of guy who would knock a girl up in a club.
Aku terus memperhatikan betapa menyalanya mata Edelweiss saat berbicara dengannya, dia jarang sekali seperti itu kalau sedang bersamaku.
Mereka berpelukan selama beberapa detik, kemudian pria itu pergi dan Edelweiss masuk ke dalam kedai tempatnya bekerja.
Pria itu melewatiku, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Matanya berwarna biru pekat, rambutnya coklat tua seperti Edelweiss.
Aku menunggu selama beberapa menit sebelum masuk ke dalam kedai es krim itu agar tidak mencurigakan.
Edelweiss langsung mendeteksi kedatanganku dan tersenyum. Aku berjalan ke kasir dan melihat menu kedai yang ternyata berisi makanan penutup.
"May I take your order?" ucap Edelweiss dari balik mesin kasir.
"One frozen yogurt, please," aku tahu sekarang musim dingin, but I'm so hot that I have to order something cold.
"Any topping?" dia bertanya sambil memencet mesin di depannya itu.
"Kiwi."
Edelweiss menoleh ke belakang, melempar pandangannya pada pekerja lain dan berseru, "Liam, one frozen yogurt with kiwi, please."
"Alright, ma'am."
Edelweiss menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil sebelum memusatkan perhatiannya padaku, "Anything else?"
"Yea-- No. I-I mean yes," aku meracau tak jelas, "I have a question, actually."
"Oh, really?" suaranya dipenuhi rasa penasaran.
"Aku tadi sedang berjalan dan melihatmu bersama seorang pria. Dia itu siapa? Sepertinya aku pernah kenal," aku sedikit berbohong.
Edelweiss tertawa, "He's my friend. Louis. Dia pemilik gerai tato di dekat apartemenku. Memang kau pernah melihatnya dimana?"
"Oh begitu, sepertinya aku salah lihat," aku terkekeh.
Kalian dengar itu? Teman. I still have a chance.
Edelweiss menyodorkan frozen yogurt pesananku yang baru saja ia terima dari Liam, "Here's your order. That'll be £3.25."
Aku merogoh saku jaketku dan memberikan uang yang diminta.
"Thank you."
Aku mengambil tempat duduk yang menurutku strategis untuk melihat Edelweiss bekerja dengan senyuman yang terus bertengger di wajahnya.
Kuperhatikan, bola mata coklatnya selalu berkilat senang tiap kali ada anak kecil yang memesan. Rambut panjangnya dia kuncir seperti ekor kuda. Terkadang dia tertawa saat bercanda dengan Liam di saat senggang.
I like the way she laughs. I like the way she tucks her hair behind her ear. I like the way her eyes light up. I like the way she tries to hold back a smile when she's shy.
Edelweiss.
Her name fits her perfectly. She's so delicate yet fragile like Edelweiss flower.
And I think I just infactuated by Edelweiss like the flower.
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
A/N
Mau ngasih reminder kalo aku --cielah aku-- nulis cerita ini pas rambut Harry masih panjang and I don't wanna change that. I miss his stupid long curls tbh hahaha but he looks soooo fine now ;) I want him in my bed pls omg
DAAANN oke ini ga ada hubungannya sama 1D but gua kan bisa baca tarot wkwk masih latihan gitu sih biar makin mantep, kalian kalo mau konsultasi atau nanya gitu tanya aja hahaha ga bayar kok karen kan baik :) contact aku lewat message aja atau check bio gua haha *maaf jadi promosi*
Panjang sekalih A/N ini hehe I hope you enjoy this story
Love, Karen xo
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}
FanfictionEdelweiss should've blossomed on a high mountain, not stuck in the valley of sorrow. Rated PG-13 Creative Commons (CC) April 2016 by plot-twister